.....
Apabila kita pergi
bertamasya ke sebuah tempat, 10 Km di sebelah utara kota Serang, yaitu
tempat yang dalam masa-masa sejarahnya terkenal dengan nama Banten, maka
akan tampaklah di sana-sini puing-puing bekas keraton, benteng-benteng,
toko-toko, meriam-meriam kuno, jembatan rante dan sebagainya. Malahan
di antara bangunan-bangunan lama itu ada pula yang masih tegak berdiri,
karena sudah mengalami beberapa perbaikan, yaitu Mesjid Agung dan
menaranya yang menjadi ciri khas bagi Banten Lama. Di serambi kiri dan
kanan Mesjid Agung itu terlihat barisan makam beberapa Sultan dengan
maesan-maesannya yang berukiran indah-indah.
Puing-puing serta
bangunan-bangunan yang masih tegak berdiri ditambah dengan lingkungan
alam sekitarnya mau tidak mau akan merangsang semangat dan pikiran kita
yang menjalin kenang-kenangan Banten di masa lampau. Masa Banten
mengalami sejarah kebesarannya, masa Banten menghirup udara kemakmuran
dan kesejahteraan, masa Banten mengalami kejayaan dan kegemilangan, masa
Banten mengalami kedaulatan serta kemerdekaan penuh. Tiada juga
terlepas pikiran dan perasaan serta penghargaan kita kepada beberapa
tokoh dan pengemudi masyarakat di kala itu yang kini bersemayam di alam
baka sebagai tersaksikan pada makam-makam yang terukir indah-indah di
samping kiri dan kanan mesjid itu.
Teringatlah akan jasa-jasa
serta kepahlawanan Sunan Gunung Jati, peletak Islam pertama di Banten;
Maulana Hasanuddin, penerus dan pengembang Islam di zaman perjoangan
ayahnya sendiri di Banten; Maulana Yusuf adalah tenaga pendobrak
kerajaan Pajajaran serta pendiri bangunan, peletak dasar pertanian di
sawah-sawah; Maulana Muhammad atau Pangeran Seda ing Palembang yang
melanjutkan usaha peluasan Islam ke Palembang dan sekitarnya; Sultan
Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir adalah Sultan yang arif bijaksana dan
senantiasa memelihara kesejahteraan rakyat, pertanian dan pembangunan,
lagi pula penentang usaha penjajahan serta monopoli perdagangan bangsa
asing. Tetapi yang amat mengesankan di hati rakyat Banten sendiri dan di
hati bangsa Indonesia ialah Sultan Ageng Tirtayasa. Amat mengesankan
karena menginggalkan jasa yang luar biasa besarnya bagi rakyat Banten
khususnya dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Tak dapat disangkal
apabila misalnya dalam sejarah ia tercatat dengan tinta emas sebagai
pahlawan besar, sebagai patriot sejati yang dengan gigih mempertahankan
kemerdekaan Banten dari kolonialisme Kompeni Belanda di abad ke-17M.
Justeru dengan perlawanannya yang senantiasa gigih dan berani terhadap
Kompeni Belanda itulah ia dicap sebagai musuh bebuyutan atau musuh turun
temurun Kompeni Belanda. Di lapangan pertanian, pelayaran, pembangunan,
pengairan, agama, dan kebudayaan dan terutama sekali di bidang
kemerdekaan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa tidak mudah dilupakan orang.
Karena hal-hal itulah maka jiwa dan semangat Sultan Ageng Tirtayasa akan
tetap dikenang umum. Keturunan siapakah tokoh pahlawan besar ini ?
Tokoh
sejarah kenamaan itu ialah salah seorang di antara putera-putera Sultan
Abdulma’ali Ahmad dari perkawinannya dengan Ratu Martakusuma. Sultan
Abdulma’ali Ahmad sendiri ialah putera Sultan Abulmafakhir Mahmud
Abdulkadir, seorang Sultan yang memerintah Banten antara 1596 M. – 1651
M. Jadi ia adalah kakek Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Abulmafakhir
Mahmud Abdulkadir itu karena kebijaksanaannya dalam pemerintahan, dan
tambahan pula seringkali menentang Kompeni Belanda, maka ia pun mendapat
julukan Sultan Agung. Menurut ceritera-ceritera sejarah, ibu Sultan
Ageng Tirtayasa yang kenamaan itu, adalah Ratu Martakusuma salah seorang
puteri Pangeran Jakarta. Saudara-saudara Pangeran Surya yang seibu dan
seayah antara lain ialah Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor dan
Pangeran Raja. Sedang saudara-saudaranya yang hanya seayah saja ialah
Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten dan Ratu Tinumpuk.
Setelah
Pangeran Surya itu diangkat oleh kakeknya sebagai Sultan muda pengganti
ayahnya yang wafat, maka ia diberi julukan Pangeran Ratu atau Pangeran
Dipati. Ketika baik ayahnya maupun kakeknya sendiri wafat, Pangeran Ratu
diangkat menjadi Sultan pengganti kakeknya yang bernama Sultan
Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sejak ia memegang tampuk pemerintahan
serta sudah mendapat restu dari Mekah, ia mendapat gelar Sultan
Abdulfattah. Di antara istri-istrinya yang disebut-sebut pada
cerita-sejarah Banten ialah Nyai Ayu Gede dan Ratu Nengah. Nyai Ratu
Gede ialah salah seorang putri ponggawa yang karena amat cantiknya dapat
menarik perhatian Sultan Abulfath Abdulfattah. Sultan jatuh cinta
padanya pada waktu ada perayaan di mana gadis itu merupakan salah
seorang di antara pembawa alat perhiasan kerajaan dalam upacara. Sedang
istrinya yang bernama Ratu Nengah ialah putri Pangeran Kusunyata.
Perkawinan
dengan istri kedua tersebut dilakukan setelah istrinya yang pertama,
yang pada sejarah Banten tak disebut namanya, meninggal dunia. Di antara
putera-putera Sultan Abulfath Abdulfattah yang mencapai usia dewasa
ialah Pangeran Purbaya dan Pangeran Gusti yang juga terkenal kelak
dengan julukan Sultan Haji.
Sejak Sultan Abulfath Abdulfattah
bertentangan dengan puteranya yang bernama Sultan Haji itu atau Abunaser
Abdulkahar, lagi pula telah mengundurkan diri dari pemerintahan
sehari-hari, maka ia pergi ke Tirtayasa dan mendirikan keraton yang baru
di tempat itu. Sejak bersemayam di tempat ini ia dikenal dengan julukan
Sultan Ageng Tirtayasa. Julukan inilah yang paling dikenal hingga kini
di kalangan masyarakat Banten dan demikian pula di kalangan bangsa asing
sebagaimana ternyata dari catatan-catatan sejarahnya. Sultan Ageng
Tirtayasalah yang dalam catatan-catatan bangsa Eropa, khususnya Belanda
terkenal sebagai musuh besar Kompeni Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar