BUPATI-BUPATI CIAMIS
- 
Raden Tumenggung Aria Sastrawinata ( 1914-1935 )
 - 
Rd. Tumenggung Aria Sunarya ( 1915-1942 )
 - 
R. Mas Ardiwiangun ( 1944-1946 )
 - 
Raden Vater Dendakusumah ( 1946-1948 )
 - 
Tumenggung Gumelar Wiranagara ( 1948-1950 )
 - 
Prawiranata ( 1950 )
 - 
Redi Martadinata ( 1950-1952 )
 - 
Abdul Rifa’i ( 1952 )
 - 
Mas Rais Sastradipura ( 1952-1954 )
 - 
Raden Yusuf Suriadipura ( 1954-1958 )
 - 
Raden Gahara Wijayasurya ( 1958-1960 )
 - 
Raden Udia Kartapruwita ( 1960-1966 )
 - 
Kolonel Abubakar ( 1966-1973 )
 - 
Kolonel Hudli Bambang Aruman ( 1973-1978 )
 - 
Drs. H. Soeyoed ( 1978-1983 )
 - 
H. Momon Gandasasmita ( 1983-1988 )
 - 
Kolonel Inf.H.Taufik Hidayat ( 1988-1993 )
 - 
Kol.Kav. H. Dedem Ruchlia ( 1993-1998 )
 - 
Drs. Maman Suparman Rachman ( 1998-1999 )
 - 
H. Oma Sasmita S.H ( 1999-2004 )
 - 
Kolonel (Purn) H. Engkon Komara ( 2004-2009 )  &  ( 2009-2014 )
 
- Kategori: KERAJAAN GALUH
 - Ditulis oleh Administrator
 - Dilihat: 4519
 
		03		
		Jul		
	
SILSILAH RAJA
Silsilah dibawah ini antara lain 
disusun oleh Rd. Ade Tjangker Sudradjat dalam Buku Silsilah Prabu Haoer 
Koening 1997 diawali dari masa Ujang Ayem yang bergelar Prabu Haur 
Koneng (1535-1579) Galuh Pangauban sampai ke zaman kejayaan Uyut Prebu 
R.A.A. Kusumadiningrat (Regent/Bupati Galuh) dan yang kemudian 
dilanjutkan oleh putra beliau sebagai Bupati terahir dari keturunan 
Galuh, yakni R.A.A. Kusumasubrata.
- PRABU HAUR KONENG/UJANG AYEM (1535 - 1579) Galuh Pangauban - Pangandaran. Makam di Darma Kuningan
 
- MAHARAJA CIPTA PERMANA alias PRABU CIPTA SANGHYANG (1579 - 1590) Galuh Salawe - Cimaragas
 
- PRABU RANGGA PERMANA (1590 - 1595) Galuh Kertabumi - Bojong
 
- PRB. GALUH SANG HYANG CIPTA PERMANA (1595 - 1608) Galuh Kawasen - Banjarsari
 
- PRB. GALUH CIPTA PERMANA II (1608 – 1618) Galuh Gara Tengah - Cibodas
 
- SANG ADIPATI PANAEKAN (1618 - 1625) Galuh Gara Tengah - Cibodas
 
- DALEM ADIPATI IMBANAGARA / OEDJANG POERBA (1625 - 1636) Galuh Gara Tengah - Cibodas
 
- R.A.A.PANJI JAYANAGARA/Rd.YOGASWARA/MAS BONGSAR/GEDENG ADILARANG (1636 - 1670) Bupati Galuh - Imbanagara 12 Juni 1642, pusat pemerintahan pindah ke Imbanagara / Barunay. Pada masa jabatan beliau, daerah kekuasaan seperti Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu dihapuskan.
 
- DALEM ARIA ANGGAPRAJA (1670 - 1678) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.ADIPATI ANGGANAYA (1678 - 1693) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.ADIPATI SUTADINATA (1693 - 1707) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.ADIPATI KUSUMADINATA I (1707 - 1727) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.ADIPATI KUSUMADINATA II (1727 - 1732) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- DALEM JAGABAYA (1732 - 1751) Bupati Galuh - Imbanagara Patih Imbanagara sebagai wali Mas Garuda/Rd.Ad. KUSUMADINATA III
 
- MAS GARUDA / Rd.Ad. KUSUMADINATA III (1751 - 1801) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.Ad. NATADIKUSUMAH / DEMANG GURINDA (1801 -1806) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.Ad. SURAPRAJA (1806 - 1811) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.Tmg. JAYENGPATI KARTANEGARA (1811 - 1815) Bupati Galuh - Imbanagara
 
- Rd.Tmg. WIRADIKUSUMAH (1815 - 1819) Bupati Galuh - Cibatu
 
- Rd.Ad. ADIKUSUMAH (1819 - 1839) Bupati Galuh - Cibatu
 
- Rd.Ad.Ar. KUSUMADININGRAT (1839 - 1886) Bupati Galuh - Cibatu
 
- Rd.Ad.Ar. KUSUMASUBRATA (1886 - 1914) Bupati Galuh – Cibatu
 
CATATAN ;
Rd.Ad.Ar.Kusumasubrata adalah
 Bupati Galuh terahir yang berasal dari keturunan Raja/Bupati Galuh, 
sedangkan pengganti beliau adalah Bupati yang ditunjuk Belanda dan bukan
 berasal dari keturunan silsilah Raja/Bupati Galuh. Kemudian dalam upaya
 politik pecah belah Belanda, maka pada tahun 1915 semasa jabatan 
dipegang oleh Rd. Aria Sastrawinata (1914 – 1935) Galuh diganti namanya 
menjadi Ciamis yang namanya asing bagi masyarakat Galuh serta tidak 
mempunyai makna nilai historis.
- Ditulis oleh Administrator
 - Dilihat: 1781
 
		30		
		Jun		
	
MEMISAHKAN DIRI DARI TARUMANAGARA
Pemisahan Galuh terjadi sejak 
jaman Wretikandayun yang berkuasa pada 534 Saka (612 M) sampai dengan 
702 M, pada saat itu di Tarumanagara sudah mendekati akhir hayatnya dan 
malih rupa menjadi kerajaan Sunda (pura) yang diperintah oleh Terusbawa.
Wretikandayun menggantikan posisi 
Sang Kandiawan, ayahnya. Kemudian Wretikandayun memindahkan pusat 
pemerintahannya kedaerah baru yang terletak di Karang Kamulyaan Ciamis. 
Lokasi tersebut berada ditengah-tengah dua sungai, yakni Citanduy dan 
Cilumur, yang ia beri nama Galuh (permata).
Sangat sulit dianalisa tentang 
alasan Galuh Kendan memisahkan diri, apakah karena Kendan sudah merasa 
besar dan memiliki kekuatan yang seimbang dengan Tarumanagara, atau 
karena menganggap tidak ada lagi ikatan emosional antara Tarumanagara 
yang berubah menjadi Sundapura dengan Galuh. Namun alasan yang terakhir 
banyak disebut-sebut sebagai trigger-nya, sedangkan alasan pertama hanya
 dijadikan premis pelengkap.
Kondisi Tarumanagara 
ketika itu memang sedang menurun dan sudah kurang berwibawa dimata 
raja-raja daerah, disinyalir terjadi pada masa Sudawarman, Pertama, 
pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh 
leluhurnya tidak dijaga hubungan baik. Mungkin juga karena 
ia tidak menguasai persoalan Tarumanagara, Karena sejak kecil tinggal 
dan dibesarkan di Kanci, kawasan Palawa.
Kalaupun mampu 
menyelesaikan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan adanya kesetiaan
 dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta. Pasukan
 ini sangat setiap terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya 
berpikir: bagaimana menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan 
dapat diselesaikan dengan baik.
Kedua, pada jaman Sudawarman telah
 muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang pamornya sedang menaik. 
Seperti Galuh, ditenggara Jawa Barat, merupakan daerah bawahan. Selain 
Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada 
didalam masa keemasannya. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan besar,
 yakni Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.
Kemerosotan pamor Tarumanagara 
tidak akan berakibat parah jika para penggantinya dapat bertindak arif 
dan mampu menikan pamor kerajaan kembali. Hingga pada setelah wafatnya 
Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Kemudian 
digantikan menantunya, yakni Tarusbawa dengan gelar Maharaja Tarusbawa 
Darmawaskita Manungmanggalajaya Sunda sembawa.
Tarusbawa memerintah sejak tahun 
591 sampai dengan 645 saka (669 – 723 M), sebelum menjadi penguasa 
Tarumanagara ia menjadi raja Sundapura, raja daerah dibawah 
Tarumanagara.
Tarusbawa sangat menginginkan 
untuk mengangkat Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun 
memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang 
bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia merubah nama 
Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (Sundapura atau 
Sundasembawa).
Namun tentunya sangat berbeda 
dengan Purnawarman, selain ia menguasai strategi peperangan dan 
pemerintahan, ia pun dikenal sebagai raja Tarumanagara yang full Power.
Penggantian nama kerajaan yang ia 
lakukan tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan dengan raja-raja 
bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan 
Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan 
kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan 
seorang menantu dan bekas raja Sundapura.
Mengenai penggantian 
nama Tarumanagara, dimungkinkan sebagai akibat pindahnya ibukota 
Tarumanagara ke Sundapura, sehingga iapun mengikuti nama Ibukotanya, 
bukan asal kerajaannya. Karena Purnawarman pun dahulu berkedudukan di Sundapura dengan nama kerajaannya Tarumanagara.
Jika diurut sejarah raja-raja Galuh 
maupun Sunda keduanya masih keturunan raja Tarumanagara. Dimungkinkan 
Tarusbawa masih keturunan Purnawarman, karena ia raja di Sundapura, pada
 masa Purnawarman menjadi ibukota Tarumanagara. Namun ada juga spekulasi
 yang berpendapat, Tarusbawa dan leluhurnya menjadi raja Sundapura 
karena adanya pemberian otonomi kepada raja-raja daerah yang ditaklukan 
Tarumanagara pasca Purnawarman. Sedangkan Wretikandayun, raja Galuh 
adalah cucu dari Tirtakancana, putri raja Tarumanagara.
Tentang letak Sundapura jika 
dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara Cibungbulang dan Prasasti 
Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, bahwa 
perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura telah terjadi sejak masa
 Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti Muara dahulu termasuk 
berada diwilayah kerajaan Pasir Muara. Bisa saja Sundapura diduga berada
 di wilayah Bogor, mengingat kerajaan Pajajaran, kerajaan yang terkait 
dduga keras terletak di Bogor, sedangkan Tarumanagara diduga keras 
terletak di Bekasi.
Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :
“Telas
 karuhun wis hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua 
Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran 
purwaprastawa saking Bratanagari”
[dahulu telah 
ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa 
lalu diberi nama Sundapura. Nama ini berasal dari negeri Bharata].
Keinginan
 melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa 
Galuh bukan seuatu yang muskil untuk dilaksanakan, mengingat Galuh telah
 merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena memiliki hubungan 
sangat baik dengan Kalingga, dari cara menikahkan Mandiminyak, putranya 
dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud 
intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang berada 
di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak
 lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan 
persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. 
Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah 
menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari
 angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Selain
 itu Galuh juga memiliki bersahabat baik dengan kerajaan-kerajaan di 
Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap memberikan bantuan kepada Galuh 
kapan saja.
Permintaan untuk 
memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan, namun apabila terjadi 
peperangan maka berdasarkan perhitungan Tarusbawa pasukan Tarumanagara 
yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga 
sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang 
visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan 
baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
Pada kisah berikutnya, Tarusbawa 
menerima tuntutan Wretikandayun. Ia merelakan kerajaan terpecah menjadi 
dua. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negara.
Dalam tahun 670 M, berakhirlah 
kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. 
Namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi 
kerajaan Sundapura, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan 
Galuh.
 Berikut adalah nama-nama raja sejak menjelang hingga berahirnya Tarumanagara :- 
SANG RESIGURU / MANIKMAYA                            (526 – 568)     Kerajaan Kendan Nagreg
 
Pendiri Kerajaan Kendan (Kerajaan Agama) Menantu Suryawarman (Raja Tarumanegara)
- 
RAJAPUTRA / SURALIM                                        (568 – 597)     Kerajaan Kendan Nagreg 
 
- 
SANG KANDIAWAN / RAJARESI / RAHIYANGTA     (597 – 612)     Kerajaan Medangjati Kuningan,
 
Yang kemudian menjadi Pertapadi Layungwatang (daerah Kuningan)  
- 
WRETIKANDAYUN                                                  (612 – 702)     Kerajaan Galuh.
 
Dikenal sebagai raja Galuh pertama bahkan dianggap pendiri Galuh pasca Kendan, wafat 702 M dalam usia 111 tahun. 
Dalam tahun 670 M  Tarumanagara berahir sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah Barat Citarum menjadi kerajaan Sundapura, sedangkan disebelah Timur Citarum berdiri kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut dimasa berikutnya disebut juga Sunda Pajajaran dan Sunda Galuh.
- 
AMARA bergelar  MANDIMINYAK                          (702 – 709)     Kerajaan Galuh
 
Wretikandayun mengangkat  Amara, putra bungsunya sebagai putra Mahkota, dengan gelar Mandiminyak 
- 
SENA / BRATASENAWA                                         (709 – 716)     Kerajaan Galuh 
 
Sena (Sang Salah) adalah  putra Mandiminyak  dari hasil hubungannya dengan Nay Pwahaci Rababu. 
- 
PURBASORA                                                         (716 – 723)     Kerajaan Galuh
 
Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena  
- 
SANJAYA                                                               (723 – 732)     Kerajaan Sunda - Galuh
 
Di tangan 
Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Sanjaya / Rakryan Jambri 
adalah putera Sena dari Sannaha puterinya Mandiminyak dengan demikian ia
 merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, yang kemudian dengan bantuan
 Tarusbawa menyerang Galuh. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan
 Purbasora
- 
SANJAYA                                                               (732 – 754)     Kerajaan Galuh Kalingga Bojong Karangkamulyan
 
Sanjaya memegang kekuasaan di Kalingga selama 22 tahun (732 – 754) 
- 
RARKYAN PANARABAN / TAMPERAN                     (732 – 739)     Kerajaan Sunda - Galuh
 
Rarkyan 
Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu 
membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (yang dalam carita 
rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) 
di Sunda
- 
SANG MANARAH / CIUNG WANARA                       (739 –   ? )     Kerajaan Galuh
 
- 
PRABHU GILINGWESI
 
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795). 
- 
SANG PRABHU LINGGABHUMI                               (813 – 842)     Kerajaan Galuh
 
Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa di Sunda  selama 24 tahun (795-819). Dan ketika kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sungai Citarum Pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh

Dari uraian terdahulu maka kita ketahui bahwa Kerajaan Galuh  adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya  terletak  antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cipamali di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno  Carita Parahiyangan, suatu naskah yang berbahasa Sunda,
 ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, ceritera mengenai 
Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja 
resi selama lima belas tahun. Sebagaimana yang telah di ceriterakan di 
awal, selanjutnya kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh 
yaitu Sang Wretikandayun.
Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666  meninggal dunia di tahun 669,
 kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Tarusbawa dengan gelar Maharaja 
Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sundasembawa, menantunya dari 
Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarusbawa 
memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin 
oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum  sebagai batasnya.
KERAJAAN KEMBAR
Wretikandayun punya tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.
Dari Nay Pwahaci Rababu, 
Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora. Akibat tergoda 
oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke perbuatan nista,
 sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari istrinya, Dewi
 Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak 
mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lantas 
menikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut 
Sanjaya).
Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709),
 kemudian diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari 
Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena 
(tahun 716).
 Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di 
sebelah timur, dan menikah dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi
 Padmahariwangsa, raja Indraprahasta.
Dengan demikian 
diketahui bahwa nama Galuh sudah dikenal sebagai nama kerajaan sejak 
awal abad ke-8, yang diabadikan dalam Prasasti Canggal yang berangka 
tahun 732 Masehi menyebut nama Sanjaya sebagai Raja yang berkuasa di 
Galuh, yang wilayah kekuasaannya berpusat di Priangan Timur sekarang. Selanjutnya,
 pusat kerajaan berpindah-pindah ke Kawali, kemudian ke Pakuan Pajajaran
 (Bogor sekarang) dengan nama Kerajaan Sunda , dan berjaya sepanjang 
delapan abad hingga berakhir tahun 1579.
Kerajaan Galuh inilah kerajaan 
yang berjaya paling lama di seluruh Nusantara. Ketika pusat kerajaan 
berpindah – pindah, di Galuh sendiri tetap ada raja yang memerintah dan 
1535 – 1579 Prabu Haur Kuning saat itu yang sedang berkuasa di Galuh dan
 ketika Kerajaan Sunda runtuh tahun 1579, di Galuh masih memerintah 
Maharaja Cipta Permana alias Prabu Cipta Sanghiang di Galuh, putra Prabu
 Haur Kuning. Ketika Prabu Cipta wafat, putranya yaitu Prabu Galuh Cipta
 Permana menggantikan kedudukannya di Gara Tengah.
- Ditulis oleh Administrator
 - Dilihat: 1207
 
		30		
		Jun		
	
JAMAN KE KABUPATIAN
Akhirnya pada tahun 1642, Galuh menjadi sebuah Kabupaten di bawah Raden Panji Aria Jayanagara dan 
berkedudukan di Barunay.   R.A.A.
 Kusumadiningrat yang terkenal sebagai Kangjeng Prebu adalah bupati 
paling terkemuka pada jamannya . Ketika wafat tahun 1886, ia digantikan 
oleh putranya yaitu R.A.A. Kusumasubrata. Pada tahun 1915 nama Kabupaten
 Galuh diganti menjadi Kabupaten Ciamis,  ketika R.A.A. Kusumasubrata digantikan oleh Bupati Tmg. Sastrawinata, yang bukan berasal dari keturunan Galuh.
berkedudukan di Barunay.   R.A.A.
 Kusumadiningrat yang terkenal sebagai Kangjeng Prebu adalah bupati 
paling terkemuka pada jamannya . Ketika wafat tahun 1886, ia digantikan 
oleh putranya yaitu R.A.A. Kusumasubrata. Pada tahun 1915 nama Kabupaten
 Galuh diganti menjadi Kabupaten Ciamis,  ketika R.A.A. Kusumasubrata digantikan oleh Bupati Tmg. Sastrawinata, yang bukan berasal dari keturunan Galuh.KEJAYAAN ZAMAN KANJENG PREBU RADEN ADIPATI ARYA KOESOEMADININGRAT
REGENT (BUPATI) GALUH Galuh (1839 - 1886)
Kangjeng Prebu sebagai bupati 
Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai ilmu yang tinggi
 dan merupakan bupati pertama di wilayah itu yang bisa membaca huruf 
latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat. 
Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat 
memimpin Galuh Ciamis (1839-1886).
Pemerintah kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam Paksa. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah dilaksanakan juga apa yang disebut Preangerstelsel atau
 sistim Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang 
terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan", gambaran seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja dalam tanam paksa. Dari Preangerstelsel, di tempat lain dimekarkan menjadi Culturstelsel.
 Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa 
harus ditanam olah rakyat, tapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan insiden Van Pabst yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.
Mulai Berkebun Kelapa
Tentu saja Kangjeng Prebu bersedih
 hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan 
nila, sementara hasilnya diambil oleh Belanda.
 Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja, 
meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus 
kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran 
tembang sedih Dengkleung Dengdek. Tertulis dalam majalah Mangle,
 almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di 
perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle 
adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya 
tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah 
lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek oleh administratur itu.
Kangjeng Prebu sendiri menangis 
dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh pemerintah 
kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam 
paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap 
waktu, dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air 
dan bendungan, yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder 
termasuk dam yang kokoh. Sampai kini masih ada saluran air Garawangi 
yang dibangun tahun 1839, Cikatomas tahun 1842, Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru (berarti Naga biru) dibangun tahun 1843, dan saluran air Wangunreja tahun 1862.
Selanjutnya bupati yang 
kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti pada 
rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai 
tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat seserahan diwajibkan
 untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman 
rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
Dari zaman Kangjeng Prebu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan produksinya yang menumpuk (ngahunyud) di setiap pelosok kampung. Dalam
 waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa paling 
makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh 
para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor adalah Gwan Hien,
 yang oleh lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan 
pabrik di Pawarang yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini 
musnah tertimpa bom saat Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga 
tinggal nama, demikian juga yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa 
terdesak oleh minyak kelapa sawit dan minyak goreng jenis lainnya.
Sekolah Sunda
Dari tahun 1853 Kangjeng
 Prebu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati yang 
kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektar, dengan 
kolam ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain 
dari keraton, ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek keraton
 juga ada mesjid. Tahun 1872 di
 komplek keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga Bupati. 
Di sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan. Dulu tidak
 ada yang berani melanggarnya, orang Galuh percaya air situ itu 
mengandung khasiat seperti yang dituliskan oleh Kangjeng Prebu dalam guguritan yang dibuatnya, "Jamban
 tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati 
Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning."
 Artinya kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh 
penyakit, amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, 
medali mas pajeng kuning."
Menurut para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng Prebu, zaman dulu guguritan yang
 disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah
 rakyat. Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng 
Prebu juga membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana lainnya. 
Antara tahun 1859 sampai 1877 pembangunan
 berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan
 kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap 
utara. Lantas gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung
 negara atau gedung kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati 
sekeluarga. Bangunan lainnya adalah markas militer, rumah 
pemasyarakatan, mesjid agung, gedung kantor telepon.
Tampaknya Kangjeng Prebu sama 
sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat. Pendidikan 
diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa Perancis ini.
 Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati, sengaja 
dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor 
kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa Belanda. Tahun 1862, Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar Sunda.
Dalam upaya menyebarkan agama Islam,
 Kangjeng Prebu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya 
menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan 
sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng Prebu sengaja 
suka mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta 
masyarakat.
Dalam kumpulan seperti itulah ia 
mengajak rakyatnya supaya mereka setiap akan pergi ke pengajian dan 
perkumpulan, membawa arca yang ada di rumahnya masing-masing. "Kita 
satukan dengan arca kepunyaan saya," katanya. Rakyat setuju saja diminta
 membawa arca seperti itu dan dengan jujur mengakui bahwa di rumahnya 
memiliki arca. Dengan demikian, tanpa memakan waktu yang lama, sudah 
tidak ada lagi arca yang disimpan di rumah-rumah rakyat. Masyarakat 
beribadah dengan sungguh-sungguh memuji keagungan Alloh. Islam mekar 
memancar seputaran Galuh. Sementara arca-arca yang dikumpulkan rakyat, 
ditumpuk begitu saja di Jambansari. Sekelilingnya ditanami pepohonan 
yang rimbun. Itu sebabnya sampai sekarang banyak arca di pemakaman 
Kangjeng Prebu di Selagangga.
Kangjeng Prebu merupakan Bupati 
pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin, juga mempunyai 
ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di 
masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng Prebu juga menguasai makhluk gaib yang
 di Ciamis terkenal disebut onom. Tahun 1861,
 jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, 
dari Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai 
Yogyakarta. Kangjeng Prebu segera mengajukan permohonan, supaya jalan 
kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya 
melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya memang jadi 
membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan 
Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu. Walaupun 
stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tapi Ciamis sampai kini 
dilewati jalan kereta api, diantaranya kereta api Galuh.
Tahun 1886 Kangjeng Prebu lengser kaprabon,
 jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria 
Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng Prebu tidak hanya 
mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus 
berbenah dan membangun Galuh Ciamis. Masih di zamannya berkuasa, 
Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya tahun 1870.
 Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta, diantaranya 
Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang, dan 
Sindangrasa.
Tahun 1915 Kabupaten Galuh secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan, dan sebutannya menjadi Kabupaten Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima karesidenan, 18 Kabupaten dan enam kotapraja. Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
Di lokasi keraton Selagangga, 
Kangjeng Prebu juga membuat mesjid megah. Orang yang dipercayai untuk 
mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim. Untuk pemekaran 
agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di tiap 
desanya didirikan mesjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk 
anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk 
membangun mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai 
dikunjungi para remaja.
Peninggalan Kangjeng Prebu
Namun kini yang ada hanya tinggal 
makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil. Situ yang dulu ada di
 sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun. Padahal dulu ada 
dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah menjadi 
perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
Sementara waktu ke 
belakang, sempat terlantar kurang terurus karena tiadanya biaya, 
Jambansari hampir hilang terkubur ilalang, namun setelah diupayakan oleh
 keluarga besar rundayan Uyut Prebu sekarang pemakanam dan komplek 
Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan itu, nampak sudah 
lebih baik.
Ada yang sedikit 
menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang bertempat
 tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan 
Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan 
K.H. Ahmad Dahlan mengikuti nama pimpinan Nahdlatul Ulama.
 Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ 
ada peninggalan Kangjeng Prebu yang dirasa telah besar jasanya dalam 
sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, 
mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk 
mengenang Kanjeng Prebu yang memiliki keraton di tempat itu, memimpin 
Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa 
(Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang 
bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.
Selain Situs Jambansari,
 Uyut Prebu ada juga meninggalkan beberapa benda yang kemudian 
dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya berupa arca, keris, tumbak, 
pedang, ikat pinggang emas dan lain-lain yang saat ini disamping banyak 
yang raib yang adapun kurang pemeliharaan.
Benda Cagar Budaya yang masih ada saat ini disimpan di Museum Galuh Pakuan (sementara) yang terletak di Gedong Kadatuan Selagangga, dimana telah dilakukan Soft Openningoleh Bapak Wakil Gubernur Jawa Barat pada 18 Juli 2010.
- Ditulis oleh Administrator
 - Dilihat: 789
 
		30		
		Jun		
	
PERUBAHAN KENDAN MENJADI GALUH
Dalam paradigma sejarawan lokal 
nama Kendan tidak dapat dipisahkan dari Galuh, namun untuk membedakan 
rincian kesejarahannya digunakan kata Galuh Kendan disamping Galuh 
Kawali, untuk menyebut Galuh sejak Wretikandayun memisah kan diri dari 
Sundapura.
Kisah Kendan lebih 
banyak diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah 
Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan 
dapat secara runtut menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti 
kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal, Carita Parahyangan
 justru dapat menjelaskan muasalnya.
Carita Parahyangan memiliki uraian
 yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta. Konon kabar, kedua 
naskah ini hampir mirip dengan naskah Pararatwan Parahyangan yang saat 
ini tidak diketahui keberadaannya.
Sejarah Sunda lebih hidup dari 
cerita yang disampaikan secara lisan, banyak sejarah yang dianggap tabu 
untuk diceritakan dengan alasan pamali, teu wasa atau tabu. Mungkin 
alasan para karuhun bermasud agar tidak menyinggung perasaan orang lain 
yang kebetulan terceritakan. Tetapi hukum dan realitas pemenuhan data 
kesejarahan resmi seolah-olah menganggap tidak mau tahu dengan urusan 
ini, sehingga sering menyatakan Urang Sunda kurang bersejarah.
Di dalam cerita Parahyangan 
menguraikan pula kisah Kendan serta hubungannya dengan Galuh. Carita 
Parahyangan menjelaskan Sang Resiguru beranak Rajaputra, Rajaputra 
beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan 
dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan 
dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Itulah kisah 
para pendahulu Galuh.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar