Bagi yang belum mengenal tentang beraneka ragamnya kekayaan tempat bersejarah di Pandeglang berikut ini kami tampilkan beberapa profil tempat bersejarah Bagian III di Pandeglang :
1. Wisata Ziarah di Cikadueun.
click untuk memperbesar
2. Prasasti Muruy
3. Prasasti Munjul
4. Situs Gunung Cupu
Di persimpangan Kaduhejo, tepatnya di Mengger (daerah yang agak
miring, antara bukit dan lembah) terdapat dua jurusan yang berlainan
arah menuju ke Kecamatan Cimanuk (Ci = air = sungai, manuk = burung)
salah satu peninggalan masa silam yang dapat ditemukan di sini terdapat
di salah satu bukit yang oleh masyarakat setempat disebut Gunung Cupu.
Halwany Michrob dalam Lebak Sibedug dan Arca Domas (1993),
menduga Gunung Cupu sebagai punden berundak seperti halnya punden
berundak di Lebak Sibedug yang terkenal di Kabupaten Lebak. Ketika
dilaksanakan survey pada tahun 2007, “makam” yang terdapat pada bagian
atas sudah diberi pagar oleh pengunjung.
5. Situs Batu Go’ongFormasi Batu Goong yang mengelilingi menhir ini lazim disebut formasi “temu gelang”.
5. Situs Batu Lingga
click untuk memperbesar
6. Situs Batu Bergores Cidaresi
7. Situs Sanghyang Dengdek
Arca semacam ini dikategorikan ke dalam tipe arca megalitik yang
belum menggambarkan sebuah karya seni yang tinggi. Arca megalitik ini
diduga berkaitan dengan pemujaan nenek moyang, dengan anggapan bahwa
arca tersebut merupakan personifikasi dari orang yang telah meninggal
dan sekaligus sebagai sarana pemujaan arwah.
9. Situs Batu Sorban
10. Situs Batu Ranjang
Dolmen Batu Ranjang ini amat menarik karena terbuat dari batu andesit yang telah dikerjakan secara halus dan permukaannya rata. Dolmen ini berukuran ± 110 cm x 250 cm, disangga oleh empat buah batu setinggi 35 cm dengan pahatan pelipit melingkar. Di bawahnya terdapat pondasi yang terbuat dari batu kali untuk menahan agar batu penyangga tidak terbenam ke dalam tanah.
11. Situs Batu Trongtrong
Batu Trong Tong atau masyarakat menyebutnya sebagai batu kentongan,
sekilas nampak seperti bentuk sebuah “kentongan”. Fungsi sebenarnya dari
batu ini tidak diketahui secara pasti karena sudah tidak berada lagi
dalam kontek budaya masyarakat pendukungnya. Namun ada banyak
kemungkinan mengenai fungsi batu ini, bisa sebagai peti kubur batu atau
sebagai lambang kesuburan karena bentuknya menyerupai alat kemaluan
wanita. Batu ini terbuat dari batuan beku andesit dengan tinggi ± 42 cm
dan lebar ± 2 cm.
Peti Kubur batu merupakan bagian dari tradisi megalitik pada masa
bercocok tanam. Pada masa ini dikenal adanya penguburan sekunder, yakni
ketika jasad si mati telah tinggal tulang belulang, kemudian dipindahkan
ke dalam wadah berupa peti kubur batu untuk disimpan. Sedangkan bila
batu ini diasumsikan sebagai lambang kesuburan karena bentuknya seperti
kemaluan wanita yang disamarkan.
Batu Trong Tong ini terdapat di Kampung Batu Ranjang, Desa Batu
Ranjang, Kecamatan Cimanuk, kurang lebih 57 km dari Ibu Kota Provinsi
Banten atau sekitar 22 km dari Ibu Kota Kabupaten Pandeglang.
12. Makam Syekh Mansyur
Makam Syekh Mansyur terletak di Kampung Cikadueun, Desa Cikadueun,
Kecamatan Cimanuk. Menurut kisah yang berkembang di masyarakat, Syekh
Mansyur berkaitan dengan riwayat Sultan Haji atau Sultan Abu al Nasri
Abdul al Qahar, Sultan Banten ke tujuh yang merupakan putera Sultan
Ageng Tirtayasa. Masa Pemerintahan Sultan Haji yang kooperatif dengan
Belanda ini dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan di segala
bidang, bahkan sebagian masyarakat tidak mengakuinya sebagai sultan.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Sultan Haji yang asli kembali
ke Banten dan mendapati kenyataan Banten sedang dalam keadaan penuh
huru-hara. Untuk menghindari keadaan yang lebih buruk lagi, Sultan Haji
pergi ke Cimanuk, tepatnya ke daerah Cikadueun, Pandeglang. Di Cikadueun
ia menyebarkan agama Islam hingga wafat disana. Ia dikenal dengan nama
Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun. Namun cerita seperti ini dari
sisi sejarah sangat lemah, dan hanya dianggap cerita rakyat atau
legenda yang mengandung nilai dan makna filosofis.
Sumber lain mengatakan, Syekh Mansyur Cikadueun adalah ulama besar
yang berasal dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syekh Nawawi al
Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam perang Diponegoro
pada tahun 1825 – 1830. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh
Belanda, Syekh Mansyur dikejar oleh belanda dan akhirnya menetap di
Kampung Cikadueun, Syekh Nawawi kembali lagi ke Mekkah.
Kepurbakalaan yang terdapat di komplek makam Syekh Mansyur Cikadueun
ini hanyalah batu nisan pada makam Syekh Mansyur yang tipologinya
menyerupai batu nisan tipe Aceh. Nisan ini memiliki bentuk dasar pipih,
bagian kepala memiliki dua undakan, makin ke atas makin mengecil. Pada
bagian atas badan nisan terdapat tonjolan berbentuk tanduk. Hiasan
berupa sulur daun dan tanaman terdapat hampir di seluruh badan nisan
tanpa ragam hias kaligrafi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar