Sunan
 Gunung Jati dikenal juga sebagai Syarif Hidayatullah. Ia adalah putera 
dari Nyai Rara Santang, salah seorang puteri Sri Baduga Maharaja Prabu 
Siliwangi dari ibunda Nyai Subang Larang. Ayahnya bernama Syekh Maulana 
Akbar yang berasal dari Negeri Gujarat di India Selatan. Dengan 
demikian, ia adalah salah satu cucu dari raja terbesar Pajajaran. Sunan 
Gunung Jati dikenal sebagai satu-satunya anggota Wali Songo yang 
menyebarkan agama Islam di Tatar Pasundan atau wilayah Jawa Barat.
Sepeninggal 
Prabu Siliwangi, Kerajaan Pajajaran mengalami kemunduran dan terpecah 
belah. Salah seorang puteranya, Raden Walangsungsang, memisahkan diri 
dari kekuasaan pusat dengan mendirikan Keraton Cirebon dengan gelar 
Prabu Cakrabuana. Sang prabu tidak memiliki seorangpun putera laki-laki.
 Tatkala Syarif Hidayatullah telah dewasa dan kembali dari pengembaraan 
di Tanah Suci Mekkah, maka ia kemudian dinikahkan dengan saudara 
sepupunya yang bernama Dewi Pakungwati. Kelak Syarif Hidayatullah 
menggantikan tahta uwaknya dan membangun Keraton Pakungwati yang kini dikenal sebagai Keraton Kasepuhan Cirebon.
Setelah 
wafat, Sunan Gunung Jati dimakamkan di sebuah bukit kecil yang dikenal 
sebagai Gunung Sembung. Kompleks pemakaman ini berada di lintasan Jalan 
Cirebon – Indramayu, kurang lebih berjarak 4 km dari pusat Kota Cirebon 
ke arah utara. Sebagai salah seorang wali penyebar agama Islam, makam 
Sunan Gunung Jati selalu dipadati oleh para peziarah dari berbagai 
daerah di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan kaum 
muslimin dari luar negeri.
Memasuki 
area pemakaman dari jalan utama, peziarah akan menjumpai barisan 
toko-toko yang menjajakan aneka rupa kebutuhan ziarah, seperti kembang 
tujuh rupa dan kemenyan. Di samping itu, kebanyakan dari toko-toko 
tersebut juga menjual aneka perlengkapan dan peralatan ibadah
, mulai 
dari sarung, peci, baju koko, mukena, tasbih, hingga kitab suci Al 
Qur’an dan berbagai kitab ataupun buku-buku keagamaan yang lain. 
Menambah semarak, di banyak toko juga menjajakan barang-barang khas 
Cirebon, seperti kujang, aneka koas, kain batik, bahkan senjata tajam 
semisal kujang dan keris.
Jika akan memasuki area pemakaman, peziarah akan melewati gerbang gapuro utama yang tersusun dari tatanan batu bata merah yang berdiri tambun dan anggun. Tepat di belakang gapuro
 inilah berjejeran para peminta sedekah yang membawa wadah penampung 
uang sumbangan, seperti kotak amal, hingga panci baskom dari tembaga.
Selepas gapuro
 utama, sebenarnya terdapat 9 pintu makam yang masing-masing sekaligus 
membedakan tingkatan-tingkatan area makam yang berundak membentuk 
terasiring. Setelah beberapa lika-liku lorong ditempuh, peziarah hanya 
dibatasi hingga di depan pintu ke lima yang dikenal sebagai pintu Pasujudan. Di sinilah kebanyakan pengunjung memanjatkan doa ataupun tahlil lengkap dengan Surat Yasin. Antara tempat Pasujudan dengan kompleks dalam makam dibatasi pintu terkunci rapat dan hanya bisa dimasuki oleh para kerabat Keraton Cirebon dan abdi dalem terpercaya saja.
Sebagai suatu pengetahuan tambahan, para abdi dalem
 Kanjeng Sultan yang dipercaya menjaga dan mengurusi kompleks Makam 
Sunan Gunung Jati ini jumlahnya selalu 108 orang. Mereka adalah 
anak-cucu atau keturunan dari para prajurit Keling dari Kerajaan 
Kalingga yang konon dulu sempat terdampar di perairan Cirebon dan 
terpilih untuk menjadi pengawal pilihan Kanjeng Sunan Gunung Jati.
Suasana di depan pintu Pasujudan
 hampir dapat dipastikan selalu ramai dan penuh sesak dengan para 
peziarah yang datang silih berganti. Tidak hanya siang dan malam, para 
peziarah juga banyak yang datang justru di jam-jam setelah tengah malam.
 Puncak kepadatan peziarah biasa terjadi di malam Jum’at Kliwon maupun 
Selasa Legi.
Di sisi kanan dan kiri pintu Pasujudan terdapat beberapa padasan
 berisi air suci untuk berwudlu para peziarah. Air tersebut terkadang 
juga banyak diwadahi dalam botol air mineral untuk dibawa pulang oleh 
para peziarah. Di area kompleks makam juga terdapat beberapa sumur 
sumber air yang dikeramatkan, seperti sumur kamulyan, sumur djati, kanoman, kasepuhan, dan jalatunda. Khusus mengenai sumur jalatunda,
 konon dulu dibuat oleh Sunan Kalijaga pada saat rombongan para wali 
berkunjung ke wilayah Cirebon. Tanah Cirebon sedari dahulu dikenal 
tandus dan sangat sulit untuk menemukan sumber air tawar. Maka pada saat
 akan menunaikan sembahyang, para wali memerintahkan Sunan Kalijaga 
untuk membuat atau menemukan mata air untuk berwudlu. Akhirnya dengan 
menancapkan sebatang ranting kecil, muncullah sebuah pancaran air yang 
lama-kelamaan kian membesar sehingga amblas dan membentuk sebuah sumur. 
Sumur inilah yang dikenal sebagai sumur jalatunda.
Berziarah ke
 makam wali terkenal seperti Sunan Gunung Jati banyak membawa hikmah 
tersendiri bagi setiap peziarah. Nilai-nilai keutamaan dan keteladan 
akhlak dari sang sunan dapat dijadikan contoh bagi segenap kaum muslimin
 di sepanjang masa. Jika sampeyan pernah mengunjungi makam para sunan yang lain di Demak, Kudus, Muria, Gresik, Ampel, atau Giri, maka baru akan lengkap jika sampeyan juga menyempatkan diri berziarah ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon ini.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar