ata
ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim. Kata ini berasal dari akar
kata ‘alima –ya’lamu – ‘ilman. Di dalam berbagai bentuknya, kata ini disebut 863 kali di
dalam al-Qur’an. Masing-masing dalam bentuk fi’il maḍi 69 kali; fi’il muḍāri’ 338 kali; fi’il amr 27
kali dan selebihnya dalam bentuk isim dalam berbagai bentuknya sebanyak 429
kali.
Ibnu
Faris di dalam Mu’jam Maqāyisil Lughah menyebutkan bahwa rangkain huruf ‘ain,
lam, dan mim, pada asalnya memiliki arti yang menunjuk pada tanda atau jejak
pada sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dari akar kata ini,
diantaranya lahir turunan kata berikut: al-‘alamah (tanda, yakni yang
dikenal), al-‘Alam (bendera atau panji), dan al-‘ilm (tahu),
lawan dari kata al-Jahl (tidak tahu).[1]
Kata ‘ulama
jama’ dari kata ‘ālim (عالم) yang berarti mengetahui
sedangkan kata (عليم) ‘alīm/Maha mengetahui merupakan Shīghāt Mubalaghah yaitu bentuk isim
fa’il yang menunjukan arti sangat atau maha. Kata ālim (عالم) juga memiliki
bentuk jama’ muzakar salim yakni ‘ālimun (عالمون) atau ‘ālimīn (عالمين) disebut lima kali di dalam al-Qur’an.[2]
Digunakan, antara lain, untuk menunjuk kepada orang-orang yang mampu memahami
tanda-tanda kekuasaan Allah maupun tamṡil-tamṡil yang diungkapkannya, serta mereka yang
mampu mena’wilkan mimpi. Misalnya di dalam al-Qur’an surat al-‘Ankabūt ayat 43,[3]
‘ālimun disebutkan dalam konteks
pengecualian bahwa yang bisa memahami perumpamaan-perumpamaan yang dibuat Allah
bagi manusia hanyalah al-‘Ālimūn (orang-orang yang mengetahui).[4]
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI)
ulama diartikan sebagai orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama
Islam.[5] Dalam Ensiklopedi
Islam, definisi ulama adalah orang yang tahu atau yang memiliki pengetahuan
ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealaman yang dengan pengetahuannya tersebut
memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah.[6]
Adapun bila kata ulama itu dihubungkan dengan
perkataan yang lain, maka artinya hanya mengandung arti terbatas dalam
hubungannya itu. Misalnya “ulama fiqih” artinya orang mengerti tentang ilmu
fiqih, “ulama kalam” artinya orang yang mengerti tentang ilmu kalam, “ulama
hadiṡ”, artinya orang yang mengerti tentang ilmu hadiṡ, “ulama tafsir”, artinya orang yang mengerti tentang ilmu tafsir, dan
seterusnya, umpamanya ulama syiyasyi (politik), ulama bahasa, ulama
nahwu, dan lain sebagainya.
Menurut bahasa yang berlaku sampai sekarang ini di
Indonesia ini, kata ulama atau alim ulama diartikan untuk orang yang ahli
tentang agama Islam, yakni orang yang mendalam ilmunya dan pengetahuannya
tentang agama Islam beserta cabang-cabannya dalam urusan agama Islam, seperti
ilmu tafsir, ilmu hadiṡ, ilmu fiqih,
ilmu kalam, ilmu bahasa Arab termasuk alat-alatnya yang disebut paramasastra
seperti ilmu ṣorof, nahwu, ma’ani,
bayān, badī’, balaghah, dan sebagainya. Jelasnya orang yang faham dan
mendalam ilmunya tentang agama Islam yang meliputi ‘aqidah, syari’ah,
mu’amalah, akhlak.[7]
Betapapun semakin sempitnya pengertian ulama dari
dahulu sampai sekarang, namun ciri khasnya tetap tidak dilepaskan, yakni ilmu
pengetahuan yang dimilikinya itu diajarkan dalam rangka khasyah (adanya
rasa takut) kepada Allah SWT. Oleh karena itu, seorang ulama harus orang Islam.
Seseorang yang baru memiliki ilmu keagamaan (keislaman) seperti para ahli
ketimuran (orientalis) tidak dikatakan ulama.[8]
Dari beberapa penjelasan di atas, menurut hemat
penulis bahwa hakikat dari ulama adalah orang yang berilmu dan mempunyai
kekuatan spiritual yang diwujudkan dalam bentuk ketakutan kepada Allah. Orang
yang berilmu (ilmu agama dan ilmu kealaman) dan tidak mempunyai rasa takut
kepada Allah akan tanggung jawab sebagai manusia yang berilmu yang diberi
karunia oleh Allah kelebihan intelektual, maka bukan ulama yang dimaksudkan
dalam al-Qur’an.
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai ulama,
penulis mengkelompokkan ulama menjadi dua bagian, hal ini sejalan dengan apa
yang telah dikemukakan oleh
Imam al-Ghazali, yakni ulama
akhirat dan ulama dunia (ulama su’).[9]
1.
Ulama
Akhirat
Ulama akhirat adalah orang yang mewarisi ilmu yang
bermanfaat dan amal saleh yang diwariskan oleh para nabi. Mereka juga mewarisi
semangat untuk berdakwah dan ber-amar ma’rūf nahī
mungkar, berjihad di jalan Allah, dan berani
menanggung resiko yang harus dihadapinya demi menggapai ridha Allah. Seperti
inilah amalan yang dahulu diwariskan oleh para nabi. Sebagaimana sabda
Rasulullah:
“Barang siapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
menuntunnya menuju jalan surga. Sungguh malaikat-malaikat merebahkan sayap-sayapnya
sebagai wujud keriḍaan mereka
kepada pencari ilmu. Sungguh seorang alim akan dimintakan ampunan oleh seluruh
makhluk langit maupun bumi, bahkan ikan-ikan memintakan ampun untuknya. Sesungguhnya
keutamaan ulama atas ahli ibadah ialah seperti keutamaan (cahaya) rembulan atas
(cahaya) bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar
maupun dirham tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya maka ia
telah mengambilnya bagian yang banyak.[10]
Ibnu Qoyyim berkata: “dalam hal ini terdapat perintah
dan bimbingan kepada umat Islam untuk menaati, menghormati, mengagungkan dan memuliakan
(ulama), sebab mereka pewaris para nabi yang memiliki hak untuk diperlakukan
seperti ini.[11]
Menurut Badruddin Hsubky bahwa ciri-ciri ulama
akhirat ialah:
Pertama, tidak memperdagangkan
ilmunya untuk kepentingan dunia. Sebetulnya ulama sejatinya tidak akan
mencintai dunia. Dengan kecintaannya kepada ilmu, dunia tidak lagi berarti
baginya. Pada kenyataannya, tidak jarang kita melihat ulama yang mengorbankan
agama dan ilmunya untuk kepentingan dunia. Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dilakukan untuk mencari
keridhaan Allah, ia mempelajari ilmu-ilmu itu untuk memperoleh harta-harta
duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.”
Kedua, Perilakunya
sejalan dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang berbuat kebaikan sebelum ia
mengamalkannya. Ulama yang diharapkan menjadi panutan dan contoh bagi umatnya
jangan sampai perilakunya bertolak belakang dengan ucapannya, mereka pandai
untuk berbicara akan tetapi tidak mampu untuk mengamalkannya sendiri. Allah SWT
memberi peringatan kepada kita dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff [61]: 2-3)
Ketiga, Mengajarkan
ilmunya untuk kepentingan akhirat, Ulama yang senantiasa memperjuangkan agama
dan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar serta mengajak ke arah kebaikan
dengan perantara mengajarkan disiplin ilmu kepada umatnya, hal ini yang
bertujuan untuk syiar dan memperoleh kepentingan akhirat.
Keempat, Menjauhi
godaan penguasa jahat. Larangan bagi para ulama untuk mendatangi pintu penguasa
bukanlah larangan datang ke tempat penguasa atau larangan bekerjasama dengan
penguasa bagi kepentingan masyarakat. Larangan yang dimaksud adalah larangan
dalam kalimat majaz yang artinya larangan bagi para ulama untuk
membenarkan tindakan atau kebijakan penguasa yang bertentangan dengan al-Qur’an,
hadits, ijma’ dan qiyas. Pembenaran ini
ada kaitannya dengan materi atau kepentingan duniawi.
Kelima, Senantiasa khasyah
kepada Allah, takẓim atas segala
kebesaran-Nya, tawaḑu’, hidup sederhana, dan berakhlak mulia
terhadap Allah maupun sesamanya. Tanggung jawab ulama dalam keilmuan mereka
sepatutnya memberi contoh atau teladan dalam semua aspek kehidupan, termasuk
kaedah bermasyarakat dan bersosialisasi. Mereka dituntut menampilkan peribadi
yang baik, jujur dan santun dalam tutur kata.
Bahasa kasar dan berbelit-belit dilarang keras, karena
hasilnya akan menyebabkan khalayak keliru, aib dan marah. Luka yang diakibatkan
oleh lidah hakikatnya lebih parah daripada yang diakibatkan oleh pisau.
Sebaliknya, tutur kata dan perilaku yang membimbing akan melahirkan nilai-nilai
kerjasama dan persefahaman sehingga setiap diri manusia disaluti kasih sayang
dan berjiwa pemaaf. Itulah akhlak mulia.
Belum layak diberikan gelar ulama jika jiwa
seseorang itu belum mencapai tingkatan khasyah yang benar-benar takut
kepada Allah, bersikap terlalu kasar dan bengis atau memandang rendah terhadap
orang awam. Apalagi jika mereka selalu plin-plan dalam percakapan atau sentiasa
berubah pendirian demi memenuhi kepentingan diri atau kumpulan tertentu. Ulama yang
berperilaku sombong dan lupa diri kerana ilmu yang dimilikinya tidak disusuli
dengan amalan, atau menggunakan ilmu bukan atas dasar kebenaran, maka orang
tersebut disebut bukan ulama melainkan orang munafik.
Keenam, Tidak cepat
mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tidak sedikit dikalangan kita ulama yang mudah untuk berfatwa. Bahkan mereka
tidak segan menjawab berbagai pertanyaan yang tidak mereka ketahui karena malu
pamor mereka turun. Oleh karenanya, ulama diharapkan untuk berhati-hati dalam
berfatwa, jangan sampai keluar dari dua sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan
sunnah, mengingat maslahat umat lebih penting daripada urusan
pribadinya.[12]
2.
Ulama
Dunia (Ulama Su’)
Ulama su’ adalah ulama yang jelek. Tetapi pada
umumnya orang memberi arti ulama su’ adalah ulama yang keji atau yang jahat dan
tidak mengikuti jejak Nabi. Kategori ulama su’ bermacam-macam modelnya. Ada
yang menjadi tukang fitnah di muka bumi, ada yang sebagai penjilat, ada yang
menjual agama dan aqidah, demi hidup dengan sesuap nasi, serta ada yang rusak
akhlaknya.[13]
Nabi Muhammad bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku ialah para imam yang
menyesatkan” (HR. Abū Dawud)[14]
Hadits ini menggunakan konteks kalimat dengan kata
innamaă yang berarti pembatasan dengan tujuan untuk menyatakan
keseriusan rasa takut Nabi atas musibah yang akan menimpa umatnya karena ulah
para imam yang sesat. Hadits ini jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah
telah membuat salah satu klasifikasi ulama, yaitu muḍillūn: menyesatkan. Kriteria mereka
adalah sebagaimana tertera di dalam hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab ṣahih-nya, yaitu hadits riwayat Hudzaifah
Ibnul Yaman bahwa Rasulullah bersabda:
“Sepeninggalku nanti akan muncul para imam yang tidak mengambil
petunjuk dariku dan tidak melaksanakan sunnahku. Dan akan ada di tengah-tengah
mereka orang-orang yang hatinya seperti hati setan di dalam raga manusia”. (HR.
Imam Muslim).[15]
Maksudnya adalah para penguasa, ulama dan ahli
ibadah yang memimpin manusia tanpa dasar ilmu sehingga berakibat menyesatkan
manusia.[16]
Allah swt berfirman dalam al-Qur’an:
“Dan diantara mereka banyak yang menyesatkan dengan hawa nafsu mereka
tanpa dasar ilmu. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-An’am [6]: 119).
Dalam ayat yang lain Alah swt berfirman:
“Dan sungguh sebelum mereka telah ada banyak orang yang sesat.” (QS. aṣ-Ṣaffat
[37]: 71).
Dari pengertian di atas Umar Hasyim menjelaskan
bahwa ulama su’ mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.
Ulama yang menyembunyikan kebenaran
Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang yang
menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang
jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-kitab,
mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua makhluk yang
dapat melaknati kecuali mereka yang telah bertobat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran) maka Aku menerima tobat mereka dan Aku-lah yang Maha menerima
tobat lagi Maha penyayang.”(QS. al-Baqarah [2] ayat 159-160).20
Ayat ini menerangkan tentang salah satu golongan ulama,
yaitu mereka yang menipu umat dengan jalan menyembunyikan ilmu yang mereka
peroleh dari Rasul. Ilmu yang dimaksud adalah berupa tanda-tanda yang menunjukkan
kepada tujuan yang benar, dan hidayah yang bermanfaat untuk hati. Mereka menyembunyikan
ilmu setelah Allah menerangkan kepada manusia melalui lisan para rasul-Nya. Oleh
karena itu, mereka berhak menerima ancaman keras yang setimpal dengan perbuatan
mereka sendiri.
2.
Ulama yang menyelewengkan kebenaran
Allah berfirman:
“Apakah kamu mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan
mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya,
sedang mereka mengetahujnya. Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka berkata kami pun telah beriman, tetapi apabila mereka berada
sesama mereka saja, mereka berkata, “Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang
Mukmin) apa yang telah diterangkan Allah kepadamu”, supaya dengan demikian dapat
mengalahkan hujjahmu di hadapan Rabb-mu; tidaklah kamu mengerti. Tidakkah mereka
mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala
yang mereka nyatakan? Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui
al-Kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan
yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu ia mengatakannya “ini dari Allah” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan
yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka akibat
apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka
akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2] : 75-79).21
Ayat-ayat tersebut membeberkan segolongan orang-orang
yang mendapatkan gelar ulama, tetapi mereka justru menyelewengkan gelarnya
dengan dalil-dalil syar’i. Mereka mengubah berbagai ketetapan hukum yang sudah
baku demi tercapainya tujuan busuk mereka. Kondisi ini tidak hanya khusus untuk
umat sebelum kita, tetapi mencakup setiap orang yang menyelewengkan kebenaran
demi niatan busuk.
Imam Qurṭūbī menjelaskan bahwa ayat
ini dan sebelumnya berisi tentang peringatan dan ancaman keras bagi siapa saja
yang mengubah dan mengganti serta menambah sesuatu yang berkaitan dengan syari’at.
Siapa saja yang mengganti, mengubah, atau mengganti sesuatu yang baru dalam agama
Allah yang bukan bagian dari agama dan tidak ada keleluasaan untuk menambah
maka mereka masuk ke golongan manusia yang mendapat ancaman keras dan azab yang
pedih sebagaimana disebutkan dalam ayat ini.[17]
3.
Ulama berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya
Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian
mereka tiada memikulnya (mengamalkannya) adalah seperti kedelai yang membawa kitab-kitab
yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah
itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 5).23
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa
beliau menafsirkan kata “al-Asfar”, artinya kitab-kitab. Allah telah
mengumpamakan orang-orang yang membaca kitab namun tidak mau mengikuti isinya, seperti
keledai yang mengangkut kitab Allah yang berat, ia tidak mengetahui isinya.[18]
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafisrnya tentang
ayat ini bahwa celaan terhadap orang Yahudi yang telah diberi kitab Taurat.
Mereka diperintahkan untuk mengamalkan isinya tetapi mereka tidak mengamalkannya.
Dalam hal itu, perumpamaan mereka adalah seperti keledai yang mengangkut
kitab-kitab yang berat. Maksudnya, mereka seperti keledai yang mengangkut kitab
tetapi tidak mengerti apa isinya, keledai hanya akan membawanya begitu saja
tanpa mengetahui apa sebenarnya yang telah ia bawa. Oleh sebab itu, apabila seorang
‘ulamā dalam mengemban tugas sebagai pewaris para nabi, akan tetapi mereka enggan
untuk mengamalkan ilmunya kepada ummatnya, maka mereka tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah Allah firmankan dalam al-Kitab, yaitu seperti keledai.[19]
[1] Perpustakaan Nasional; Katalog dalam Terbitan
(KDT), Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera
Hati, Cetakan I, 2007, hal. 1017-1018
[2] Muhammad Fuad Abdul Bāqī, Mu’jam Mufahras li Al-Fāẓi Al-Qur’an, Beirut: Dārul Fikr, 1891, hal. 475
[5] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama Edisi IV, 2008, hal. 1520
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan Pertama, 1993, hal. 120
[7] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang Sejarah
Para Ulama), Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cetakan Kedua, 1983, hal. 15
[8] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit,
hal. 121
[9] Badruddin Hsubky, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman, Jakarta: Gema
Ihsani, Cetakan Pertama, 1995, hal. 57
[10] Muhammad bin 'Isa al-Tirmidzī, Sunan Tirmidzī, Juz 3, Lebanon: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah-Beirut, 2011, hal. 477-478.
[11] Sufyan Al-Jazairy, Aṣnaful Ulama Wa Auṣofuhum (Potret Ulama Antara
Yang Konsisten & Penjilat), Terj. Muhammad Saffuddin, Solo: Jazera, Cetakan
Kedua, 2012, hal. 37.
[13] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang Sejarah Para
Ulama), Op. Cit, hal. 31
[14] Abi Dāwud Sulaiman bin Al-Asy‟ats bin Ishāq bin Basyīr, Sunan Abī Dawud, juz 2, al-Qāhirah Mesir: Dāru Ibnu Haitsam, 2007, hal. 342
[15] Abi Al-Husain bin Al-Hajaj Ibnu Muslim Al-Qusyairī An-Naisābūri, Ṣahih Muslim, Jilid 2, Beirut: Dār Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2011, hal. 160
[16] Sufyan Al-Jazairy, Aṣnaful Ulama Wa Auṣofuhum (Potret Ulama
Antara Yang Konsisten & Penjilat), Op. Cit, hal. 57-58
[17] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang
Sejarah Para Ulama), Op. Cit,
hal. 47-48
[18] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang
Sejarah Para Ulama), Op. Cit,
hal. 52.
[19] Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Selayang Pandang Sejarah Para
Ulama), Op. Cit, hal. 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar