Syaikh Nawawi al-Bantani (1)
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1): Guru Para Ulama Indonesia
oleh: Hery Sucipto B ismilahirrahmanirrahim
 Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, 
Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Ada 
beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. 
Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad 
Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah 
Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad
 Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui 
tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa 
universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi 
Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa 
Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak 
menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama 
berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama
 lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari 
al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, 
KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung 
putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara
 menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai 
dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar 
Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang 
saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. 
Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. 
Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk
 menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri 
lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul 
Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad
 Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid 
Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah.
 Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. 
Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya 
tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama 
Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak 
menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di 
negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah
 Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia
 menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika 
Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi 
ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil 
Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid,
 ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi 
murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck 
Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 
menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 
memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di 
antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, 
K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan
 KH. Hasyim Asy’ari
 dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama 
terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi
 sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi
 untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan 
kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya 
Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books
 karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut 
karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin
 ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan 
lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara 
luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah 
al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, 
Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim 
Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, 
Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga 
diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, 
menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal 
sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang 
khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan 
umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial 
Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, 
tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu 
tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang 
keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka 
memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta 
aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam 
bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada 
dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid
 (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang 
termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, 
Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut.
 Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang 
menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali,
 bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut 
diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah 
memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani.
 Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang 
di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam 
usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, 
pada 25 Syawal 1314H/1879 M. Bersambung ke bagian 2…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar