Selasa, 10 Maret 2020

MALAIKAT PENGHIBUR MUKMIN YANG GALAU


Imam Ibn Asakir dalam kitabnya Tarikh Dimasyq (sejarah Damasyqus), Imam at-Thobaroniy dalam kitab Mu’jam dan Imam Ibn Abid Dunya radhiyallahu anhum menyebutkan riwayat seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bernama Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu yang notabene beliau salah seorang yang di masa hidup Rasulullah selalu menemani sang Rasulullah  baik di waktu safar (perjalanan) maupun hadhor (tidak keluar kota). Beliau juga sebagai ahli shuffah (yang tinggal di emperan masjid) dan al-Bakka (yang banyak menangis). Setelah wafat sang Rasul, beliau masih diberikan panjang umur hidup kurang lebih 50 tahun lagi.
Pada suatu hari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu pergi ke masjid Damasyqus. Setelah mengerjakan shalat beliau curhat kepada Allah Taala melalui doanya: “Ya Allah, sungguh telah lelah diri ini, kondisi fisik yang makin lemah dan umur semakin lanjut. Wafatkan hamba Ya Allah.”
Sekonyong-konyong ada pemuda tampan berbaju hijau yang mendengar doa beliau, kemudian pemuda itu bertanya: “Ya fulan, apa yang ucapkan tadi? Kalau engkau berdoa kepada Allah Taala jangan seperti itu.!!!”
Irbadh bin Sariyah bertanya: “Lalu dengan doa seperti apa yang aku ucapkan?”
Pemuda itu menjawab:
اللهم حسن العمل وبلغ الأجل
Allahumma Hassinil Amal Wa Ballighil Ajal
“Ya Allah, baguskan amal ibadahku, kemudian wafatkan aku.”
Pemuda itu menambahkan: “Janganlah seseorang minta diwafatkan sebelum ia minta kepada Allah ibadah yang baik.”
Irbadh bertanya lagi: “Wahai pemuda semoga engkau mendapat kasih sayang Allah. Siapakah nama engkau?”
Pemuda itu menjawab: “Nama saya adalah Rotail, saya adalah malaikat yang mendapat tugas dari Allah Ta’ala untuk menghibur orang-orang beriman ketika mereka sedang mengalami kesedihan.”
Begitu Irbadh bin Sariyah menoleh, beliau sudah tidak menemukan seorang pun di tempat itu.

Imam al-Haistamiy mengatakan bahwa riwayat ini disebutkan oleh para periwayat yang tsiqot (terpercaya). Wallahu A'lam ...

MENCARI ULAMA PEWARIS NABI

ata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim. Kata ini berasal dari akar kata ‘alimaya’lamu – ‘ilman. Di dalam berbagai bentuknya, kata ini disebut 863 kali di dalam al-Qur’an. Masing-masing dalam bentuk fi’il mai 69 kali; fi’il muḍāri’ 338 kali; fi’il amr 27 kali dan selebihnya dalam bentuk isim dalam berbagai bentuknya sebanyak 429 kali.
Ibnu Faris di dalam Mu’jam Maqāyisil Lughah menyebutkan bahwa rangkain huruf ‘ain, lam, dan mim, pada asalnya memiliki arti yang menunjuk pada tanda atau jejak pada sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dari akar kata ini, diantaranya lahir turunan kata berikut: al-‘alamah (tanda, yakni yang dikenal), al-‘Alam (bendera atau panji), dan al-‘ilm (tahu), lawan dari kata al-Jahl (tidak tahu).[1]
Kata ‘ulama jama’ dari kata ‘ālim (عالم) yang berarti mengetahui sedangkan kata (عليم) ‘alīm/Maha mengetahui merupakan Shīghāt Mubalaghah yaitu bentuk isim fa’il yang menunjukan arti sangat atau maha. Kata ālim (عالم) juga memiliki bentuk jama’ muzakar salim yakni ‘ālimun (عالمون) atau ‘ālimīn (عالمين) disebut lima kali di dalam al-Qur’an.[2] Digunakan, antara lain, untuk menunjuk kepada orang-orang yang mampu memahami tanda-tanda kekuasaan Allah maupun tamil-tamil yang diungkapkannya, serta mereka yang mampu mena’wilkan mimpi. Misalnya di dalam al-Qur’an surat al-‘Ankabūt ayat 43,[3]ālimun disebutkan dalam konteks pengecualian bahwa yang bisa memahami perumpamaan-perumpamaan yang dibuat Allah bagi manusia hanyalah al-‘Ālimūn (orang-orang yang mengetahui).[4]
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) ulama diartikan sebagai orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.[5] Dalam Ensiklopedi Islam, definisi ulama adalah orang yang tahu atau yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealaman yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah.[6]
Adapun bila kata ulama itu dihubungkan dengan perkataan yang lain, maka artinya hanya mengandung arti terbatas dalam hubungannya itu. Misalnya “ulama fiqih” artinya orang mengerti tentang ilmu fiqih, “ulama kalam” artinya orang yang mengerti tentang ilmu kalam, “ulama hadi”, artinya orang yang mengerti tentang ilmu hadi, “ulama tafsir”, artinya orang yang mengerti tentang ilmu tafsir, dan seterusnya, umpamanya ulama syiyasyi (politik), ulama bahasa, ulama nahwu, dan lain sebagainya.
Menurut bahasa yang berlaku sampai sekarang ini di Indonesia ini, kata ulama atau alim ulama diartikan untuk orang yang ahli tentang agama Islam, yakni orang yang mendalam ilmunya dan pengetahuannya tentang agama Islam beserta cabang-cabannya dalam urusan agama Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu hadi, ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab termasuk alat-alatnya yang disebut paramasastra seperti ilmu orof, nahwu, ma’ani, bayān, badī’, balaghah, dan sebagainya. Jelasnya orang yang faham dan mendalam ilmunya tentang agama Islam yang meliputi ‘aqidah, syari’ah, mu’amalah, akhlak.[7]
Betapapun semakin sempitnya pengertian ulama dari dahulu sampai sekarang, namun ciri khasnya tetap tidak dilepaskan, yakni ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu diajarkan dalam rangka khasyah (adanya rasa takut) kepada Allah SWT. Oleh karena itu, seorang ulama harus orang Islam. Seseorang yang baru memiliki ilmu keagamaan (keislaman) seperti para ahli ketimuran (orientalis) tidak dikatakan ulama.[8]
Dari beberapa penjelasan di atas, menurut hemat penulis bahwa hakikat dari ulama adalah orang yang berilmu dan mempunyai kekuatan spiritual yang diwujudkan dalam bentuk ketakutan kepada Allah. Orang yang berilmu (ilmu agama dan ilmu kealaman) dan tidak mempunyai rasa takut kepada Allah akan tanggung jawab sebagai manusia yang berilmu yang diberi karunia oleh Allah kelebihan intelektual, maka bukan ulama yang dimaksudkan dalam al-Qur’an.
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai ulama, penulis mengkelompokkan ulama menjadi dua bagian, hal ini sejalan dengan apa yang telah  dikemukakan  oleh  Imam  al-Ghazali, yakni ulama akhirat dan ulama dunia (ulama su’).[9]
1.     Ulama Akhirat
Ulama akhirat adalah orang yang mewarisi ilmu yang bermanfaat dan amal saleh yang diwariskan oleh para nabi. Mereka juga mewarisi semangat untuk berdakwah dan ber-amar ma’rūf nahī mungkar, berjihad di jalan Allah, dan berani menanggung resiko yang harus dihadapinya demi menggapai ridha Allah. Seperti inilah amalan yang dahulu diwariskan oleh para nabi. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Barang siapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan menuntunnya menuju jalan surga. Sungguh malaikat-malaikat merebahkan sayap-sayapnya sebagai wujud keriaan mereka kepada pencari ilmu. Sungguh seorang alim akan dimintakan ampunan oleh seluruh makhluk langit maupun bumi, bahkan ikan-ikan memintakan ampun untuknya. Sesungguhnya keutamaan ulama atas ahli ibadah ialah seperti keutamaan (cahaya) rembulan atas (cahaya) bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.  Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambilnya bagian yang banyak.[10]
Ibnu Qoyyim berkata: “dalam hal ini terdapat perintah dan bimbingan kepada umat Islam untuk menaati, menghormati, mengagungkan dan memuliakan (ulama), sebab mereka pewaris para nabi yang memiliki hak untuk diperlakukan seperti ini.[11]
Menurut Badruddin Hsubky bahwa ciri-ciri ulama akhirat ialah:
Pertama, tidak memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. Sebetulnya ulama sejatinya tidak akan mencintai dunia. Dengan kecintaannya kepada ilmu, dunia tidak lagi berarti baginya. Pada kenyataannya, tidak jarang kita melihat ulama yang mengorbankan agama dan ilmunya untuk kepentingan dunia. Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah, ia mempelajari ilmu-ilmu itu untuk memperoleh harta-harta duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.”
Kedua, Perilakunya sejalan dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang berbuat kebaikan sebelum ia mengamalkannya. Ulama yang diharapkan menjadi panutan dan contoh bagi umatnya jangan sampai perilakunya bertolak belakang dengan ucapannya, mereka pandai untuk berbicara akan tetapi tidak mampu untuk mengamalkannya sendiri. Allah SWT memberi peringatan kepada kita dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff [61]: 2-3)
Ketiga, Mengajarkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, Ulama yang senantiasa memperjuangkan agama dan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar serta mengajak ke arah kebaikan dengan perantara mengajarkan disiplin ilmu kepada umatnya, hal ini yang bertujuan untuk syiar dan memperoleh kepentingan akhirat.
Keempat, Menjauhi godaan penguasa jahat. Larangan bagi para ulama untuk mendatangi pintu penguasa bukanlah larangan datang ke tempat penguasa atau larangan bekerjasama dengan penguasa bagi kepentingan masyarakat. Larangan yang dimaksud adalah larangan dalam kalimat majaz yang artinya larangan bagi para ulama untuk membenarkan tindakan atau kebijakan penguasa yang bertentangan dengan al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas.  Pembenaran ini ada kaitannya dengan materi atau kepentingan duniawi.
Kelima, Senantiasa khasyah kepada Allah, takim atas segala kebesaran-Nya, tawau’, hidup sederhana, dan berakhlak mulia terhadap Allah maupun sesamanya. Tanggung jawab ulama dalam keilmuan mereka sepatutnya memberi contoh atau teladan dalam semua aspek kehidupan, termasuk kaedah bermasyarakat dan bersosialisasi. Mereka dituntut menampilkan peribadi yang baik, jujur dan santun dalam tutur kata.
Bahasa kasar dan berbelit-belit dilarang keras, karena hasilnya akan menyebabkan khalayak keliru, aib dan marah. Luka yang diakibatkan oleh lidah hakikatnya lebih parah daripada yang diakibatkan oleh pisau. Sebaliknya, tutur kata dan perilaku yang membimbing akan melahirkan nilai-nilai kerjasama dan persefahaman sehingga setiap diri manusia disaluti kasih sayang dan berjiwa pemaaf. Itulah akhlak mulia.
Belum layak diberikan gelar ulama jika jiwa seseorang itu belum mencapai tingkatan khasyah yang benar-benar takut kepada Allah, bersikap terlalu kasar dan bengis atau memandang rendah terhadap orang awam. Apalagi jika mereka selalu plin-plan dalam percakapan atau sentiasa berubah pendirian demi memenuhi kepentingan diri atau kumpulan tertentu. Ulama yang berperilaku sombong dan lupa diri kerana ilmu yang dimilikinya tidak disusuli dengan amalan, atau menggunakan ilmu bukan atas dasar kebenaran, maka orang tersebut disebut bukan ulama melainkan orang munafik.
Keenam, Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak sedikit dikalangan kita ulama yang mudah untuk berfatwa. Bahkan mereka tidak segan menjawab berbagai pertanyaan yang tidak mereka ketahui karena malu pamor mereka turun. Oleh karenanya, ulama diharapkan untuk berhati-hati dalam berfatwa, jangan sampai keluar dari dua sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah, mengingat maslahat umat lebih penting daripada urusan pribadinya.[12]
2.     Ulama Dunia (Ulama Su’)
Ulama su’ adalah ulama yang jelek. Tetapi pada umumnya orang memberi arti ulama su’ adalah ulama yang keji atau yang jahat dan tidak mengikuti jejak Nabi. Kategori ulama su’ bermacam-macam modelnya. Ada yang menjadi tukang fitnah di muka bumi, ada yang sebagai penjilat, ada yang menjual agama dan aqidah, demi hidup dengan sesuap nasi, serta ada yang rusak akhlaknya.[13] Nabi Muhammad bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku ialah para imam yang menyesatkan” (HR. Abū Dawud)[14]
Hadits ini menggunakan konteks kalimat dengan kata innamaă yang berarti pembatasan dengan tujuan untuk menyatakan keseriusan rasa takut Nabi atas musibah yang akan menimpa umatnya karena ulah para imam yang sesat. Hadits ini jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah telah membuat salah satu klasifikasi ulama, yaitu muillūn: menyesatkan.  Kriteria mereka adalah sebagaimana tertera di dalam hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab ahih-nya, yaitu hadits riwayat Hudzaifah Ibnul Yaman bahwa Rasulullah bersabda:
“Sepeninggalku nanti akan muncul para imam yang tidak mengambil petunjuk dariku dan tidak melaksanakan sunnahku. Dan akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya seperti hati setan di dalam raga manusia”. (HR. Imam Muslim).[15]
Maksudnya adalah para penguasa, ulama dan ahli ibadah yang memimpin manusia tanpa dasar ilmu sehingga berakibat menyesatkan manusia.[16] Allah swt berfirman dalam al-Qur’an:
“Dan diantara mereka banyak yang menyesatkan dengan hawa nafsu mereka tanpa dasar ilmu. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-An’am [6]: 119).
Dalam ayat yang lain Alah swt berfirman:
“Dan sungguh sebelum mereka telah ada banyak orang yang sesat.” (QS. a-affat [37]: 71).
Dari pengertian di atas Umar Hasyim menjelaskan bahwa ulama su’ mempunyai kriteria sebagai berikut: 
1.   Ulama yang menyembunyikan kebenaran
Allah swt berfirman:
 “Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua makhluk yang dapat melaknati kecuali mereka yang telah bertobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran) maka Aku menerima tobat mereka dan Aku-lah yang Maha menerima tobat lagi Maha penyayang.”(QS. al-Baqarah [2] ayat 159-160).20
Ayat ini menerangkan tentang salah satu golongan ulama, yaitu mereka yang menipu umat dengan jalan menyembunyikan ilmu yang mereka peroleh dari Rasul. Ilmu yang dimaksud adalah berupa tanda-tanda yang menunjukkan kepada tujuan yang benar, dan hidayah yang bermanfaat untuk hati. Mereka menyembunyikan ilmu setelah Allah menerangkan kepada manusia melalui lisan para rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka berhak menerima ancaman keras yang setimpal dengan perbuatan mereka sendiri.
2.   Ulama yang menyelewengkan kebenaran
Allah berfirman:
“Apakah kamu mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahujnya. Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata kami pun telah beriman, tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, mereka berkata, “Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang Mukmin) apa yang telah diterangkan Allah kepadamu”, supaya dengan demikian dapat mengalahkan hujjahmu di hadapan Rabb-mu; tidaklah kamu mengerti. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan? Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu ia mengatakannya “ini dari Allah” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2] : 75-79).21
Ayat-ayat tersebut membeberkan segolongan orang-orang yang mendapatkan gelar ulama, tetapi mereka justru menyelewengkan gelarnya dengan dalil-dalil syar’i. Mereka mengubah berbagai ketetapan hukum yang sudah baku demi tercapainya tujuan busuk mereka. Kondisi ini tidak hanya khusus untuk umat sebelum kita, tetapi mencakup setiap orang yang menyelewengkan kebenaran demi niatan busuk.
Imam Qurṭūbī menjelaskan bahwa ayat ini dan sebelumnya berisi tentang peringatan dan ancaman keras bagi siapa saja yang mengubah dan mengganti serta menambah sesuatu yang berkaitan dengan syari’at. Siapa saja yang mengganti, mengubah, atau mengganti sesuatu yang baru dalam agama Allah yang bukan bagian dari agama dan tidak ada keleluasaan untuk menambah maka mereka masuk ke golongan manusia yang mendapat ancaman keras dan azab yang pedih sebagaimana disebutkan dalam ayat ini.[17]
3.   Ulama berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya
Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya (mengamalkannya) adalah seperti kedelai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS.  al-Jumu’ah [62]: 5).23
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau menafsirkan kata “al-Asfar”, artinya kitab-kitab. Allah telah mengumpamakan orang-orang yang membaca kitab namun tidak mau mengikuti isinya, seperti keledai yang mengangkut kitab Allah yang berat, ia tidak mengetahui isinya.[18]
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafisrnya tentang ayat ini bahwa celaan terhadap orang Yahudi yang telah diberi kitab Taurat. Mereka diperintahkan untuk mengamalkan isinya tetapi mereka tidak mengamalkannya. Dalam hal itu, perumpamaan mereka adalah seperti keledai yang mengangkut kitab-kitab yang berat. Maksudnya, mereka seperti keledai yang mengangkut kitab tetapi tidak mengerti apa isinya, keledai hanya akan membawanya begitu saja tanpa mengetahui apa sebenarnya yang telah ia bawa. Oleh sebab itu, apabila seorang ‘ulamā dalam mengemban tugas sebagai pewaris para nabi, akan tetapi mereka enggan untuk mengamalkan ilmunya kepada ummatnya, maka mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang telah Allah firmankan dalam al-Kitab, yaitu seperti keledai.[19]




[1] Perpustakaan Nasional; Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, Cetakan I, 2007, hal. 1017-1018
[2] Muhammad Fuad Abdul Bāqī, Mu’jam Mufahras li Al-Fāi Al-Qur’an, Beirut: Dārul Fikr, 1891, hal. 475
[3] M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, Tanggerang: Lentera Hati, Cetakan I, 2010, hal. 402
[4] Perpustakaan Nasional; Katalog dalam Terbitan (KDT), Op. Cit, hal. 1019
[5] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama Edisi IV, 2008, hal. 1520
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan Pertama, 1993, hal. 120
[7] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang Sejarah Para Ulama), Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cetakan Kedua, 1983, hal. 15
[8] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit, hal. 121
[9] Badruddin Hsubky, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman, Jakarta: Gema Ihsani, Cetakan Pertama, 1995, hal. 57
[10] Muhammad bin 'Isa al-Tirmidzī, Sunan Tirmidzī, Juz 3, Lebanon: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah-Beirut, 2011, hal. 477-478.
[11] Sufyan Al-Jazairy, Anaful Ulama Wa Auofuhum (Potret Ulama Antara Yang Konsisten & Penjilat), Terj. Muhammad Saffuddin, Solo: Jazera, Cetakan Kedua, 2012, hal. 37.
[12] Badruddin Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, Op. Cit, hal. 57-58
[13] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang Sejarah Para Ulama), Op. Cit, hal. 31
[14] Abi Dāwud Sulaiman bin Al-Asyats bin Ishāq bin Basyīr, Sunan Abī Dawud, juz 2, al-Qāhirah Mesir: Dāru Ibnu Haitsam, 2007, hal. 342
[15] Abi Al-Husain bin Al-Hajaj Ibnu Muslim Al-Qusyairī An-Naisābūri, ahih  Muslim, Jilid 2, Beirut: Dār Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2011, hal. 160
[16] Sufyan Al-Jazairy, Anaful Ulama Wa Auofuhum (Potret Ulama Antara  Yang Konsisten & Penjilat), Op. Cit, hal. 57-58
[17] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang  Pandang  Sejarah  Para Ulama), Op. Cit, hal. 47-48
[18] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang  Pandang  Sejarah  Para Ulama), Op. Cit, hal. 52.
[19] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang Sejarah Para Ulama), Op. Cit, hal. 52.

Selasa, 28 Juni 2016

Sejarah Syaikh Nawawi Banten Sang Mahaguru Sejati

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. 1‎230-1314 H / 1815- 1897 M 
Lahir dengan nama  Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun 1230 H atau 1815 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab dia melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman dia di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah dia seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Pendidikan Syaikh
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.
Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.
Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, dia mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun dia menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, sepertiSyaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi,Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka diMekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter dia terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Medinah.
Perjuangan dan nasionalisme Syaikh 
Tiga tahun bermukim di Mekah, dia pulang ke Banten. Sampai di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Dia keliling Bantenmengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Dia dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan dia dituduh sebagai pengikutPangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan RakyatIndonesia. Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah dia segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Dia tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang dia berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama dia mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Dia mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama dia semakin melejit ketika dia ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah dia dikenal dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Mesir nama dia masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
Syekh Nawawi Banten Sebagai Mahaguru Sejati
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah dia menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui dia.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa dia tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (PendiriMuhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyarihingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
 Goresan Tinta Syekh Nawawi
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Kepakaran dia tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbâr dalam kitabnya "al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm”(beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
al-Riyâdl al-Fauliyyah
Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. 
Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya dia lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya. 
Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. 
Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. 
Ada lagi sebuah kitab fiqih karya dia yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. 
Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya dia, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual dia.
Karomah-Karomah Syekh Nawawi Al-Bantani
Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini, “Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitabMaroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
Konon, pada suatu waktu pernah dia mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk dia sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, yang dia diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar dia dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri dia itu membawa bekas yang tidak hilang. 
Karamah dia yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.
“Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.
Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun dia berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil dia. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. 
Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad dia tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad dia lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam dia tetap berada di Ma΄la, Mekah.
Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad dia. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada dia. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang dia karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan dia.
Wafatnya Imam
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umatIslam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam dia bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.
Pembantaian Keluarga Syeikh Nawawi oleh Kaum Wahabi
Kisah ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani yang berhasil lolos dari kejaran Wahabi. Beliau adalah KH. Thabari Syadzily. Berikut adalah sedikit kisah pembataian tersebut.
Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (Muallif Kitab) pun tidak luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau sedang duduk memangku cucunya, kemudian gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa diundang dan langsung membunuh dan membantainya hingga tewas. Darahnya mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang dipangku oleh beliau.
Sedangkan keluarganya yang lain terutama golongan yang laki-laki dikejar-kejar oleh gerombolan Wahabi untuk dibunuh. Alhamdulillah, mereka selamat sampai ke Indonesia dengan cara menyamar sebagai perempuan.
Posisi Strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia
1. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Ma’la.
2. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah \beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-imam wa al-fahm al-mudaqqig” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje member gelar “Doktor Teologi”.
3. Pada tahun 1870, Syekh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syekh Nawawi di Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syekh Nawawi al-Bantani.
4. Paling tidak terdapat 34 karya Syekh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5. Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastera Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syekh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syekh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syekh Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.
6. Syekh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. 
Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli. Namun Syekh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.
7. Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang dianut oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.
9. Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu, wajar jika Syekh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.
10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di berbagai Pesantren