Syaikh Ihsan
 lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan
 Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang 
tersohor pada masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok Pesantren
 Jampes pada tahun 1886 M.
 Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang 
nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa 
ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH. Sholeh 
Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah
 putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor 
Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan 
Sunan Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon.
 Terkait dengan nasab, yang tidak dapat 
diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. 
Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk
 karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah 
para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. 
Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika 
urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri
 Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari 
jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang 
tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel 
Surabaya. 
 Berikut bagan nasab Syaikh Ihsan Jampes
 Ny. Isti’anah + KH. Saleh
 Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
 Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri 
kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk 
bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil tinggal dilingkungan 
pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh neneknya, Ny. 
Isti’anah.
 Semasa kecil, Bakri telah memiliki 
kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang kuat. Ia juga 
tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun bidang 
lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh 
adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang 
digelar, Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang 
dalang sudah mahir ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya 
yang kuat, ia menjadi paham benar berbagai karakter dan cerita 
pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan berdebat dengan seorang dalang
 yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
 Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau 
seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski judi yang dilakukan 
Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya untuk membuat
 kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa bahwa
 perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny.
 Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu
 hari mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. 
Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah 
mencurahkan segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya
 itu.
 Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri 
kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya, K. Yahuda 
meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi, Karena 
Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu 
besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi 
inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih 
kerap menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
 Setelah itu, untuk pertama kali dalam 
hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk melalalng buana mencari
 ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren yang 
sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
 1. Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
 2. Pondok Pesantren Jamseran Solo,
 3. Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
 4. Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
 5. Pondok Pesantren Punduh Magelang
 6. Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
 7. Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
 Yang unik dari rihlah ‘ilmiah yang 
dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu 
di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu 
Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; 
belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di 
pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya 
tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai 
dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas 
rata-rata.
 Satu lagi yang unik, di setiap pesantren 
yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai 
‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya 
sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali 
kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari 
Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari 
pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.
 Mengasuh Pesantren dan Masyarakat
 Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. 
Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjaid Ihsan. Dua tahun kemudian,
 Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah SWT. 
Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan kepada adik KH. 
Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia 
mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan 
suka rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. 
Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
 Ada banyak perkembangan signifikan di 
Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan diangkat sebagai pengasuh. Secara 
kuantitas, misalnya, jumlah santri terus bertambah dengan pesat dari 
tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000 santri) sehingga PP 
Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara 
kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan 
didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
 Sebagai seorang kiai, Syaikh Ihsan 
mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya untuk 
‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi 
aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat 
jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun
 seluruh waktunya didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak
 melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan
 menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya 
mengajar santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai 
daerah yang meminta bantuannya.
 Pada masa revolusi fisik 1945, Syaikh 
Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. PP Jampes 
selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang 
hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta doa 
restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali
 Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di 
garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang 
pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih pp jampes sebagai 
lokasi teraman, sementara Syaikh Ihsan membuka gerbang pesantrenya 
lebar-lebar.
 Wafat dan Warisan Syaikh Ihsan
 Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau 
September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT, pada usia 51 
tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan 
putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan 
ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam 
suthur (kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur 
(memori: murid-muridnya).
 Beberapa murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah: 
(1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban; 
(2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; 
(3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap; 
(4) KH. Busyairi di Sampang Madura; 
(5) K. Hambili di Plumbon Cirebon; 
(6) K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.
 Sumbangan Syaikh Ihsan yang sangat besar 
adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat muslim 
Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang 
mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya 
masterpiecenya, siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut 
diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- 
al-Halab. Sayangnya, di antara kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru 
siraj ath-Thalibinlah yang mudah didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi 
oleh masyarakat pesantren sebab belum diterjemahkan ke dalam bahasa 
Indonesia.
 Berikut daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:
- Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
 - siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
 - Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
 - Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik [plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hokum merokok dan minum kopi.
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar