Latar Belakang
Ziarah
makam tergolong tradisi yang sangat tua, barangkali setua kebudayaan
manusia itu sendiri. Tradisi ini umumnya berhubungan erat dengan unsur
kepercayaan atau keagamaan. Tradisi, menurut Parsudi Suparlan,
sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (Jalaluddin, 1996: 180), merupakan
unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan
sulit berubah. Meredith McGuire (dalam Jalaluddin, 1996: 180), melihat
bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan
mitos dan agama.
Kabupaten
Pandeglang, terletak di wilayah provinsi Banten, merupakan kawasan yang
sebagian besar masih merupakan pedesaan. Dalam satu tulisannya,
Azyumardi Azra menyebutkan, orang-orang Muslim di Banten percaya bahwa
Tuhan sangat baik dan tidak akan mengabaikan mereka; tetapi pada saat
yang sama, kekuatan-kekuatan jahat dan setan terus mendatangkan bencana,
sehingga mereka terpaksa mengarahkan aktivitas ritual kepada
kekuatan-kekuatan jahat tersebut. Dalam kaitan ini pula terjadi pemujaan
terhadap orang-orang yang telah mati, yang dipandang potensial untuk
membantu mereka dalam menghadapi berbagai kekuatan jahat (Azra, 1999:
66).
Ungkapan
yang digunakan Azra dalam kalimat “pemujaan terhadap orang-orang yang
mati” mungkin terlalu berlebihan untuk menggambarkan keyakinan
masyarakat Banten. Pada kenyataannya, orang-orang Banten akan menolak
kalau dikatakan mereka memuja orang-orang yang telah mati. Lebih tepat
kalau dikatakan, mereka menggunakan arwah orang-orang yang telah mati
itu sebagai perantara (wasilah) untuk menyampaikan doa atau
keinginan mereka kepada Tuhan. Arwah itu pun bukan sembarang arwah,
melainkan arwah dari orang-orang yang semasa hidupnya dianggap sebagai
tokoh, misalnya kiyai, syekh, jawara (orang sakti), atau sultan. Orang-orang Banten percaya bahwa tokoh-tokoh itu mempunyai karomah atau keistimewaan spiritual tertentu. Ketika sudah meninggal, karomah
itu dipercaya masih ada dan bisa diperoleh dari makam mereka. Oleh
karena itulah, aktivitas ziarah ke makam keramat sering disebut ngalap barokah, yaitu mencari berkah dari keramat yang terdapat pada makam sang tokoh.
Pemujaan
terhadap orang-orang yang telah meninggal dahulu memang ada ketika
agama Islam belum dianut masyarakat Banten. Kepercayaan semacam itu,
yang disebut animisme, secara berangsur-angsur telah terkikis
dengan datangnya Islam. Diperlukan penelitian tersendiri apakah tradisi
ziarah ke makam keramat, yang menunjukkan adanya keyakinan mengenai
keistimewaan roh-roh dari tokoh tertentu, itu merupakan kompromi antara
kepercayaan lama dengan ajaran Islam atau bukan. Sebab Islam yang datang
ke Banten, dan ke Nusantara secara umum, adalah Islam dengan nuansa
sufisme sangat kental. Telah banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah,
bahwa para penyebar Islam di Jawa hampir seluruhnya adalah
pemimpin-pemimpin tarekat (Dhofier, 1982: 144). Di Banten sendiri,
pernah dan masih berkembang aliran-aliran tarekat antara lain tarekat
Syatariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Dalam sufisme,
ada ajaran tentang tawassul dengan para guru dan syekh terdahulu, dan
ziarah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka tawassul. Jadi,
tidak bisa dengan serta merta dikatakan bahwa ziarah ke makam keramat
merupakan warisan tradisi pra-Islam.
Di
kalangan Islam sendiri, sebetulnya aktivitas ziarah ke makam keramat
dan doktrin tawassul masih menimbulkan pertentangan teologis yang belum
terselesaikan, antara pihak yang membolehkan (bahkan menyunahkan) dan
pihak yang membid’ahkan (bahkan mengharamkan). Pihak yang membolehkan
ziarah ke makam keramat umumnya berasal dari kalangan Islam tradisional,
sedangkan pihak yang melarang berasal dari kalangan Islam modernis.
Tapi terlepas dari pertentangan teologis tersebut, ziarah ke makam
keramat merupakan sebuah fakta sosial yang tidak bisa diabaikan, bahkan
merupakan suatu tradisi atau bentuk kebudayaan yang menarik untuk
diteliti.
Menilik
tempatnya, makam yang menjadi tujuan ziarah dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu makam keluarga dan makam keramat. Pada makam keluarga,
misalnya makam orang tua, orang yang berziarah umumnya bertujuan untuk
mendoakan arwah yang dikubur agar mendapat keselamatan atau tempat yang
baik di sisi Tuhan. Jadi, manfaatnya bukan ditujukan untuk kepentingan
orang yang berziarah, melainkan untuk kebaikan roh orang yang diziarahi.
Ziarah
ke makam keluarga memiliki makna kultural yang hampir sama dengan halal
bihalal, di mana dalam periode tertentu, misalnya setahun sekali, orang
merasa perlu menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk
mengunjungi saudara-saudara dan tetangganya. Jika halal bihalal adalah
silaturahmi kepada orang-orang yang masih hidup, ziarah kubur adalah
silaturahmi kepada orang-orang yang sudah mati. Orang yang sewaktu
lebaran tidak pulang kampung untuk berhalal bihalal, ia bisa dianggap
lupa asal usul. Demikian pula, orang yang dalam periode tertentu tidak
melakukan ziarah, khususnya jika ia memiliki orang tua yang sudah
meninggal, akan dianggap anak yang tidak berbakti.
Sedangkan
pada makam keramat, aktivitas berziarah ke sana tampaknya memiliki
tujuan atau motivasi yang beragam. Hal ini mengingat bahwa orang-orang
yang berziarah ke makam keramat berasal dari berbagai daerah dan
kalangan serta status sosial yang bermacam-macam. Bahkan untuk makam
keramat yang besar, penziarah bisa berasal dari daerah yang sangat jauh,
luar pulau, sampai luar negara.
Pengertian Ziarah dan Makam Keramat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Tim Penyusun, 1990), ziarah diartikan sebagai “kunjungan ke tempat
yang dianggap keramat atau mulia, misalnya makam, dsb.” Dari pengertian
ini, tampak bahwa yang dikunjungi dalam kegiatan ziarah bukan sembarang
tempat, melainkan tempat yang dianggap keramat, misalnya makam atau
kuburan. Selain makam, tempat-tempat yang kerap dianggap keramat antara
lain tempat lahir seorang tokoh besar (misalnya tempat lahir Syekh
Nawawi Banten di Tanahara), tempat persinggahan (misalnya situs Batu
Quran di Cibulakan, Pandeglang), dan tempat-tempat lain yang memiliki
nilai sejarah spiritual tinggi.
Pengertian
keramat itu sendiri, menurut KBBI, adalah: (1) suci dan dapat
mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya
kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa); (2) suci dan bertuah yang
dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain (tentang
barang atau tempat suci).
Dengan
demikian, secara bebas makam keramat dapat diartikan sebagai makam dari
orang yang suci atau dianggap suci oleh masyarakatnya, atau makam dari
orang yang bertakwa, atau makam dari orang yang semasa hidupnya memunyai
kemampuan tertentu di luar kemampuan manusia biasa, khususnya kemampuan
dalam bidang spiritual. Oleh karena itu, makam dari orang-orang awam
biasanya tidak disebut makam keramat, meskipun barangkali makam orang
awam tersebut tetap memiliki nilai kekeramatan tertentu bagi anaknya
atau kerabatnya.
Makna Spiritual Ziarah ke Makam Keramat
Ziarah
ke makam, baik yang keramat maupun tidak, berkaitan erat dengan unsur
keagamaan. Makam, dalam banyak kebudayaan dan kepercayaan di seluruh
dunia, menempati ruang spiritual yang istimewa, bahkan menjadi pusat
kehidupan keagamaan di samping kuil-kuil pemujaan. Sebagai tempat
dikuburkannya jasad orang yang sudah meninggal, makam dipercaya sebagai
tempat bersemayamnya roh-roh orang yang meninggal itu. Berziarah ke
makam merupakan cara untuk berhubungan kembali secara spiritual dengan
roh-roh tersebut.
Ziarah
ke makam juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Orang yang ingin
melakukan sesuatu atau kebutuhan tertentu, seperti membuka lahan
pertanian, melangsungkan perkawinan, sampai berperang, merasa belum sah
kalau belum meminta restu pada roh-roh nenek moyang. Roh-roh itu
dipercaya dapat melindungi mereka, mengabulkan permohonan mereka, bahkan
dapat pula menghukum kalau mereka melakukan pelanggaran.
Penghormatan
kepada orang-orang yang telah meninggal diwujudkan dalam berbagai cara,
misalnya mengadakan upacara kematian dengan ritual dan peralatan yang
rumit, pembangunan kuburan secara mewah, di beberapa tempat disertai
makanan dan harta untuk bekal perjalanan sang arwah, sampai pendirian
kuil-kuil pemujaan.
Menurut
Geoffrey Parrinder, yang dikutip oleh Zakiah Daradjat (Daradjat dkk,
1996: 43), pemujaan terhadap orang-orang yang telah meninggal atau telah
mati terdapat di semua masyarakat. Karena itu kepercayaan terhadap
hidup setelah mati ini bersifat universal dan merupakan salah satu
bentuk kuno dalam kepercayaan di kalangan suku-suku primitif. Di Cina,
pemujaan dan penyembahan terhadap para leluhur adalah pemujaan yang
sangat kuno dan merupakan salah satu unsur yang paling diutamakan dalam
agama Cina. Di Yunani, terdapat kepercayaan bahwa arwah leluhur tinggal
di makam-makam dan memiliki kekuasaan atas baik dan buruk, sakit, dan
mati. Begitu pula di Jepang, Mesir, Babylonia, Eropa, termasuk suku-suku
di Indonesia (Daradjat dkk, 1996: 41-42).
Praktik
pemujaan terhadap arwah para leluhur, yang di antaranya dilakukan
dengan persembahan korban atau pemberian sesajen, memang tidak selalu
dilakukan di makam. Dalam kebudayaan tertentu, arwah leluhur itu
dipercaya bisa ada di mana-mana, di hutan-hutan, kampung, sawah, pohon,
sampai di rumah (Daradjat dkk, 1996: 42), dan praktik pemujaannya pun
bisa dilakukan di tempat-tempat tersebut. Meskipun demikian, kedudukan makam tetaplah menempati posisi yang paling penting.
Pada
masa sekarang pun sisa-sisa kepercayaan tersebut masih bisa dijumpai di
beberapa kebudayaan, khususnya di suku-suku yang kebudayaannya masih
primitif. Di Melanesia, terdapat cara menghubungi roh leluhur yaitu
setelah selesai penguburan mayat, mereka lalu mengambil suatu kantong
dan sebatang bambu yang panjangnya kira-kira lima sampai tujuh meter. Ke
dalam kantong tadi ditaruhkan pisang, lalu mulut kantong diikatkan pada
ujung bambu, dan kantong tersebut diletakkan tepat di atas kuburan si
mati. Kemudian orang tersebut berharap dan meminta kedatangan roh sambil
memegang ujung sebelah bambu tadi. Nama orang yang baru saja meninggal
dipanggil-panggil (Daradjat dkk, 1996: 44-45). Di Dayak Kalimantan,
terdapat kebiasaan menghubungi roh orang yang sudah meninggal dengan
cara tidur di atas kuburan-kuburan sambil mengharap-harapkan mendapatkan
keberuntungan (Daradjat dkk, 1996: 45).
Kehadiran
agama-agama formal, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam,
yang masing-masing memiliki tempat pemujaan atau rumah ibadah, tidak
melenyapkan fungsi spiritual dari makam. Malah banyak di antara tempat
ibadah itu yang didirikan di atas makam, atau makam yang dibangun di
dekat tempat ibadah. Sehingga seringkali tidak dapat dibedakan ketika
seseorang berada di rumah ibadah, apakah ia hanya melakukan sembahyang
di rumah ibadah tersebut ataukah berziarah ke makam, ataukah
kedua-duanya.
Sebagai
contoh, Nabi Muhammad Saw. dimakamkan di dekat masjid Nabawi Madinah,
dan makam raja-raja Banten berada di dalam Masjid Agung Banten. Selain
itu, di makam-makam tempat ziarah terutama yang besar dan ramai hampir
selalu didirikan masjid, misalnya di makam Sunan Gunung Jati Cirebon dan
makam Syekh Mansur Pandeglang. Ini menandakan bahwa tempat ibadah
(masjid) dan makam (khususnya makam dari orang tertentu) memiliki fungsi
spiritual yang beririsan.
Dalam
Islam, aktivitas ziarah ke makam keramat berkaitan erat dengan konsep
kewalian atau kesucian. Para nabi, wali, dan orang-orang suci atau
orang-orang yang dikenal memiliki ketakwaan tinggi dipercaya memiliki
tempat mulia di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah di
dalam Alquran surat al-Hujurât [49] ayat 13, yang artinya: “Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” Menurut Muhaimin AG (dalam Supriatno, 2007: xv),
Ketakwaan seorang nabi atau wali adalah model tentang orang yang telah
menempuh hidup mulia sekaligus model untuk diteladani dan dijadikan
panutan bagi orang yang ingin menempuh hidup mulia. Sebagai model,
mereka layak dihormati. Penghormatan itu bisa mengambil berbagai bentuk,
salah satunya dengan mengunjungi kuburannya tempat sang teladan
diperistirahatkan untuk terakhir kalinya. Di sana, orang berdoa dan
mendoakannya. Apabila doa mereka dikabulkan oleh Allah, maka tambahan
pahala dan kemuliaan (karamah) dari doa itu akan mengalir kepada yang
didoakan, dan menambah tumpukan pahala dan kemuliaan yang ada padanya
yang sesungguhnya sudah penuh karena ketakwaan dirinya. Seakan tidak
tertampung, akumulasi kemuliaan itu lalu meluber kepada penziarah yang
sekaligus berdoa tadi. Luberan kemuliaan itulah yang disebut orang
sebagai “barakah”. Barakah itu, bagi yang merasakannya, menggejala dalam
berbagai bentuk seperti kemudahan usaha, perolehan keuntungan, terbebas
dari derita, sembuh dari penyakit, hilangnya stres, ketenangan hidup,
dan bentuk-bentuk lain.
Tempat-tempat Ziarah Keramat di Kabupaten Pandeglang
Kabupaten
Pandeglang terletak di provinsi Banten. Luas wilayahnya adalah 2.193,58
Km2. Wilayah kabupaten Pandeglang berbatasan dengan kabupaten Lebak di
sebelah Timur, kabupaten Serang di sebelah Utara, Selat Sunda di sebelah
Barat, dan Samudera Indonesia di sebelah selatan. Pada tahun 2000,
jumlah penduduknya mencapai 2.933.900 jiwa.
Mayoritas
penduduk Pandeglang menganut agama Islam, dan coraknya dapat
digolongkan ke dalam Islam tradisional. Di sini, penghormatan terhadap
ulama atau kiyai menempati posisi yang tinggi, termasuk ketika ulama
tersebut sudah meninggal dunia. Makamnya akan banyak diziarahi oleh
murid-muridnya, masyarakat sekitarnya, bahkan masyarakat dari luar
daerah, bergantung pada “kaliber” atau lingkup ketokohan ulama tersebut.
Tradisi
keagamaan masyarakat Pandeglang tidak berbeda dengan tradisi keagamaan
di provinsi Banten pada umumnya, termasuk dalam hal ziarah ke makam
keramat. Di antara makam keramat di daerah Pandeglang yang banyak
diziarahi oleh masyarakat, termasuk masyarakat dari luar daerah, antara
lain:
1. Makam Syekh Mansur di Cikadueun
2. Makam Syekh Abdul Jabbar di Karangtanjung
3. Makam Syekh Asnawi di Caringin
4. Makam Syekh Daud di Labuan
5. Makam Syekh Rako di Gunung Karang
6. Makam Syekh Royani di Kadupinang
7. Makam Syekh Armin di Cibuntu
8. Makam Abuya Dimyati di Cidahu
9. Makam Ki Bustomi di Cisantri
10. Makam Nyimas Gandasari di Panimbang.
Aktivitas
ziarah ke makam-makam keramat tersebut biasanya meningkat tajam pada
bulan Mulud (Rabiul Awal, bulan lahirnya Nabi Muhammad Saw.), menjelang
bulan Ramadan, sehabis Lebaran, pada malam Jumat, dan pada hari-hari
libur. Tetapi pada hari-hari biasa pun selalu ada saja orang yang
berziarah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar