Sabtu, 07 November 2015

Sejarah Islam di Rusia



RUSIA
Di Rusia dan di tanah Siberia, sebuah wilayah yang mempertemukan dua senja, tidak mengenal siang juga tidak dilewati malam, Allah mengetuk hati-hati penduduknya untuk menerima risalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam

Daratan Siberia Rusia ini, adalah sebuah daratan dingin yang suhu tertingginya di musim panas saja hanya minus 50C.
Walaupun cahaya matahari tidak menembus wilayah ini, namun cahaya Islam mampu menembus negeri beruang merah tersebut. Risalah ini melewati stepa, hutan, dan pegunungan Rusia sejak 1400 tahun yang lalu. Abdul Karim as-Samak menceritakan, pada tahun 2010 kunjungannya ke Moscow, ia melihat Masjid Besar Moscow penuh sesak dengan jamaah yang shalat Jumat di sana. Masjid yang memiliki enam lantai  tersebut tidak mampu menampung jamaah yang shalat, akhirnya banyak sekali jamaah yang harus shalat di luar masjid berhadapan dengan tamparan cuaca dingin.

Kabar ini jarang sekali kita dengar, kita lebih tahu Rusia adalah bekas negara Uni Soviet yang mayoritas masyarakatnya menganut paham komunis. Banyaknya jumlah masyarakat Islam di Rusia tentu saja menggembirakan kita, terlebih dengan terbangunnya hubungan diplomatik Rusia dan Kerajaan Arab Saudi tentu saja berdampak positif terhadap umat Islam di sana.

Dalam keadaan yang masih minoritas umat Islam tetap berani menunjukkan eksistensi mereka di Rusia, pada tahun 1996, Mufti Rusia, Syaikh Rawi Ainuddin, meminta kepada Presiden Boris Yeltsin agar mengizinkan umat Islam mengadakan perayaan peringatan lebih dari 1000 tahun masuknya agama tauhid ini ke negeri tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Yeltsin, barulah pada masa Vladimir Puthin umat Islam diizinkan mengadakan perayaan tersebut dan eksistensi Islam pun kian kentara.

Sejarah Masuknya Islam ke Rusia

- Masa Umar bin Khattab

Masuknya cahaya Islam di Rusia dimulai pada masa Umar bin Khattab dengan perantara sahabat yang mulia Hudzaifah bin al-Yaman. Hudzaifah yang ditugaskan berdakwah di Azerbaijan dan Armenia, terus berjuang menyebarkan Islam hingga mencapai wilayah Dailam, Tibristan, dan Afganistan.

Penyebaran ini terus melebar hingga terjadi kontak dengan orang-orang Kaspia. Pada tahun 115 H, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Rabi’ bin Maslamah radhiallahu ‘anhu berhasil membangun masjid di daerah tersebut. Tentu saja pembangunan masjid adalah strategi yang jitu untuk mempertahankan Islam di wilayah baru ini.

- Masa Daulah Umayyah

Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, sahabat al-Hakam bin Amr al-Ghifari radhiallahu ‘anhu melintasi Sungai Jaihun dan masuk menguasai Uzbekistan pada tahun 50 H/67 M. Kemudian di masa berikutnya ada Said bin Utsman yang menginjakkan kakinya di Samarkan, lalu Musa bin Abdullah bin Khozim menaklukkan negeri Imam Tirmidzi, negeri Tirmidz pada tahun 70 H/689 M, kemudian Qutaibah bin Muslim menembus negeri-negeri Timur hingga sampai di Cina, Turkistan, Turkmenistan, Tajikistan, dan Kyrgistan. Dengan kedatangan umat Islam ini, orang-orang pun berbondong-bondong memeluk Islam tanpa paksaan dan tekanan sedikit pun.

Dari tanah Arab, Islam pun diterima oleh semua pihak, diterima semua suku dan entik, dan diterima oleh mereka yang miskin maupun kaya.

- Masa Daulah Abasiyah

Era baru masuknya Islam di Rusia dipelopori oleh seseorang yang bernama Ahmad bin Fadhlan, salah seorang utusan Daulah Abasiyah. Faktor terbesar yang membuat Islam rata menyebar dari wilayah Cina hingga Laut Kaspia di masa ini adalah faktor penduduk lokal yang telah memeluk Islam. Anak-anak pribumi (wilayah Asia Teengah) mendakwahi saudara-saudara mereka yang masih menyembah patung dengan perantara perdagangan. Dari sinilah muncul kisah tentang Ahmad bin Fadhlan.

Negara-negara di sekitar Laut Kaspia
Negara-negara di sekitar Laut Kaspia
Saat Islam mulai tersebar di kalangan penduduk Asia Timur dan wilayah Balkan, orang-orang Balkan pun mengirim utusan kepada Khalifah Abasiyah, Muqtadir Billah. Mereka mengajukan permintaan pengiriman seorang dai karena keterbatasan sumber daya penduduk lokal yang mengetahui tentang syariat Islam. Abasiyah pun mengirim Ahmad bin Fadhlan.

Ahmad bin Fadhlan terus giat mendakwahkan dan mengajarkan Islam di wilayah tersebut. Ia mendatangi para penguasa Balkan, dan mengenalkan Islam kepada mereka. Di antara buah dakwahnya yang paling signifikan adalah masuknya Islam ke wilayah Kazan. Ahmad bin Fadhlan juga tidak lupa mencatat perjalan dakwahnya ke negeri-negeri Rusia ini, dan tulisannya dijadikan rujukan utama para sejarawan untuk mempelajari masa-masa tersebut.

Penduduk Rusia Beralih Memilih Nasrani

Farid Syah Asadullah mengisahkan sebuah kontroversi yang cukup unik mengapa sebagian masyarakat Rusia yang telah menerima Islam beralih memilih Nasrani. Tersebutlah nama pemimpin Rusia kala itu, Vladimir, ia menolak Islam lantaran Islam mengharamkan khamr, padahal khamr merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Rusia. Kata mereka, Rusia sudah terbiasa dengan khamr, tidak ada kehidupan tanpa khamr. Agama Kristen atau Nasrani yang membolehkan khamr dipandang lebih realistis oleh Vladimir dan diikuti oleh rakyatnya.

Kejadian serupa juga pernah dialami oleh orang-orang Arab yang sangat mencintai khamr. Kalau manusia biasa hidup dengan meminum air putih (air mineral), maka di Arab ada ungkapan “Kami tumbuh besar karena khamr (bukan air mineral pen.)” Adagium ini menunjukkan betapa tidak bisa dipisahkannya masyarakat Arab kala itu dengan khamr dan pada akhirnya mereka menerima bahwa khamr adalah sesuatu yang banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.

Rusia di Bawah Kekuasaan Tatar Mongol

Mongol adalah salah satu bangsa yang memiliki rekam jejak yang kelam dalam sejarah Islam. Namun pada fase pasca Jenghis Khan, keadaan tersebut berubah terutama pada era Barkah bin Jochi bin Jenghis Khan. Ia adalah salah seorang Khan penguasa Mongol. Berbeda dengan leluhurnya Jenghis Khan yang sangat keras permusuhannya terhadap Islam, Barkah malah memeluk dan mendakwahkan Islam yang dimusuhi oleh sang kakek.

Di antara jasa besar Barkah Khan adalah mengalahkan sepupunya, Hulagu Khan, yang telah menghancurkan Daulah Abasiyah dan membunuh khalifah terakhirnya. Termasuk jasanya juga adalah mengembalikan cahaya Islam di negeri Rusia. Kekuasaan Mongol yang begitu luas –sampai ada yang menyatakan menyentuh wilayah Jerman-, yang mencakup wilayah Rusia menjadi angin segar dalam perkembangan penyebaran agama Islam. Kewibawaan Islam kembali muncul, sampai-sampai wilayah Moskow dan Kiev yang Kristen tunduk dan membayar pajak kepada umat Islam.

Namun pada tahun 885 H/1480 M, Moscow di bawah kekuasaan Ivan III melepaskan diri dari kekuasaan umat Islam bahkan membantai umat Islam. Moscow bergabung dengan Pasukan Salib untuk memerangi umat Islam.

Komunis Membantai Umat Islam 

Umat Islam menghadapi permasalah serius tatkala Tsar Romanov berkuasa. Sebagian dari mereka terusir dan yang lainnya tewas di tangan kebengisan anak buah Tsar Romanov. Keadaan demikian terus berlanjut di masa Vladimir Lenin. Pada tahun 1917, pemimpin revolusi komunis, Vladimir Lenin, menghianati umat Islam. Lenin yang semula menjanjikan perubahan apabila ia berkuasa, menjadikan perubahan tersebut fatamorgana bagi muslim Rusia. Penyiksaan, penindasan, dan kezaliman terus dirasakan umat Islam di masa-masa pemerintahan komunis ini.

Setidaknya ada empat periodesasi Islam di Rusia:
  1. Usaha umat Islam untuk merevolusi pemerintah mereka.
  2. Masa-masa represi dan pembantaian umat Islam antara tahun 1925 – 1945.
  3. Pernga Duni II membawa era baru bagi umat Islam Rusia, Stalin mengirimkan 17 orang muslim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.
  4. Penyiksaan terhadap umat Islam terjadi lagi pada tahun 1950 sampai pemerintahan Gorbacev berakhir dan hancurnya Uni Soviet. Pada saat negara ini berganti nama menjadi Rusia barulah umat Islam mendapatkan hak keagamaan dan kewarganeraan.
Umat Islam di Rusia Hari Ini

Komunitas umat Islam di Rusia, cukup besar. Jumlah mereka tidak kurang dari 20 juta jiwa. Umat Islam juga memiliki 7 buah masjid di Moscow, hal ini jauh lebih baik dibanding di Teheran, Iran, umat Islam tidak memiliki satu pun masjid di sana. Masjid terbesar di Moscow adalah masjidnya komunitas suku Tatar yang dibandung pada tahun 1801. Awalnya daya tamping masjid hanya sekitara 250 orang, lalu pada tahun 1904 seorang Tsar Tatar yaitu Tsar Shadiq Yazrin, memperbaiki masjid tersebut.

Setelah Rusia menjalin hubungan diplomatik dengaan Arab Saudi, pembangunan masjid ini terus dikembangkan. Saat ini masjid tersebut sudah mampu menampung kurang lebih 20.000 jamaah dan memiliki 6 lantai.


Masjid Jami' Moscow
Masjid Jami’ Moscow
Saat ini, agama Islam merupakan agama terbesar di Rusia setelah agama Kristen. Keadaan umat Islam kian membaik di masa Presiden Vladimir Putin. Hal itu dikarenakan umat Islam memiliki peranan penting dalam membawa perbaikan masyarakat di Rusia. Umat Islam diperbolehkan membangun sekolah-sekolah yang berbasis agama bahkan membangun sebuah universitas Islam yang semuanya menggunakan bahasa Arab.
Demikianlah sekilah sejarah Islam di Rusia. Islam memiliki sejarah yang panjang di Rusia, mengalami pasang surut keadaan, mulai dari memegang kekuasaan hingga menjadi orang-orang marjinal yang terpinggirkan. Saat ini, kebangkitan Islam mulai tampak lagi di negeri beruang merah, sekolah-sekolah, masjid, dan Islamic center dibangun di beberapa tempat di negeri tersebut. Semoga Allah menjaga Islam dan kaum muslimin di negeri ini, amin..

Jumat, 06 November 2015

SANDYAKALA ING MAJAPAHIT KERUNTUHAN KERAJAAN HINDU-BUDDHA NUSANTARA

Prof. Dr. Agus Aris Munandar

Awal Kesuraman
Pada tahun 1389 Masehi (1311 Saka) mangkatlah Rajasanagara (Hayam Wuruk) raja terbesar Majapahit, ketika kerajaan itu berada di puncak kejayaannya. Tafsiran yang dapat diangkat dari berita kitab Pararaton adalah bahwa raja tersebut didharmakan di daerah Tanjung,  nama candi pendharmaannya Paramasukhapura. Di kalangan para ahli arkeologi terdapat interpretasi bahwa Paramasukhapura tersebut terletak di lereng utara Gunung Wilis, mungkin dekat dengan situs Candi Ngetos sekarang di wilayah Kabupaten Nganjuk. Memang sungguh menarik untuk ditelisik lebih lanjut bahwa candi untuk raja terbesar Majapahit tersbut sekarang tiada ditemukan lagi secara pasti, sementara sejumlah candi untuk sanak kerabatnya masih bertahan hingga sekarang di beberapa daerah Jawa Timur bekas tlatah kerajaan itu dahulu.

Sepeninggal Rajasanagara tampil tokoh penguasa Majapahit yang baru, yaitu Wikramawarddhana yang menikah dengan Kusumawarddhani putri Hayam Wuruk. Wikramawarddhana hanya memerintah selama 12 tahun, sekitar tahun 1400 ia mengundurkan diri menjadi seorang pertapa (bhagawan), tahta Majapahit diserahkan kepada putrinya yang bernama Suhita. Sebenarnya yang layak memerintah adalah putra mahkota kakak Suhita yang bernama Bhra Hyang Wekasing Sukha, namun ia mangkat pada tahun 1399 sebelum ditahbiskan menjadi raja.

Naik tahtanya Suhita sebagai ratu Majapahit ternyata tidak disukai oleh salah seorang putra Hayam Wuruk yang berasal dari selir, ialah Bhattara i Wirabhumi (Bhre Wirabhumi) walaupun ia telah menjadi penguasa di daerah Balambangan. Demikianlah masalah ketidakpuasan terhadap penguasa, hak untuk berkuasa, yang berujung kepada perebutan kekuasaan dalam bentuk peperangan yang sangat berdarah adalah faktor-faktor mendasar yang menjadi titik awal keruntuhan Wilwatikta. Dalam pada itu serangan dari kerajaan Islam Bintara (Demak) hanyalah peristiwa pamungkas yang menyebabkan lenyapnya Majapahit dari Tanah Jawa, karena sebelumnya telah terdapat serangkaian pemicu ke arah runtuhnya Majapahit di awal abad ke-16 M.

Parereg meletus pada tahun 1401 M sebagai bentuk ketidakpuasan dan rasa berhaknya Bhre Wirabhumi atas tahta Majapahit. Mulai tahun itu hingga tahun-tahun selanjutnya Majapahit diriuhkan oleh peperangan antara Wikramawarddhana yang berkuasa di kadaton kulon melawan Bhre Wirabhumi yang memimpin penyerangan dari kadaton wetan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya Paregreg yang baru usai tahun 1406, rakyat Majapahitlah yang menderita, pastinya aktivitas pertanian menurun, hubungan niaga dengan wilayah luar Jawa terganggu, apalagi citra Majapahit di mata kerajaan-kerajaan mitra satata di rantauan Asia Tenggara menjadi tidak berwibawa lagi.
Menuju Tenggelamnya Surya Majapahit
Setelah Bhre Wirabhumi dapat dikalahkan oleh pihak Wikramawarddhana berkat bantuan Bhre Tumapel Bhra Hyang Parameswara, maka Suhita melanjutkan pemerintahannya di Majapahit hingga wafatnya pada tahun 1447 M dan didharmakan di Singhajaya. Karena Suhita tidak mempunyai anak, maka singgasana Majapahit kemudian diduduki oleh adiknya, yaitu Bhre Tumapel Kertawijaya (1447—1451 M). Pada masa pemerintahannya ia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu yang bertarikh  1369 Saka (22 Nopember 1447 M). Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa Majapahit pada dewasa itu mempunyai 14 orang penguasa daerah sebagai berikut: (1) Batari Daha, (2) Batari Jagaraga, (3) Batara Kahuripan, (4) Batari Tanjungpura, (5) Batari Pajang, (6) Batari Kembang Jenar, (7) Batari Wengker, (8) Batari Kabalan, (9) Batara Tumapel, (10) Batara Singapura, (11) Batara Matahun, (12) Batara Wirabumi, (13) batara Keling, dan (14) Batari Kalinggapura. Berita dari prasasti Waringin Pitu tentang para penguasa daerah tersebut menunjukkan bahwa wilayah  sebenarnya terbagi dalam beberapa kerajaan daerah yang mengakui kedudukan raja di kedaton Majapahit sebagai penguasa tunggal atas daerah-daerah tersebut.  Penguasa selanjutnya adalah Bhra Pamotan dengan epitet Sri Rajasawarddhana Dyah Wijayakumara yang berkuasa antara tahun 1451—1453 M.Asal-usul tokoh ini tidak begitu jelas, dugaan sementara bahwa dia sangat mungkin salah seorang putra Wikramawarddhana pula, mungkin dari seorang selirnya. Pararaton menyebutkan bahwa pada waktu Rajasawarddhana berkuasa ia berkedudukan di Keling-Kahuripan. Terdapat asumsi bahwa ia tidak berkedudukan di ibukota Majapahit, melainkan memindahkan pusat pemerintahannya di wilayah Keling-Kahuripan. Keadaan itu mungkin ada hubungannya dengan kekalutan politik berkenaan dengan tahta yang didudukinya. Setelah ia meninggal menurut Pararaton kemudian didharmakan di Sepang.

Pararaton mencatat bahwa dalam masa 3 tahun kemudian tidak ada raja di Majapahit (interregnum). Hal ini sungguh menarik karena selama 3 tahun itu tidak ada tokoh yang dapat mengampu kerajaan yang kejayaannya hampir pudar tersebut. Surya Majapahit yang biasa dijumpai di batu sungkup candi-candi zaman itu dan menjadi menjadi ciri kesenian Majapahit agaknya hampir tenggelam. Dalam keadaan terluka dan lemah akibat konflik  internal, Majapahit masih mampu melanjutkan keberadaannya sepanjang abad ke-15 M sampai keruntuhannya.

Sandyakala ing Majapahit
Pada tahun 1456 tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana sebagai penguasa Majapahit yang memerintah selama 10 tahun. Raja tersebut ialah salah seorang anak dari Bhre Tumapel Kertawijaya, dalam Pararaton Dyah Suryawikrama dikenal dengan sebutan Bhra Hyang Purwwawisesa yang setelah meninggal dicandikan di Puri. Menilik masa pemerintahannya yang relatif lama dapat diduga bahwa kedudukannya sebagai raja Majapahit agaknya mendapat sokongan dan kepercayaan dari para penguasa daerah.
Raja selanjutnya yang memerintah di Majapahit adalah Bhre Pandan Salas, ia dikenal pula dengan gelar resminya Dyah Suraprabhawa Singhawikramawarddhana. Hal yang menarik dikemukakan oleh Pararaton bahwa raja Dyah Suraprabhawa hanya memerintah selama 2 tahun, kemudian menyingkir meninggalkan keratonnya. Menyingkirnya Dyah Surabrabhawa dari istana Majapahit sangat mungkin disebabkan oleh adanya serangan dari pihak lain yang juga menginginkan tahta. Dalam tahun 1473 M, ia masih mengeluarkan prasasti Pamintihan yang isinya antara lain bahwa Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas mengaku diri sebagai raja Majapahit, dan menyebut dirinya sebagai “sri maharajadhiraja yang menjadi pemimpin raja-raja keturunan tuan gunung” (sri giripatiprasutabhupatiketubhuta). Tokoh ini disebut sebagai “penguasa tunggal di Tanah Jawa” (yawabhumyekadhipa) oleh Mpu Tanakung dalam manggala kakawin Siwaratrikalpa gubahannya.

Apabila disesuaikan dengan berita Pararaton yang menyatakan bahwa Bhre Pandan Salas hanya memerintah selama 2 tahun.  Mungkin dapat diartikan bahwa masa 2 tahun itu hanyalah ketika ia masih menduduki tahtanya di kota Majapahit. Kemudian karena adanya serangan ia terpaksa menyingkir ke pedalaman (wilayah Tumapel) untuk meneruskan pemerintahannya, mengeluarkan prasasti, serta menjadi pelindung pujangga yang menggubah kakawin keagamaan. Tokoh yang menyebabkan Bhre Pandan Salas harus meninggalkan Majapahit ialah Bhre Kertabhumi yang ingin pula berkuasa di Majapahit. Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu dari raja terdahulu Majapahit, yaitu Rajasawarddhana (1451—1453 M)  sebelum terjadinya masa interregnum.

Bhre Pandan Salas atau Dyah Suraprabawa terus memerintah sebagian besar wilayah Majapahit dengan berkedudukan di Tumapel sampai tahun 1474 M. Sepeninggal Bhre Pandan Salas kedudukannya digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Pada awalnya ia masih berkedudukan di Kling, namun ia kemudian berhasil merebut tahta Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi. Pararaton mencatat bahwa pada tahun Saka “sunya-nora-yuganing-wong” (1400 S/1478 M) Bhre Kertabhumi wafat di keraton, mungkin akibat serangan Dyah Ranawijaya yang berhasil merebut kembali kota Majapahit setelah ayahandanya, Dyah Suraprabhawa berhasil disingkirkan oleh Bhre Kertabhumi. Dalam Serat Kanda dicantumkan candrasangkala “sirna-ilang-kerta ning bhumi” yang menunjuk tahun 1400 Saka sebagai waktu jatuhnya Majapahit akibat serangan tentara Islam Demak ke wilayah Sengguruh untuk menaklukan raja Brawijaya. Angka tahun 1400 S (1478 M) dalam Serat Kanda itu tidak sesuai jika dipakai untuk menandai tahun kejatuhan Majapahit ke tangan tentara Demak, karena Pararaton jelas mencatat bahwa tahun 1478 M itu adalah tewasnya raja Kertabhumi di keraton Majapahit, mungkin sekali karena serangan Dyah Ranawijaya.

Majapahit masih tetap berdiri setelah tahun 1478 M, sebab Dyah Ranawijaya masih mengeluarkan prasasti-prasastinya pada tahun 1486 M. Begitupun kegiatan keagamaan yang bercorak kehinduan di lereng barat Gunung Penanggungan (Pawitra) masih terus bertahan hingga paruh pertama abad ke-16 M. Artinya setelah direbutnya kota Majapahit oleh Dyah Ranawijaya sampai beberapa tahun lamanya kerajaan itu masih bertahan, bahkan para musafir dan pedagang Portugis masih mencatat bahwa Majapahit sebagai kerajaan kafir masih berdiri antara tahun 1512—1518 sesuai dengan berita-berita orang Eropa pertama yang berkunjung ke Nusantara.

Penelitian terakhir yang telah dilakukan ikhwal keruntuhan Majapahit menyatakan bahwa kerajaan itu runtuh antara tahun 1518—1521 M. Memang benar akibat serangan tentara Demak, namun berdasarkan perbandingan data yang terdapat dari berita-berita Eropa yang layak dipercaya,  pemimpin penyerangan ke Majapahit itu ialah Pati Unus bukannya Raden Patah. Tokoh inilah yang berhasil mengalahkan raja Majapahit terakhir Dyah Ranawijaya, berarti ia dapat membalaskan kekalahan kakeknya, yaitu Bhre Kertabhumi yang dahulu berhasil ditewaskan oleh serangan Dyah Ranawijaya di kedaton Majapahit.

Berita-berita tradisi memang menyatakan bahwa Raden Patah adalah putra raja Majapahit Brawijaya. Kitab Purwaka Caruban Nagari secara lebih jelas mengidentifikasikan bahwa raja Brawijaya Kertabhumilah yang menjadi ayahanda Raden Patah, namun para penyusun sumber-sumber tradisi itu seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda telah mengacaukan peristiwa sejarah yang terjadi. Maklum kedua sumber sejarah Jawa itu ditulis dalam masa yang jauh lebih kemudian, sehingga ingatan terhadap peristiwa sejarah di masa lampau telah menjadi samar-samar.

Mengenai klimaks keruntuhan Majapahit diuraikan dengan agak panjang dalam Babad Tanah Jawi:
“Lengkaplah para wali berunding dengan para mukmin. Setelah selesai berunding mereka berpencar menuju Majapahit dengan membawa banyak senjata. Samudera meluap. Ketika mereka sampai di Majapahit, gempar orang senegeri itu. Majapahit telah terkepung, banyak prajurit berbalik. Adipati Bintara dan adiknya masuk lewat pintu Utara. Mereka telah memasuki kota. Para prajurit gemetar ketakutan melihat mereka.

Brawijaya segera berkata, “Syukurlah anakku datang, Adipati Bintara. Ayo Patih, segera kita naik ke tempat yang tinggi, aku ingin melihat anakku. Ya Patih, aku sangat rindu, karena telah lama tidak bertemu”. Sang Raja naik ke halaman yang tinggi dan dapat melihat putranya. Kemudian Sang Raja Brawijaya gaib. Patih pun tidak ketinggalan beserta  orang-orang yang setia berbakti kepada raja. Puri telah kosong, di luar sangat ribut, sangat menakutkan. Deru suara orang-orang yang gaib jatuh ke samudera, bagaikan dibakar…”

Pada bagian lain Babad Tanah Jawi mengungkapkan:
“Adipati Bintara memasuki keraton. Sangat sunyi keadaannya karena telah ditinggalkan orang, semua mengikuti Brawijaya. Sang Adipati lemas tidak dapat berkata-kata, hatinya pedih. Ia merasa sebagai putra raja. Sang Adipati Bintara keluar, mewartakan hal itu kepada semua prajurit. Demikianlah mereka pun kembali ke Bintara”

Sebagai hasil historiografi tradisional uraian Babad Tanah Jawi tetap harus diperhatikan secara cermat, para pembaca di masa kini mestinya harus lebih arif dalam menafsirkan peristiwa keruntuhan Majapahit tersebut. Sangat mungkin memang benar Brawijaya Kertabhumi sangat rindu dengan putranya, Raden Patah yang menjadi Adipati di Bintara dan telah lama tidak datang menghadap. Ketika datang serangan ke Majapahit, Brawijaya menganggapnya sebagai kedatangan Adipati Bintara dengan pasukannya sampai ia dan patihnya bergegas menaiki sitinggil di lingkungan halaman keraton untuk menyambutnya. Ternyata yang datang adalah bala-tentara Dyah Ranawijaya, sehingga ia tidak siap untuk bertempur, maka tewaslah sang raja di kedaton Majapahit. Dalam pada itu Raden Patah mungkin berusaha membantu ayahandanya, tetapi terlambat. Kekalahan Brawijaya Kertabhumi atas Dyah Ranawijaya itu baru kemudian dibalas oleh putra Raden Patah, yaitu Pati Unus yang sekaligus mengakhiri kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha Majapahit yang telah lama dikenal di Nusantara.


Agus Aris Munandar
FIB UI

PUSTAKA ACUA

DAMONO, SAPARDI DJOKO & SONYA SONDAKH (Penyunting), 2004, Babad Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah Raja-raja Jawa. Buku I. Jakarta: Amanah Lontar.

DJAFAR, HASAN, 1978, Girindrawarddana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Penerbitan Buddhis Nalanda.

MULJANA, SLAMET, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.

PADMAPUSPITA, KI, 1966, Pararaton: Teks Bahasa Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.

SUMADIO, BAMBANG (Penyunting Jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

YAMIN, MUHAMMAD, 1962, Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa, berisi 7 Djilid atau Parwa, Hasil Penelitian Ketatanegaraan Indonesia tentang Dasar dan Bentuk Negara Nusantara Bernama Madjapahit, 1293—1525. Parwa II.  Djakarta: Prapantja.

Majapahit

Bahan Kajian dan Renungan.
Saya Mengambil dari sumber dibawah in:
Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]

Daftar isi

Historiografi

Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama[6] dalam bahasa Jawa Kuno.[7] Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO.[8] Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[9] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[9]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[10] Namun, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.[5] Tahun 2010 sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik.[11] Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[12] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.[13]

Sejarah

Berdirinya Majapahit

 
Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu) perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini koleksi Museum Nasional.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[14] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[14][15] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.[16] Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati.[16] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[17][18] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton.[19] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[18] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit

Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada abad ke-13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, hingga surut dan runtuh pada awal abad ke-16.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[20] Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.[21] Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[2][21]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[22] Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[23] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[24] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.[25]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Jatuhnya Majapahit

Bidadari Majapahit, arca emas apsara gaya Majapahit menggambarkan zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" Nusantara.
 
 
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.[26]
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[9]
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.[27] Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

 
Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[28]) hingga tahun 1518.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.[29] Raden Patah yang saat itu adalah adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.
Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [29] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Sebenarnya perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Prabu Udara meminta bantuan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit[30] dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.[31] Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[29]
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.

Kebudayaan

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".
— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[32]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya.[33] Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."
— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[34]
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Ekonomi

 
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[21] Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[35] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[32]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[32] Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga.[36] Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.[37]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[32]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.[38]

Struktur pemerintahan

 
Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanattunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk.

Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya.[39] Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
  • Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
  • Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
  • Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
  • Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari,[18] terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
  1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
  2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
  3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
  4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
  5. Wanua: dikelola oleh thani,
  6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
No Provinsi Gelar Penguasa Hubungan dengan Raja
1 Kahuripan (atau Janggala, sekarang Sidoarjo) Bhre Kahuripan Tribhuwanatunggadewi ibu suri
2 Daha (bekas ibukota dari Kediri) Bhre Daha Rajadewi Maharajasa bibi sekaligus ibu mertua
3 Tumapel (bekas ibukota dari Singhasari) Bhre Tumapel Kertawardhana ayah
4 Wengker (sekarang Ponorogo) Bhre Wengker Wijayarajasa paman sekaligus ayah mertua
5 Matahun (sekarang Bojonegoro) Bhre Matahun Rajasawardhana suami dari Putri Lasem, sepupu raja
6 Wirabhumi (Blambangan) Bhre Wirabhumi Bhre Wirabhumi1 anak
7 Paguhan Bhre Paguhan Singhawardhana saudara laki-laki ipar
8 Kabalan Bhre Kabalan Kusumawardhani2 anak perempuan
9 Pawanuan Bhre Pawanuan Surawardhani keponakan perempuan
10 Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah) Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi sepupu
11 Pajang (sekarang Surakarta) Bhre Pajang Rajasaduhita Iswari saudara perempuan
12 Mataram (sekarang Yogyakarta) Bhre Mataram Wikramawardhana2 keponakan laki - laki
Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja.
2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.

Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[40] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
  • Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
  • Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
  • Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:
  • Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[41] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[42] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.

Raja-raja Majapahit

 
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[43]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[9].
Nama Raja Gelar Tahun
Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309
Kalagamet Sri Jayanagara 1309 - 1328
Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 - 1350
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 - 1389
Wikramawardhana
1389 - 1429
Suhita Dyah Ayu Kencana Wungu 1429 - 1447
Kertawijaya Brawijaya I 1447 - 1451
Rajasawardhana Brawijaya II 1451 - 1453
Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 - 1466
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 - 1468
Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 - 1478
Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 - 1498
Patih Udara
1498 - 1518

Warisan sejarah

 
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.

Legitimasi politik

Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[33]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[21] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[44] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[45] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.

Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art, San Francisco)
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.

Persenjataan

Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini salah satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.

Kesenian modern

Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.

Puisi lama

  • Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Buda" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.

Komik dan strip komik

Roman/novel sejarah

Film/sinetron

Referensi

  1. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353—359.
  2. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 19
  3. ^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: W. van Hoeve, 1968), hal. 21.
  4. ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. pp. pp.29. ISBN 0-300-10518-5.
  5. ^ a b c Ricklefs (1991), page 18
  6. ^ Terjemahan Lengkap Naskah Kakawin Nagarakretagama, dari blog World History Note, historynote.wordpress.com
  7. ^ Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography". The Journal of Asian Studies 24 (1): 91–99.
  8. ^ Nagarakretagama Diakui sebagai Memori Dunia, kompas.com
  9. ^ a b c d M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh S. Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 55. Kesalahan pengutipan: Invalid tag; name "Ricklefs_55" defined multiple times with different content
  10. ^ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993, pages 18 and 311
  11. ^ http://www.tempo.co/read/news/2010/07/01/061260022/Indonesia-Jepang-Buat-Kapal-Majapahit/ Tempo/
  12. ^ http://sains.kompas.com/read/2012/12/05/19045066/Majapahit-Jajah-hingga-Semenanjung-Malaya. Kompas/
  13. ^ http://www.kali-majapahit.com/
  14. ^ a b Setiono, Benny. "Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis Tionghoa Di Indonesia (bagian 1)". Diakses tanggal 16 Juni. Unknown parameter |accessyear= ignored (bantuan)
  15. ^ David Bor - Khubilai khan and Beautiful princesses of Tumapel 2006
  16. ^ a b Mulyana 2006, hlm. 122
  17. ^ Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara, 1960.
  18. ^ a b c Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (LKIS, 2005)
  19. ^ Komandoko 2009, hlm. 16
  20. ^ Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
  21. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 56
  22. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. p. 279. ISBN 9814155675.
  23. ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. p. 72.
  24. ^ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit'. Jakarta: PT Gita Karya. p. 13.
  25. ^ Millet, Didier (August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. p. 106. ISBN 981-3018-26-7.
  26. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 63. ISBN 9798451163.ISBN 9789798451164
  27. ^ Ricklefs (2005), hal. 57.
  28. ^ Ricklefs, 37 and 100
  29. ^ a b c Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.
  30. ^ Ricklefs, 36-37
  31. ^ Robert W. Hefner (1983). "Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic Java". American Ethnologist 10 (1983): 665––683. doi:10.1525/ae.1983.10.4.02a00030. Diakses tanggal 2008-10-23. More than one of |number= dan |issue= specified (bantuan)
  32. ^ a b c d Millet, Didier (August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. p. 107. ISBN 981-3018-26-7. Kesalahan pengutipan: Invalid tag; name "Millet_107" defined multiple times with different content
  33. ^ a b Schoppert, P., Damais, S. (1997). Di dalam Didier Millet (editor):, ed. Java Style. Paris: Periplus Editions. pp. 33–34. ISBN 962-593-232-1.
  34. ^ "Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java, page:100". Persee. 1996. Diakses tanggal 2010-07-14.
  35. ^ "Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit". November 2008.
  36. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.
  37. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 431-432.
  38. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 220.
  39. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 451-456.
  40. ^ Nastiti, Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam situs www.Majapahit-Kingdom.com dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Jumat, 22 Juni 2007.
  41. ^ MAJAPAHIT : KERAJAAN AGRARIS - MARITIM DI NUSANTARA page 8
  42. ^ Dellios, Rosita (2003-1-1). "Mandala: from sacred origins to sovereign affairs in traditional Southeast Asia" (dalam inggris). Bond University Australia. Diakses tanggal 2011-12-11. More than one of |author= dan |last= specified (bantuan); More than one of |author= dan |last= specified (bantuan)
  43. ^ Bullough, Nigel (1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. pp. 116–117. Text "consulting editor: Mujiyono PH" ignored (bantuan); Text "Printed in Singapore " ignored (bantuan)
  44. ^ Ricklefs, hal. 363
  45. ^ Friend, Theodore. Indonesian Destinies. Cambridge, Massachusetts and London: Belknap Press, Harvard University Press. pp. p.19. ISBN 0-674-01137-6.

Bibliografi

Lihat pula

Pranala luar

Didahului oleh:
Singasari
Kerajaan Hindu-Budha
1292–1527
Diteruskan oleh:
Demak