Syaikh Ahmad Al-Rifa'i, tokoh sufi di mana Tarikat Rifa'iyyah
dibangsakan, yang lahir dengan nama Ahmad bin Shalih, diketahui memiliki
sejumlah nama seperti Ahmad bin Abi'l Hasan Al-Rifa'i, Ahmad bin Ali
Abul Abbas, Syaikh Ahmad kabir Rifa'i, atau nama lengkapnya Sidi Ahmad
bin Yahya bin Huzain bin Rifa'ah. Ia dilahirkan pada bulan Muharram
tahun 500 Hijriah/ September 1106 Masehi tetapi ada juga yang menyatakan
kelahirannya pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118
Masehi. Sebagian sumber menyebut Syaikh Ahmad Rifa'i lahir di Marokko,
tetapi sumber yang kuat menyatakan ia lahir di Qaryah Hassan, dekat
Basrah di Irak. Menurut satu cerita, nama Rifa'i berkaitan dengan nama
Suku Rifa'i yang tinggal di Makkah sejak tahun 217 H tetapi pindah ke
Sevilla di Spanyol. Pada masa kakek Syaikh Ahmad Rifa'i pada tahun 450
H, datanglah keluarga Rifa'i ke Basrah.
Oleh karena datang dari barat, maka kakek Syaikh
Ahmad Rifa'i memakai nama Al-Maghribi. Sebagian meriwayatkan, ayah dari
Syaikh Ahmad Rifa'i yang pindah dari Maghrib ke Irak, tinggal di kota
Ummu ‘Ubaidah di Batha'ih.
Menurut riwayat, ketika berusia 7 tahun ayahanda Syaikh Ahmad Rifa'i
wafat di Baghdad. Ia kemudian diasuh oleh pamannya, Syaikh Mansyur
Al-Batha'ih, yang tinggal di Basrah. Asy-Sya'rani dalam kitab Lawaqihul
Anwar menuturkan bahwa Syaikh Mansyur Al-Batha'ih adalah seorang syaikh
thariqah. Dalam sejarah hidup Syaikh Ahmad, ia pertama kali belajar
Ilmu Fiqih Mazhab Syafi'i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih dari Syaikh
Abul Fadl Al-Wasithi, akan tetapi belakangan ia lebih cenderung kepada
ilmu tasawuf. Kecenderungan kepada tasawuf itu kemungkinan disebabkan
oleh lingkungan keluarganya yang menganut gerakan sufisme dan bahkan
paman yang mengasuhnya adalah guru besar (syaikh) tarikat. Bahkan di
bawah bimbingan sang paman, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, Syaikh Ahmad
Rifa'i memasuki dunia tasawuf secara mendalam sampai ia menggantikan
kedudukan sang paman sebagai syaikh.
Syaikh Sholah ‘Azham, penulis masalah-masalah tasawuf asal
Mesir, menuturkan kisah pemilihan syaikh yang patut menggantikan
kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih yang sudah tua dan sakit-sakitan.
Syaikh Mansyur Al-Batha'ih ingin memilih khalifah penggantinya. Para
murid dan pengikut yang berjumlah ribuan memohon kepada Syaikh Mansyur
Al-Batha'ih agar secepatnya memilih putera Syaikh Mansyur Al-Batha'ih
sendiri yang bernama Ahmad untuk menggantikan kedudukan syaikh. Namun
Syaikh Mansyur Al-Batha'ih malah memilih Ahmad bin Shalih, keponakannya
yang sejak kecil telah diasuhnya. Para murid dan pengikut sangat kecewa
dengan pilihan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Mereka diam-diam menghadap
isteri Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, memohon agar bersedia membujuk
suaminya untuk membatalkan pilihannya pada Ahmad bin Shalih dan memilih
Ahmad bin Mansyur sebagai pengganti.
Faham dengan keinginan murid-murid dan pengikutnya, Syaikh
Mansyur Al-Batha'ih berencana mengadakan sayembara model sufi. Satu hari
dipanggilnya sepuluh orang murid senior, termasuk puteranya, Ahmad bin
Mansyur, dan keponakannya, Ahmad bin Shalih. Masing-masing mereka diberi
seekor burung merpati dan sebilah pisau disertai perintah untuk
berlomba menyembelih burung tersebut, dengan syarat dilakukan di tempat
tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Lalu para peserta
sayembara itu berhamburan ke berbagai arah untuk menjalankan tugas
masing-masing.
Dalam waktu tidak lama, berdatanganlah para murid senior
membawa burung-burung merpati yang telah tersembelih. Setelah itu,
puteranya, Ahmad bin Mansyur datang pula dengan burung merpati yang
telah tersembelih. Hanya Ahmad bin Shalih yang datang paling akhir
dengan burung merpati masih hidup dan belum disembelih.
Di hadapan murid-murid senior dan puteranya, Syaikh Mansyur
Al-Batha'ih bertanya kepada Ahmad bin Shalih,"Wahai Ahmad, kenapa engkau
datang terlambat? Dan kenapa pula burungmu belum kau sembelih?"
Dengan takzim Ahmad bin Shalih menjawab,"Maafkanlah saya
paman, saya tidak dapat melaksanakan perintahmu. Sebab saya tidak bisa
membohongi diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tempat seperti yang
paman maksudkan. Saya tidak menemukan tempat yang bebas dari pengawasan.
Setiap tempat yang saya datangi senantiasa saya rasakan Allah selalu
hadir dan mengawasinya."
Mendengar jawaban Ahmad bin Shalih, Syaikh Mansyur
Al-Batha'ih dan para murid serta puteranya terpukau. Sebab yang
disampaikan Ahmad bin Shalih itu menunjukkan betapa tinggi tingkat
muraqabah Ahmad bin Shalih. Untuk itu, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih
menetapkan pilihan dengan berkata,"Turiiduna li mahbubikum, wa Allahu
yuuridu li mahbubih" (kalian menghendaki orang yang kalian sukai, tetapi
Allah lebih menghendaki orang yang Dia sukai). Demikianlah, Ahmad bin
Shalih Al-Rifa'i terpilih secara mutlak sebagai pengganti Syaikh Mansyur
Al-Batha'ih. Sekali pun mengganti kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih,
namun ajaran yang dikembangkan Syaikh Ahmad Rifa'i tidak sama persis
dengan yang diajarkan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, karena Syaikh Ahmad
Rifa'i juga memperoleh ijazah dari guru sufi yang lain, yaitu Syaikh
Abdul Malik Al-Kharnubi.
Ketika Syaikh Ahmad Rifa'i bertemu dengan seorang wali
bernama Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi, ia diberinya pelajaran berupa
sindiran: "Orang yang berpaling dia tiada sampai. Orang yang ragu-ragu
tidak mendapat kemenangan. Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang,
maka semua waktunya telah kurang." Sindiran itu sangat berkesan bagi
Syaikh Ahmad Al Rifa'i. Setahun lamanya Syaikh Ahmad Rifa'i
mengulang-ulang perkataan ini.
Setelah setahun Al-Rifa'i datang kembali menemui Syaikh
Abdul Malik Al-Kharnubi dan meminta wasiat lagi. Syaikh Abdul Malik
Al-Kharnubi kemudian berkata, "Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang
yang mempunyai Akal. Sangatlah keji penyakit pada sisi semua dokter.
Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wushul." Syaikh
Ahmad Al-Rifa'i kembali mengulang-ulang perkataan itu selama setahun
dan ia banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan itu
diresapi, dihayati dan diamalkan.
Syaikh Ahmad Rifa'i dikenal sebagai rujukan ilmu thariqah di
jamannya, karena ia dianggap memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan
sebagai wali qutub yang agung dan masyhur sesudah jaman Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailany. Ke mana pun ia pergi, para pengikutnya selalu
mengikutinya. Itu sebanya, para pengikutnya dikenal dengan sebutan
"Al-Thoifah Al-Rifa'iyah".
Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i
Ajaran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa'i banyak diriwayatkan oleh
‘Abdul Wahhab Al-Sya'rani dalam buku At-Thabaqat al-Kubra. Ajaran zuhud,
misal, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i adalah landasan keadaan yang
diridlai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Langkah pertama salik
menuju Allah adalah mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Siapa
yang belum menguasai landasan kezuhudan, maka langkah-langkah
selanjutnya akan sulit menemukan yang benar. Sedang ma'rifat, menurut
Syaikh Ahmad Rifa'i, adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah
disertai ilmu yaqin sehingga tersingkaplah hakikat realitas-realitas
yang benar-benar meyakinkan. Dalam riwayat lain, dikisahkan Syaikh Ahmad
Rifa'i berkata,"Cinta mengantar pada rindu dendam, sementara ma'rifat
mengantar pada kefanaan - ketiadaan diri."
Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i tidak lepas dari rebana sebagai
pengiring dzikir dan shalawat. Menurut riwayat, suatu saat Syaikh Ahmad
Rifa'i berdzikir dalam keadaan fanaa. Tubuhnya terangkat ke atas dan
dalam keadaan tidak sadar ia menepuk-nepuk dadanya. Allah memerintahkan
kepada malaikat untuk memberinya rebana di dadanya. Tetapi Syaikh Ahmad
Rifa'i tidak ingat apa-apa akibat terlalu khusyuknya. Sejak saat itu,
rebana menjadi bagian dari ajaran tarikat Ar-Rifa'iyyah.
Untuk menuju kepada Tuhan, Al-Rifa'i mengajarkan dzikir yang
diformulasi dengan irama dan intonasi suara yang lantang dengan tujuan
supaya yang tidur bangun dan yang alpa menjadi ingat. Oleh karena cara
berdzikir yang berirama itu, dunia Barat menyebut dzikir Tarikat
Rifa'iyyah dengan sebutan Darwis Menangis, terutama karena suara-suara
ganjil yang dihasilkan pada dzikir berjama'ah Tarikat Rifa'iyyah. Ada
pula yang menyebut dzikir Rifa'iyyah dengan sebutan Dzikir Arra, yaitu
"dzikir menggergaji" terutama yang dijalankan Tarikat Rifa'iyyah di Asia
Tengah dan Turki. Sebagian penganut Tarikat Rifa'iyyah menyatakan tidak
tahu pasti apakah Dzikir dengan suara lantang itu diajarkan oleh Syaikh
Ahmad Rifa'i sendiri atau ada pengaruh dari Tarikat Yasawiyyah yang
dibangsakan kepada Syaikh Ahmad Yasawi, di mana Syaikh Ahmad Yasawi
dikenal sebagai pelopor dzikir lantang karena ia seorang sastrawan sufi.
Dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra diterangkan, pada saat mengajar
Syaikh Ahmad Rifa'i suaranya terdengar oleh orang-orang yang tinggal
jauh dari tempatnya seolah semua bisa mendengar apa yang disampaikan
sama seperti orang yang dekat dengan tempatnya mengajar. Saat Syaikh
Ahmad Rifa'i mengajar, penduduk di sekitar Ummi Abidah beramai-ramai
keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh Syaikh
Ahmad Rifa'i. Konon, orang yang tuli pun jika hadir mengaji, akan
dibukakan pendengarannya oleh Allah sehingga bisa mendengar apa yang
disampaikan Syaikh Ahmad Rifa'i. Para guru tarikat banyak yang hadir
untuk mendengarkan wejangan Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Mereka biasanya
menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah Syaikh Ahmad Al-Rifa ‘i
selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil menempelkan sajadah ke
dada mereka masing-masing. Setelah sampai di rumah, mereka dengan
lancar bisa menjelaskan semua yang telah mereka dengar kepada para
muridnya.
Dari berbagai ajaran Al-Rifa'i yang paling menonjol dan terkenal adalah
Dabus, suatu didikan yang luar biasa ganjil.Annemarie Schimmel dalam
Mystical Dimensions of Islam (1975) menganggap Tarikat Rifa'iyyah
sebagai tarikat ganjil karena melatih murid-muridnya untuk tahan api,
melukai diri sendiri dengan benda-benda tajam, berjalan di atas pecahan
kaca, mematukkan diri dengan ular berbisa, memakan kaca, ditusuk
benda-benda runcing (dabus), dengan anggapan murid-murid yang mencapai
tahap fana tidak lagi memiliki rasa sakit karena sangat dzikir kepada
Allah.
Asy-Sya'rani mengomentari kedudukan Al-Rifa'i dalam kedudukan tasawuf
dengan ungkapan,"Dia adalah seorang tokoh dalam tasawuf, mengenal
berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak menuingkap masalah-masalah posisi
mereka. Setiap kali ia keluar, ia selalu diikuti orang banyak. Dia
memiliki murid."
Keanehan dalam berbagai hal, tidak hanya dimiliki Al-Rifa'i,
banyak hal aneh yang juga sering terjadi pada diri murid Syaikh Ahmad
Rifa'i seperti mampu masuk ke dalam api yang sedang menyala,
menjinakkan binatang buas seperti harimau, membuat hewan buas patuh dan
menuruti apa yang mereka katakana, sehingga singa pun dapat dijadikan
kendaraan oleh mereka. Di Mesir banyak cerita tentang bagaimana
murid-murid Tarikat Rifa'iyyah menolong orang-orang yang dipatuk ular
cobra. Pendek kata, berbagai keajaiban ditunjukkan oleh murid-murid
Tarikat Rifa'iyyah.
Keteladanan Hidup Syaikh Ahmad Rifa'i
Salah satu dari sekian banyak budi pekerti yang diteladankan
Syaikh Ahmad Rifa'i adalah seringnya ia mengunjungi tempat
orang-orang berpenyakit kusta. Ia tidak sekedar mengunjungi, tetapi
mencuci bersih pakaian orang-orang berpenyakit kusta yang sangat
menjijikkan menurut pandangan umum itu. Dipeliharanya orang-orang yang
sedang sakit itu dengan mengantarkan makanan untuk mereka dan ia juga
turut makan bersama-sama mereka tanpa merasa jijik.
Ketika Syaikh Ahmad Al Rifa'i datang dari perjalanan dan
telah dekat dengan kampungnya, maka dipungutnya kayu bakar. Setelah
itu dibagi-bagikannya kayu bakar itu kepada orang-orang sakit, orang
buta, orang-orang tua dan orang yang membutuhkannya. Syaikh Ahmad
Rifa'i berkata, "Mendatangi orang-orang yang semacam itu adalah wajib
bagi kita dan bukan sekedar sunnah. Nabi Saw bersabda : "Barang siapa
yang memuliakan orang tua muslim, maka Allah akan meluluhkan orang untuk
memuliakannya jika ia sudah tua".
Setiap berada dijalan, Syaikh Ahmad Rifa'i selalu menunggu
lewatnya orang buta, di mana saat ada orang buta lewat lalu dipegang
dan dituntun serta diantar sampai ke tujuan. Syaikh Ahmad Rifa'i
memiliki kasih sayang bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada
binatang. Dikisahkan satu saat ada seekor anjing menderita penyakit
kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia selalu diusir orang. Anjing itu
kemudian dipelihara oleh Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Anjing itu dimandikan
dengan air panas, lalu diberi obat dan makanan, sampai anjing itu
sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya
tentang apa yang telah diperbuatnya Syaikh Ahmad Rifa'i selalu berkata
, "Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik."
Syaikh Ahmad Rifa'i kalau kebetulan dihinggapi nyamuk akan
membiarkannya. Ia tidak mengijinkan orang lain untuk mengusirnya.
Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Biarkanlah dia meminum darah yang
dibagikan Allah kepadanya."
Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di
atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu
menggunting lengan bajunya itu karena ia tidak sampai hati mengejutkan
kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat, lengan bajunya itu
diambil dan dijahit lagi.
Jika ada orang minta dituliskan wafak kepadanya, maka
Syaikh Ahmad Rifa'i akan mengambil kertas lalu ditulis tanpa pena.
Anehnya, sewaktu ada orang memberikan kertas yang pernah ditulisnya
tanpa pena setahun sebelumnya, ia menolak untuk menulis ulang di atas
kertas itu sambil menjelaskan bahwa kertas itu sudah pernah ditulisinya.
Budi pekerti mulia lain yang ditunjukkan Syaikh Ahmad
Rifa'i ialah ia tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila
ia dimaki orang, ia hanya menundukkan kepala dan bersujud mencium
bumi dan menangis serta meminta maaf kepada orang yang memakinya.
Syaikh Ahmad Rifa'i pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrahim al-Basity
yang isi suratnya merendahkan martabatnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata
kepada orang yang menyampaikan surat itu, "Coba bacalah surat itu!"
Ternyata isi surat itu adalah "Hai orang yang buta sebelah,
hai Dajjal, hai orang yang membikin bid'ah, dan berbagai macam
caci-maki yang menyakitkan hati." Setelah pembawa surat itu selesai
membaca surat, maka surat itu diterimakan kepada Syaikh Ahmad Rifa'i,
dan setelah membaca Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Ini semua benar,
semoga Allah membalas kebaikan kepadanya." Lalu Syaikh Ahmad Rifa'i
berkata dengan bersyair, "Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang
meragukan aku yang penting menurut Allah, aku bukanlah orang yang
meragukan." Sebentar kemudian Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Tulislah
sekarang jawaban balasanku yang berbunyi "Dari orang rendah kepada
Tuanku Syaikh Ibrahim. Mengenai tulisan Tuan seperti yang tertera dalam
surat, memang Allah telah menjadikan aku menurut apa yang
dikehendaki-Nya dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah
kepadaku dengan mendo'akan dan memaafkanku."
Setelah surat balasan ini sampai pada Syaikh Ibrahim
al-Basity dan dibaca isinya, kemudian Syaikh Ibrahim pergi. Menurut
cerita, tidak ada seorang pun yang tahu ke mana syaikh itu pergi.
Kisah menggemparkan yang pernah dialami Syaikh Ahmad
Rifa'i adalah sewaktu ia melakukan ibadah Haji dan ketika berziarah ke
Makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu terlihat tangan menjulur dari dalam
kubur Nabi Saw bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium
tangan Nabi Saw tersebut. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang
yang berziarah ke Makam Nabi Saw tersebut. Semua orang takjub dan
terheran-heran dengan peristiwa aneh itu.
Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid
Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Qutub!".
Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada
Qutubiyah". Lalu murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!".
Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada
Ghautsiyah".
Menurut Al-Imam Asy-Sya'rani, jawaban-jawaban Syaikh Ahmad
Rifa'i atas simpulan muridnya adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad Al-Rifa'i
sejatinya telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar", karena ketinggian
derajatnya , kualitas maqam-nya, dan dekatnya dengan Allah sehingga
tidak diketahuinya maqam, meski terdapat beberapa maqam.
Tentang waktu wafatnya Syaikh Ahmad Rifa'i tidak terdapat
keseragaman. Sebagian menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i wafat tahun 578 H
di al-Batha'ih, yang lain menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i wafat di Umm
Ubaidah pada 22 Jumadilawwal 578 H atau 23 September 1183 M. Namun ada
pula yang menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i wafat pada hari Kamis, waktu
Dhuhur, tanggal 12 Rabbiul awwal 570 H dengan mengucapkan dua kalimah
syahadat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar