Sabtu, 04 Januari 2014

Tahap Akhir Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa



Tahap Akhir Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa

Hubungan Sultan Haji dengan kompeni Belanda sudah sedemikian dekatnya sehingga dalam pasukan pertahanan Surosowan pun ditempatkan satu barisan pasukan kompeni sebagai pasukan tambahan, yang pada hakekatnya mereka adalah mata-mata yang ditanam kompeni di Banten. Memang inilah yang dituju kompeni, Sultan Haji sudah terbiasa dengan segala yang berbau Belanda.
Ia lebih percaya kepada kata-kata kompeni dari pada petuah-petuah ayahnya. Karena hasutan kompeni ini pulalah maka hubungan Sultan Haji dengan ayahnya semakin renggang, bahkan kedua sultan ini saling curiga mencurigai. Sehingga pada diri Sultan Haji tumbuh keinginan yang kuat untuk segera memegang kekuasaan penuh di Kesultanan Banten, tanpa adanya campur tangan ayahnya.
Keinginan demikian terlihat dari tindakan Sultan Haji yang pada bulan Mei 1680 mengirimkan utusan ke Gubernur Jendral VOC di Batavia untuk menawarkan perdamaian sambil menegaskan bahwa yang berkuasa di Banten sekarang adalah dirinya. Ia menyatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa sudah menyerahkan seluruh kekuasaannya.
Sudah tentu tawaran itu ditolak, kompeni tahu bahwa Sultan Ageng Tirtayasa belum meletakkan jabatannya. Keadaan ini dijadikan senjata oleh kompeni mendorong Sultan Haji untuk segera memperoleh kuasa penuh di Banten.
Satu hal lagi yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa, adalah surat ucapan selamat yang dikirimkan Sultan Haji atas diangkatnya Speelman menjadi Gubernur Jendral VOC menggantikan Rijklof van Goens pada tanggal 25 November 1680, padahal saat itu kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon yang kemudian dapat menguasai Cirebon seluruhnya.
Melihat keadaan anaknya yang sudah sedemikian keadaannya, Sultan Ageng Tirtayasa memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan sewaktu-waktu. Rakyat dari daerah Tanahara, Pontang, Tirtayasa, Caringin, Carita dan sebagainya banyak yang mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit.
Demikian juga tentara pelarian dari Makasar, Jawa Timur, Lampung, Solebar, Bengkulu dan Cirebon bergabung dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan sudah tidak peduli lagi dengan tentara dan bangsawan yang berpihak kepada Sultan Haji yang dianggap berpindah adat dan berbeda haluan.
Dalam suasana yang sudah demikian panas, Sultan Ageng mendengar khabar bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan kompeni kerena dianggap kapal perompak. Tuntutan Sultan supaya mereka dibebaskan tidak dihiraukan kompeni.
Hal ini membuat kemarahan Sultan menjadi-jadi. Rasa harga dirinya sebagai Sultan dari suatu negara merdeka terasa diremehkan. Maka diumumkannya bahwa Banten dan kompeni Belanda dalam situasi perang.
Pernyataan perang Sultan Ageng Tirtayasa kepada kompeni ini ditentang oleh anaknya, Sultan Haji. Sultan Haji menyatakan bahwa keputusan itu terlalu ceroboh, dan, karena tidak dimusyawarahkan dahulu dengannya maka keputusan itu tidak syah.
Bahkan dengan bermodalkan bantuan pasukan kompeni, yang dijanjikan kepadanya, Sultan Haji memak-zulkan ayahnya, dengan alasan bahwa ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, sudah terlalu tua dan sudah mulai pikun sehingga mulai saat ini kekuasaan Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.
Melihat tingkah laku anaknya yang sudah keterlaluan ini, habislah sudah kesabaran Sultan Ageng Tirtayasa. Musuh besarnya adalah kompeni Belanda, tapi untuk menggem-purnya harus ada kesatuan kata dari semua rakyat Banten.
Oleh karenanya sebelum menyerang Batavia, terlebih dahulu harus menyatukan Banten, yaitu mengganti Sultan Haji. Sultan Ageng bukanlah akan berperang dengan anaknya, tetapi yang diperangi adalah antek penjajah.
Pada tanggal 26 malam 27 Pebuari 1682, dengan dipimpin sendiri oleh Sultan Ageng Tirtayasa, mulailah diadakan penyerbuan mendadak ke Surosowan, yang berhasil mematahkan perlawanan Surosowan, sehingga dalam waktu singkat, pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana. Sultan Haji melarikan diri dan minta perlindungan kepada Jacob de Roy, bekas pegawai kompeni.
Keadaan Surosowan ini segera dapat diketahui Batavia, maka pada tanggal 6 Maret 1682 dipimpin oleh Saint Martin kompeni mengirimkan dua kapal perang lengkap pasukan tempurnya. Pasukan ini tidak segera dapat mendarat di pelabuhan Banten, karena hebatnya perlawanan pasukan Banten. Maka Kapten Sloot dan W. Caeff, wakil kompeni di Banten, segera mengirim utusan ke Batavia agar kompeni mengirimkan pasukan darat yang lebih banyak lagi.
Setelah mempelajari keadaan medan perang, kompeni segera mengirim pasukan bantuan dari darat dan laut. Penyerangan dari laut dipimpin oleh Kapten Francois Tack yang, nanti bersama-sama dengan pasukan Saint Martin mengadakan serangan di depan pelabuhan Banten.
Sedangkan pasukan darat dipimpin Kapten Hartsinck, berkekuatan 1000 orang, mengadakan penyerangan dari arah Tangerang; nanti dalam serbuan ke Tirtayasa, pasukan ini bergabung dengan pasukan laut, sehingga Tirtayasa diserang dari dua arah, demikian taktik kompeni.
Melalui pertempuran yang banyak memakan korban, akhirnya pasukan Kapten Tack dan Saint Martin dapat menguasai Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa dan pasukannya mundur ke arah barat sungai Ciujung. Pertempuran ini berlangsung terus menerus sampai akhirnya pasukan Sultan Ageng hanya dapat bertahan di benteng Kedemangan.
Dalam pada itu, pasukan Banten di Tangerang dan Angke berusaha menahan serangan pasukan Kapten Hartsink. Di sebelah timur Sungai Angke, kompeni hanya dapat bertahan di bentengnya saja, sedangkan benteng di sebelah baratnya, pada tanggal 30 Maret 1682, sudah dapat dikuasai pasukan Banten yang dipimpin Pangeran Dipati.
Tapi setelah melalui pertempuran yang lama, pada tanggal 8 Desember 1682 kubu pertahanan Banten di Tangerang dan Angke dapat dikuasai kompeni. Benteng di Kedemangan pun akhirnya dapat dihancurkan pasukan Kapten Tack pada tanggal 2 Desember 1682. Dengan demikian ruang gerak prajurit Sultan Ageng Tirtayasa semakin kecil.
Disebelah barat pasukan kompeni yang dibantu pasukan Sultan Haji menguasai sampai Kademangan, sedangkan dari arah timur pasukan Kapten Hartsinck sudah sampai di perbatasan daerah Tanahara. Sehingga daerah induk yang masih dikuasai Sultan Ageng hanyalah Tanahara, Tirtayasa dan Kademangan saja.
Untuk mempertahankan Tirtayasa, benteng di Kademangan dan Tanahara merupakan kubu pertahanan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa yang terkuat. Di Tanahara, Sultan Ageng menempatkan pasukan darat yang dipusatkan di benteng Tanahara, dan juga pasukan lautnya di Pulau Cangkir.
Karena kuatnya pertahanan di Tanahara ini, maka kompeni menambah lagi pasukan tempurnya dari Batavia dipimpin Kapten Jonker. Setelah mengerahkan pasukan penyerang dari darat dan laut, barulah pada tanggal 28-29 Desember 1682 Tanahara pun dapat direbut kompeni.
Dalam usaha untuk menguasai daerah Tirtayasa, kompeni melakukan penyerangan serentak dari dua jurusan: pasukan Kapten Tack dan Sultan Haji menyerang dari Pontang, sedangkan pasukan Hartsinck dan Kapten Jonker menyerang dari Tanahara. Seluruh barisan pertahanan Sultan Ageng dikerahkan untuk melawan kekuatan kompeni ini.
Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, Syekh Yusuf dan seluruh pembesar negeri semuanya turut berperang memimpin pasukan. Pertempuran berlangsung hebat, tapi akhirnya pasukan Sultan Ageng sedikit demi sedikit dapat dipukul mundur. Karena Sultan memperkirakan bahwa pasukannya tidak akan mampu mempertahankan Tirtayasa lebih lama lagi, maka diperintahkan pasukannya untuk segera mengundurkan diri, meninggalkan Tirtayasa dan mundur ke arah selatan yaitu hutan Keranggan.
Tapi sebelumnya, Sultan memerintahkan supaya istana dan bangunan lainnya dibakar. Sultan tidak rela bangunan-bangunannya itu diinjak oleh orang kafir dan pendurhaka. Memang, akhirnya kompeni dan Sultan Haji dapat menduduki Tirtayasa, tetapi di sana mereka hanya mendapati puing-puing bekas istana saja, bahkan penduduknya pun banyak yang ikut Sultannya ke hutan.
Dari hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan seluruh pasukannya melanjutkan perjalanan ke Lebak. Satu tahun mereka melakukan perang gerilya dari sana. Tapi akhirnya, Lebak pun dapat dikepung pasukan kompeni, sehingga pasukan Sultan Ageng terpecah menjadi dua bagian: Pangeran Purbaya dan sejumlah tentaranya bergerak ke sekitar Parijan, di pedalaman Tangerang. Sedangkan Sultan Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf beserta sisa pasukannya bergerak ke daerah Sajira, di perbatasan Bogor.
Sultan Haji berusaha keras agar ayahnya dapat kembali ke Surosowan. Dengan petunjuk serta nasehat kompeni, yang ingin melakukan tipu daya halus, maka Sultan Haji mengirimkan surat kepada Sultan Ageng Tirtayasa di Sajira. Surat itu berisikan ajakan Sultan Haji supaya ayahnya kembali ke Surosowan dan hidup bersama dengan damai, di samping itu dapatlah dirundingkan kedudukan prajurit dan rakyat Banten yang mendukung perjuangan Sultan Ageng.
Tanpa perasaan curiga sedikit pun, Sultan yang kala itu usianya sudah lanjut, (ditambah pula kesedihan atas gugurnya Pangeran Kulon pada tanggal 7 Maret 1683) maka pada tanggal 14 Maret 1683 tengah malam, Sultan Ageng datang ke Surosowan setelah lama bertahan di hutan.
Sultan Ageng Tirtayasa dengan beberapa pengawalnya sampailah di Surosowan dan langsung menemui putranya yang telah menantikan kedatangan sang ayah. Penerimaan Sultan Haji sangat baik meski pun di belakangnya telah ada maksud tertentu atas bujukan kompeni. Tetapi setelah beberapa saat lamanya tinggal di istana Surosowan ia ditangkap oleh kompeni dan segera dibawa ke Batavia.
Memang itulah maksud dan tipudaya kompeni atas kerja sama dengan Sultan Haji. Jika Sultan Ageng Tirtayasa dibiarkan berada di Surosowan maka dikhawatirkan oleh kompeni akan dapat mempengaruhi Sultan Haji, yang sudah erat bekerjasama dengan kompeni.
Sultan Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalam penjara berbenteng di Batavia dengan penjagaan ketat serdadu kompeni hingga meninggalnya di penjara pada tahun 1692. Jenazahnya oleh Sultan Abdulmahasin Zainul Abidin, anaknya Sultan Haji, dan terutama oleh rakyat Banten yang amat mencintainya dimintakan kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda untuk dikirim kembali ke Banten.
Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat mengesankan ia dimakamkan di samping sultan-sultan pendahulunya, di sebelah utara Masjid Agung Banten.

Tidak ada komentar: