Sultan Maulana Hasanuddin berperan penting dalam penyebaran agama Islam 
di Banten. Ia mendirikan Kesultanan Banten sekaligus menjadi penguasa 
pertama di kerajaan Islam tersebut. Bagaimana sepak terjang Sultan 
Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan Islam di Banten? Ikuti kisahnya 
dalam cerita Sultan Maulana Hasanuddin berikut ini.
Tersebutlah seorang tokoh penyebar agama Islam di Banten bernama 
Hasanuddin dengan gelar Pangeran Sabakingkin atau Seda Kinkin. Gelar 
tersebut pemberian dari kakeknya, Prabu Surasowan, yang menjabat sebagai
 Bupati Banten. Hasanuddin sendiri merupakan putra kedua dari pasangan 
Nyi Kawung Anten (putri Prabu Surasowan) dengan Syekh Syarif 
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali 
(walisongo).
Ketika Prabu Surasowan wafat, 
kedudukannya sebagai Bupati Banten digantikan oleh putranya bernama Arya
 Surajaya atau Prabu Pucuk Umum. Pusat pemerintahannya berkedudukan di 
Banten Girang (Banten Hulu), yang masih berada di bawah kekuasaan 
Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, Prabu Pucuk Umum masih menganut agama 
resmi Kerajaan Pajajaran yaitu agama Hindu. 
Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum, Syekh Syarif Hidayatullah harus
 kembali ke Cirebon untuk menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah 
wafat sebagai Bupati Cirebon. Sementara itu, Pangeran Hasanuddin lebih 
memilih menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren di Banten. 
Sejak itulah, ia dikenal sebagai Syekh Maulana Hasanuddin. Ketenarannya 
pun telah melampaui kharisma pamannya, Prabu Pucuk Umum, sehingga 
hubungan mereka menjadi tidak harmonis. 
Meskipun menetap di Banten, Syekh Maualana Hasanuddin sering mengunjungi
 sang Ayah di Cirebon untuk bersilaturrahmi dan meminta petunjuk. Suatu 
ketika, ia mendapat tugas untuk melanjutkan tugas sang Ayah menyebarkan 
Islam di daerah Banten. 
“Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan agamamu pun 
sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada seluruh
 rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.
“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan kembali ke Banten.
Setiba di Banten, Syekh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah 
ayahnya. Bersama para santrinya, ia berkeliling dari satu daerah ke 
daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari Gunung Karang atau Gunung 
Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. 
Dalam upaya penyebaran Islam ke seluruh daerah Banten, Syekh Maulana 
Hasanuddin tidak jarang mendapat hambatan. Salah satunya datang dari 
Prabu Pucuk Umum yang bersikukuh ingin mempertahankan ajaran Sunda 
Wiwitan (Hindu) sebagai agama resmi Kerajaan Pajajaran. Di lain pihak, 
Syekh Maulana Hasanuddin menginginkan kegiatan dakwah Islam di Banten 
dapat berjalan lancar. 
Maka, Prabu Pucuk Umum menantang Syekh Maulana Hasanuddin untuk 
berperang, namun bukan duel di antara keduanya, melainkan beradu ayam 
jago. Hal ini dilakkukan demi menghindari jatuhnya banyak korban jiwa 
dari kedua belah pihak. 
“Wahai, Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin menyebarkan Islam di daerah 
Banten, kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu berhasil memenangkan 
pertarungan ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang akan kuserahkan 
kepadamu. Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus menghentikan
 dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.
“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin. 
Tempat adu kesaktian ayam jago itu akan dilaksanakan di lereng Gunung 
Karang karena dianggap sebagai tempat yang netral. Pada hari yang telah 
ditentukan, kedua pihak pun menuju lereng Gunung Karang. Prabu Pucuk 
Umum dan Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa ayam jago, tetapi juga 
membawa pasukan bersenjata untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Selain
 itu, Prabu Pucuk Umum tampak membawa golok yang terselip di pinggang 
dan tombak di genggamannya. Syekh Maulana Hasanuddin hanya membawa 
sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. 
Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umum mengambil tempat di tepi 
utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong 
sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syekh Maulana 
Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah 
dan sorban putih di kepala. 
Sebelum pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. 
Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. 
Ayam jago milik Prabu Pucuk Umum telah diberi ajian otot kawat tulang 
besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik 
Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal 
terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur 
Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula 
ayat-ayat suci Alquran. 
Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah 
seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad 
Saleh. Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di 
Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, 
ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.
Di pinggir arena, kedua belah pihak tampak tegang. Syekh Maulana 
Hasanuddin bersama rombongannya yang terdiri dari para ustadz dan santri
 larut dalam doa memohon pertolongan dari Allah. Sementara itu, pihak 
Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari ratusan ajar (pendeta) dan punggawa 
(panglima) juga terlihat komat-kamit membaca mantra.
Dalam suasana tegang, salah seorang Punggawa yang mewakili kedua belah pihak masuk ke tengah arena untuk membacakan pengumuman:
“Yang Mulia Syekh Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umum, perkenankanlah kami membacakan pengumuman sebagai berikut: 
Pertama, sebagaimana yang telah disepakati, bahwa apabila Prabu Pucuk 
Umum kalah, maka pihak Maulauna Hasanuddin akan diberi kebebasan untuk 
menyebarkan Islam di Banten. Sebaliknya, apabila Prabu Pucuk Umum yang 
menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di
 Banten Tengah dan Selatan.
Kedua, pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
Ketika, kepada yang hadir agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban
 dengan tidak memasuki arena selama pertandingan berlangsung.
Demikian pengumuman ini kami sampaikan.” 
Begitu pengumaman selesai dibacakan, gong pun dibunyikan sebagai tanda 
pertandingan akan dimulai. Kedua ayam jago segera dikeluarkan dari 
sangkarnya masing-masing. Suasana yang tadinya mencekam berubah menjadi 
ramai. Riuh rendah suara penonton pun membahana memberi semangat kepada 
kedua ayam jago yang akan bertarung. 
Di tengah gelanggang, kedua ayam jago saling mendekat. Sesekali keduanya
 silih berganti berkokok dengan suara menantang. Pada saat 
berhadap-hadapan dengan jarak sekitar dua meter, keduanya saling 
menggertak dengan posisi miring sambil berputar-putar membentuk 
lingkaran. Mata keduanya saling menatap sangat tajam seolah-olah 
menyimpan dendam. 
Selang beberapa saat kemudian, ayam jago Pujuk Umum berhenti lalu mundur
 setengah meter untuk mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, ia
 bergerak maju menyerang sambil mengerahkan tajinya ke arah dada 
lawannya. Ayam jago Maulana Hasanudian pun menyambut serangan itu. Tak 
ayal, saat benturan fisik terjadi, keduanya pun terpental ke belakang. 
Tubuh ayam jago Maulana Hasanuddin tidak mengalami luka sedikit pun. 
Pertarungan semakin seru. Kedua ayam jago itu kembali berhadap-hadapan. 
Ayam jago Pucuk Umum kali ini tampak lebih beringas. Tatapan matanya 
semakin tajam dan memerah. Sementara ayam jago Maulana Hasanuddin tetap 
berusaha tenang setelah mendapat serangan pertama. Pertarungan semakin 
seru, sorak sorai penonton kembali bergemah menyemangati jagonya 
masing-masing. 
“Hidup Prabu Pucuk Umum...! Hidup Syekh Maulana Hasanuddin..!”
Ketika kedua ayam jago itu mulai bertarung lagi, suasana pun kembali 
mencekam. Dengan gerakan liar, ayam jago Pucuk Umum menyerang lagi dan 
bermaksud merobek dada musuhnya. Mendapat serangan kedua itu, ayam jago 
Maulana Hasanuddin berkelit ke kanan dan ke kiri untuk menghindari taji 
keris berbisa itu. Jago Pucuk Umum pun mulai kehilangan kesabaran. Ia 
semakin kalap dan menyerang secara membabi buta. Tanpa diduga, tiba-tiba
 ayam jago Maulana Hasanuddin terbang tinggi ke angkasa. Jago Pucuk Umum
 pun menyusulnya sehingga terjadilah pertarungan sengit di udara. Semua 
pandangan penonton tertuju pada kedua ayam jago yang berada di udara. 
Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umum jatuh terkulai di tanah dan meregang 
nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana 
Hasanuddin. Para pendudung Pucuk Umum pun menjadi bungkam, sedangkan 
pendukung Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan:
“Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”
Akhirnya, Syekh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam 
itu. Prabu Pucuk Umum pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana 
Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan 
tombaknya sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua 
senjata pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana 
Hasanuddin atas Banten Girang.
“Selamat, Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan kesepakatan kita, maka kini 
engkau bebas melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa di Banten
 Girang,” ujar Prabu Pucuk Umum. 
Setelah itu, Prabu Pucuk Umum berpamitan. Ia bersama beberapa 
pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung 
Kulon atau ujung barat Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai 
Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk 
Umum, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan 
yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang
 kini dikenal sebagai suku Baduy. 
Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari pendeta dan 
punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syekh 
Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syekh 
Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas 
keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai 
Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang 
dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara 
Pulau Jawa. 
Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa 
kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah
 menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap 
mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama. 
* * *
Demikian cerita Sultan Maulana Hasanuddin dari daerah Banten. Cerita di 
atas hanyalah sebuah cerita rakyat, bukan cerita yang berdasarkan fakta 
sejarah. Namun, di balik cerita ini tersimpan pesan-pesan moral yang 
dapat dipetik, salah satunya adalah bahwa para ulama dahulu menyebarkan 
agama Islam tidak selalu dilakukan dengan perang yang melibatkan kontak 
fisik.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar