Rabu, 06 Agustus 2014

Raden Haji Abdul Manaf, Ulama Sunda di Bandung Selatan Abad ke-17/18

 
Raden Haji Abdul Manaf disebut juga Eyang Dalem Mahmud adalah seorang ulama Sunda yang hidup pada abad peralihan abad ke-17/18, hidup diperkirakan antara tahun 1650–1725. Hingga saat ini, riwayat ulama ini belum banyak diketahui. Belum ada penelitian mendalam yang mengungkap peranannya di Kota Bandung pada abad tersebut. Tentang tempat asalnya, beredar dua versi: dari keturunan Cirebon dan dari keturunan Mataram. Mungkin, dari Mataram, ke Cirebon terus ke Bandung. Tapi melihat para leluhurnya, ia adalah seorang keturunan Sunda. Bukti pasti bahwa ia seorang ulama berpengaruh adalah makamnya yang dianggap keramat dan hingga kini banyak diziarahi banyak orang. Selain makam, ia pun meninggalkan peninggalannya yaitu sebuah kampung unik yang disebut Kampung Mahmud di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih. Kampung ini berada dipinggiran Sungai Citarum yang melewati kawasan Bandung Selatan. Letaknya yang di pinggiran sungai ini, membuat kampung ini eksklusif, menutup komunikasi langsung sehari-hari warganya dengan dunia luar sehingga dalam waktu cukup lama keaslian tradisinya terjaga. Keunikannya adalah, rumah-rumah di kawasan Mahmud bentuknya sama yaitu rumah panggung, pantangan memakai kaca, menggali sumur dan bertembok. Kemudian, dilarang menyetel musik dan memelihara binatang. Namun, seperti akan diuraikan, nilai-nilai adat ini kini sudah banyak dilanggar. Keadaan mulai banyak berubah. Riwayat Haji Abdul Manaf
[1] Menurut tradisi lisan, diceritakan oleh Raden Haji Mangkurat Natapradja (Lurah Desa Babakan Ciparay tahun 1915-1950), bahwa bupati saat itu bernama Dalem Dipati Agung Suriadinata. Ia mempunyai putra bernama Dalem Natapradja. Natapraja ini adalah ayahnya Raden Haji (RH) Abdul Manaf atau dikenal dengan sebutan Dalem Mahmud. Suatu saat, RH. Abdul Manaf pergi menunaikan haji ke Mekkah. Ketika ia berada di depan Ka’bah ia bermunajat kepada Allah dan mendapat ilham (wangsit) berbentuk perintah: “Kamu harus mengambil segenggam tanah dari pelataran Ka’bah ini untuk dibawa pulang ke tanah air. Setibanya di kampung halamanmu, tanah itu harus ditebarkan di sekitar rumah kemudian namailah kampungmu itu dengan nama Mahmud. Kemudian kampung Mahmud itu harus dijadikan kawasan “haram” (tanah suci) yang tidak boleh dikunjungi dan diinjak oleh seseorang yang tidak beragama Islam. Selanjutnya, tandailah dengan sebuah tugu yang menjadi tanda bahwa tanah itu adalah tanah haram.” Sepulang dari Mekkah, Abdul Manaf melaksanakan perintah itu. Kampung Mahmud itu bertahan beratus-ratus tahun berhasil menjadi kampung yang terjaga sesuai pesan dari Mekkah itu. Setelah kampung itu bernama Mahmud, tempat itu berkembang menjadi salah satu pusat pelajaran spiritual Islam
[2] terkenal di tatar Sunda dan sekaligus menjadi sebuah tempat perlindungan (persembunyian) dan pengayoman bagi mereka yang mencari perlindungan. Sebuah kisah diceritakan R. Endih Natapraja dan pernah ditulis oleh R. Suandi Natapraja sebagai berikut: Suatu ketika, Eyang Dalem Mahmud kedatangan seoang pria setengah baya yang mengaku berasal dari daerah timur bernama Zainal Arif. Tamu itu menceritakan bahwa kedatangannya dalam rangka melarikan diri karena ia dituduh membahayakan keamanan penguasa Kolonial Belanda. Setelah menempuh perjalanan sekian jauh, atas petunjuk beberapa orang yang ditemuinya, sampailah ia ke kawasan Mahmud tersebut dan menemui RH. Abdul Manaf. Ia kemudian memohon perlindungan. Abdul Manaf menerimanya dan menjadikannya sebagai murid serta pengikutnya. Setelah sekian lama mengikuti pelajaran, ternyata didapati bahwa Zainal Arif adalah seorang pemuda yang pandai, cerdas dan cekatan dalam menerima pelajaran yang diberikan. Karena ia pun menunjukkan kesetiaannya sebagai murid Eyang, ia pun akhirnya dinikahkah dengan salah seorang keturunannya kemudian diberi gelar Eyang Agung. Zainal Arif yang telah menjadi menantu Eyang Dalem kemudian berpengaruh dan tumbuh menjadi “Eyang kedua.” Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf diperkirakan wafat tahun 1725. Dari catatan keturunannya yang masih hidup hingga sekarang, terdapat urutan silsilahnya leluhur dan keturunannya sebagai berikut:
Prabu Linggawastu Prabu Mundingkawati (Siliwangi I)
Prabu Anggalarang (Siliwangi II)
Parubu Pucuk Umum (Siliwangi III)
Prabu Anggalarang (Siliwangi IV)
Prabu Seda (Siliwangi V)
Prabu Guru Bantangan
Prabu Lingga
Pakuan Panandean Ukur
Dipati Ukur Ageung
Dipati Ukur Anom
Dipati Ukur Delem Suriadinata
Dalem Nayadireja (Sontak Dulang)
Raden Haji Abdul Manaf
Raden Saedi
Raden Jeneng
Raden Jamblang
Raden Brajayuda Sepuh (Jagasatru I)
Raden Haji Abdul Jabar (Jagasatru II)
Raden Brajayuda Anom (Jagasatru III)
Raden Haji Mangkurat Natapradja (H. Abdulmanap)
Sedangkan silsilah Zainal Arif, nyambung kepada Syekh Haji Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya.
Syekh Abdul Muhyi
Sembah Dalem Bojong
Sembah Eyang Samadien
Sembah Eyang Asmadien
Sembah Eyang Zainal Arif
Embah Ta’limudin KH. Marjuki (Mama Prabu Cigondewah)
[3]Komplek Makam Raden Haji Abdul Manaf dikebumikan di bawah pohon beringin yang rindang berdekatan dengan makam Zainal Arif, berjarak sekitar 15 meter. Tugu yang dibangun berdasarkan ilham di tanah suci hingga kini terpelihara karena dilestarikan dengan dibangun sebuah bangunan yang tertutup dan terkunci, dikelilingi pagar besi dan beratap. Makam RH. Abdul Manaf merupakan makam utama dibangun dari lempengan batu murni berbentuk segi empat. Di sekitarnya, terdapat pula beberapa makam murid dan keluarga dekat Abdul Manaf. Komplek makam ini cukup nyaman sebagai tempat ziarah yang sepertinya dibangun sengaja untuk para penziarah. Ziarah pada saat hari-hari besar Islam seperti bulan Maulud dan Rajab melebihi jumlah hari-hari biasa. Sejarah dan Nilai Strategis Kampung Mahmud Hingga saat ini, kampung Mahmud masih sebagai kampung “tertutup” atau “tanah haram” yang hanya boleh dikunjungi oleh orang yang beragama Islam. Untuk menjaga keutuhan kampung, hanya terdapat satu jalan masuk yang dipintunya memakai gapura atau portal bertuliskan “Kampung Mahmud.” Askes ke Kampung Mahmud sekarang semakin mudah dengan angkutan umum langsung ke lokasi. Sepanjang pengetahuan kuncen, sejak zaman Belanja, kemudian Jepang, kampung Mahmud hingga saat ini belum pernah diinjak oleh orang non-Muslim. Karenanya, tidak ditemukan orang asing disini atau non-pribumi yang berani membuka usaha. Semua kegiatan ekonomi atau perniagaan dipegang oleh orang-orang pribumi. Di kawasan luar kampung, baru ditemui beberapa toko dan usaha kelompok “non-pribumi.” Adat Kampung Mahmud melarang pembunyian alat-alat musik, beduk dan pemeliharaan hewan piaraan. Lokasi di pinggiran Citarum ternyata adalah pilihan strategis Raden Haji Abdul Manaf dalam situasi penjajahan Belanda. Kampung Mahmud dulunya adalah rawa-rawa yang sulit dilalui. Daerah itu dikelilingi Sungai Citarum lama dan sepotong Sungai Citarum baru. Secara geologis, daerah yang kini dihuni sekitar 400 keluarga tersebut berbentuk cekungan. Tempat yang menjorok dari kota dan terpisahkan oleh Sungai Citarum membuat kampung ini sulit tersentuh oleh Belanda sehingga aman sebagai tempat persembunyian dan untuk mengembangkan ajaran Islam. Larangan menyembunyikan alat-alat musik, pewayangan, gamelan, beduk dan pemeliharaan binatang (terutama kambing dan angsa) bukanlah mitos atau paham keagamaan kolot melainkan sebuah kearifan tradisional. Larangan itu adalah amanat RH. Abdul Manaf agar tidak menimbulkan kebisingan yang bisa mengundang kecurigaan dan kehadiran pihak penjajah Belanda ke kampung itu. Jadi, dari berbagai sisi, RH. Abdul Manaf berusaha menjadikan tempat itu sebuah kampung yang aman dan nyaman sebagai tempat persembunyian. Di sisi lain, sebagai ulama, ia juga mengajarkan dan menanamkan rasa kebersamaan, kesederajatan sosial, saling membantu dan sikap gotong royong seperti yang diajarkan Islam. Ajaran ini ditanamkannya melalui amanat pembuatan rumah yang sama yaitu bentuk panggung. Sedangkan larangan bangunan bertembok, pembuatan sumur dan pemasangan kaca karena pertimbangan daerah itu labil. Tembok, sumur dan kaca tidak fleksibel terhadap guncangan dan mudah ambruk. Di sisi lain, larangan ini untuk menanamkan nilai-nilai kesamaan diantara warga penduduk kampung Mahmud. Ajaran-ajaran inilah yang membuat kampung ini aman, tenang dan asri. Dampak Modernisasai: Tak Lagi Asri Namun, sejak pasca pertengahan abad ke-20, perubahan zaman dan modernisasi yang tidak terhindarkan, pengaruh teknologi mulai masuk. Komunikasi dengan dunia luar semakin terbuka. Media komunikasi seperti telepon sudah mulai masuk. Media elektronik seperti radio dan televisi sekarang sudah diterima, termasuk media cetak seperti surat kabar, majalah, atau buku. Mereka juga sudah terbiasa dengan kunjungan para peziarah dari luar. Sebagaimana terjadi di banyak tempat di Indonesia, modernisasi mengakibatkan akibat-akibat buruk di kampung ini: Pertama, sungai Citarum yang dulu bersih dan asri, digunakan oleh masyarakat kampung Mahmud untuk mandi dan mencuci, kini berpolusi limbah pabrik dan tidak bisa digunakan lagi. Ini mendorong penduduk membuat sumur masing-masing. Pada perubahan-perubahan yang sifatnya tidak bisa dihindari dan untuk kebutuhan semua orang, seperti kebutuhan air ini, biasanya para pupuhu disitu berdialog meminta izin dulu kepada Eyang RH. Abdul Manaf. Dan karena direstui, tidak terjadi akibat apa-apa. Kedua, penggunaan alat-alat teknologi modern mulai masuk dan secara kultural merusak keaslian adat dan tradisinya. Televisi banyak merubah cara pandang dan gaya hidup. Selain sikap materialistik mulai tumbuh, gaya bicara remaja-pemuda yang mulai “ngota” (tidak berbahasa Sunda), kini warga Mahmud terbiasa menyaksikan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti menyaksikan tayangan-tayangan artis selebritis dan sinetron di televisi. Ketiga, perkembangan ekonomi dan pandangan hidup materialistik mulai merubah tradisi dan nilai-nilai adat kampung Mahmud yang sebelumnya memegang asas kesederajatan dan kebersamaan. Kini rumah-rumah mulai bertembok, memakai genteng mewah dan kaca. Kebun-kebun bambu milik penduduk kampung pun dijual kepada masyarakat kota untuk dijadikan lahan-lahan pemakaman. Atas pelanggaran-pelanggaran itu, menurut Syafe’i, yang dituakan di kampung itu, terbukti mereka yang melanggar biasanya sakit, rumah tangganya tidak rukun, atau ekonominya mandek. “Bukan karena sumpah leluhur, tapi karena perilaku mereka sendiri, kata Syafe’i yang menjelaskan adat masyarakatnya memang menerapkan keseragaman agar masyarakat tak saling menonjolkan diri, berperilaku sederhana, dan menekan rasa sombong. Kini Kampung Mahmud tak lagi asri. Saya tidak tahu, bagaimana nanti kalau mereka sudah meninggal, ke mana mereka akan memakamkan keluarganya?”

Tidak ada komentar: