![]()  | 
| Add caption | 
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina)
 dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek 
dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau 
(Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior)
 Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) 
yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam 
barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia 
tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta 
ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab 
murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim
 telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan 
ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah 
pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah
 yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy 
secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin
 ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita 
dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi
 menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun 
beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih 
dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak 
riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang
 termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah
 kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya 
di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua 
farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa 
riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau
 dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika 
berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur 
dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal 
dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau 
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap 
dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di 
al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri 
majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau 
tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan 
tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai 
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan 
tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah 
bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum 
lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal 
Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab 
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau 
berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu 
bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di 
daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan 
kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya 
dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal
 seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu 
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah 
berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah 
menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua 
orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan 
al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun 
tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan 
pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya 
dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin 
Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung
 paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman 
bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan 
lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh,
 dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari 
keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai 
realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan
 bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena 
sasaran.
Setelah mendapat izin dari para 
syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke 
Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. 
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. 
Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam 
Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan
 hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani 
mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam
 wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu
 dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz 
ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan
 masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau 
kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil 
ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang 
lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal 
yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di
 Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan 
kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke 
telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya 
akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, 
Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang 
dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i 
hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil 
merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari
 Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari
 kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam 
dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya 
masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu 
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan
 pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu
 Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka 
berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara
 terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut 
sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan 
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai 
orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda 
dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak 
keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan 
keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman 
Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan 
beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh 
perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits 
shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya 
dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya 
bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu 
digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama 
sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu
 dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh 
bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa 
mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala 
mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan 
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta 
pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil 
meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan 
kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam 
keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan 
mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan 
asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu.
 Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin 
al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab 
ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak 
itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka 
mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji 
tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah 
mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat 
mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. 
Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota 
Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i 
memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang 
maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan
 lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di 
Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya 
dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat 
sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah 
menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits
 merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi 
oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke 
Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra 
‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah 
saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, 
kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai 
menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya
 meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di 
Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak.
 Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi 
perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama 
ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam.
 Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu 
kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj 
as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami 
masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam 
menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, 
menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa 
akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul 
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak 
madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi 
mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama 
ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, 
ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka 
menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk 
penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad 
bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan 
pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi 
akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau 
mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar 
ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya 
ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang 
ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj 
beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara 
(mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya 
adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah 
igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin 
dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan 
prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu 
kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak 
ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani 
berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu 
kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat 
memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan 
pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring 
berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu 
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan 
memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi 
melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa 
yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau 
menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan 
menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar