Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin 
Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan 
Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. 1230-1314 H / 1815- 1897 M 
Lahir dengan nama  Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini
 hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di 
Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten 
Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman 
Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun 
1230 H atau 1815 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin 
Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. 
Nasab dia melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. 
Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang 
makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman dia di Tanara, 
nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah dia seorang Ulama Banten,
 ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Pendidikan Syaikh
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan 
ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi 
ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia 
meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak 
kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke
 laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh 
bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama 
yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil 
harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan 
kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa 
yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. 
Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.
Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang 
muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau 
pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus 
belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa 
Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus 
mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan 
lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak
 perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu
 sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” 
Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh 
pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, 
beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di 
mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan 
asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi 
berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah 
menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk 
mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, 
bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga 
tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan 
khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu 
ayahnya mengajar para santri.
Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena 
karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, dia mencari tempat di 
pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari
 bertambah banyak. Pada usia 15 tahun dia menunaikan haji dan berguru 
kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, sepertiSyaikh Khâtib 
al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani,
 Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini 
Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. 
Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad 
Nahrawi,Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama 
terkemuka diMekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter dia terbentuk. 
Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam 
pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, 
ulama besar di Medinah.
Perjuangan dan nasionalisme Syaikh 
Tiga tahun bermukim di Mekah, dia pulang ke Banten. Sampai di tanah air 
dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan 
penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran
 kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun 
berkobar. Dia keliling Bantenmengobarkan perlawanan terhadap penjajah. 
Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Dia dilarang 
berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan dia dituduh sebagai 
pengikutPangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan 
perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap 
prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi 
terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran 
Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga
 menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan 
RakyatIndonesia. Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di
 Mekah dia segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. 
Dia tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. 
Ketika itu memang dia berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu 
dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama dia 
mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Dia mengajar di 
halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin
 jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka 
jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal 
piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan 
tasawwuf.
Nama dia semakin melejit ketika dia ditunjuk sebagai pengganti Imam 
Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah dia dikenal 
dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari
 Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak 
hanya di kota Mekah dan Medinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Mesir
 nama dia masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia 
memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung
 atas kemerdekaan Indonesia.
Syekh Nawawi Banten Sebagai Mahaguru Sejati
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di 
kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di 
Mekah. Di sanalah dia menyampaikan perlawanannya lewat 
pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah 
Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje 
ke Mekah untuk menemui dia.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa dia tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu 
mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama 
yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi 
kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang 
hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul 
Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (PendiriMuhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, 
K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan 
lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren 
Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang 
dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam
 di hati K.H. Hasyim Asyarihingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali 
baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal
 Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang 
istri wafat mendahului beliau
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam 
Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi 
kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, 
Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui 
karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang 
sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan 
masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam 
yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan 
rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf 
sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai
 ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). 
Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan 
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. 
Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri 
pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi 
Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai 
tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh 
Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya 
gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita 
tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan 
air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
 Goresan Tinta Syekh Nawawi
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh 
kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar 
sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan 
judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat 
diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, 
seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak 
memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, 
termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu 
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di 
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di
 Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut 
Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama 
tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum 
belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam 
Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk 
mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar 
Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu 
forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena 
sudah dikenal di seantero dunia.
Kepakaran dia tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh 'Umar 
'Abdul Jabbâr dalam kitabnya "al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih 
bi al-Masjidil al-Harâm”(beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang
 Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi 
sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, 
meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah
 atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya 
Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin
 al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
al-Riyâdl al-Fauliyyah
Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan
 lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan 
Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. 
Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar 
terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir 
al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya dia lebih praktis ketimbang matan
 yang dikomentarinya. 
Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. 
Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya 
dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, 
Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj 
al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. 
Ada lagi sebuah kitab fiqih karya dia yang sangat terkenal di kalangan 
para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân 
Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam 
daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang 
segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara 
suami dan istri dijelaskan secara rinci. 
Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. 
Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama
 oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah 
tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau 
komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya dia, tentulah tidak 
mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual dia.
Karomah-Karomah Syekh Nawawi Al-Bantani
Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke 
Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang 
berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap 
gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika 
insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari 
ingatan, maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini, “Ya Allah, jika 
insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan 
Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang 
dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu 
akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika 
itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah
 beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam 
setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, 
kitab tersebut adalah kitabMaroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul 
Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
Konon, pada suatu waktu pernah dia mengarang kitab dengan menggunakan 
telunjuk dia sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena 
tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, 
yang dia diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. 
Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk 
kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. 
Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan 
Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar dia dengan cacat pada jari telunjuk
 kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri dia itu 
membawa bekas yang tidak hilang. 
Karamah dia yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah 
satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh 
salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin 
Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu 
ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi
 mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan 
penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru
 antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid 
Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah 
kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena 
masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi 
remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya 
agar bisa saling mendekat.
“ “Lihatlah Sayyid!, itulah 
Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu 
terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka 
perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah". 
Ujar Syaikh Nawawi remaja. ”
Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk 
Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub 
dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah 
dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah 
itu, di manapun dia berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, 
Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil dia. Sampai saat ini, jika 
kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak 
sesuai aslinya.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah 
dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat
 kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. 
Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. 
Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang 
jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa 
pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau
 orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa
 makam Syaikh Nawawi. 
Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari 
pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal 
yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang 
seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh.
 Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan 
seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih 
kafan penutup jasad dia tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari 
berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah 
terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam 
yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu 
diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad dia lalu 
dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam dia tetap 
berada di Ma΄la, Mekah.
Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme 
yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad dia. Kasih sayang 
Allah Ta’ala berlimpah pada dia. Karamah Syaikh Nawawi yang paling 
tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr 
Munîr yang dia karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa 
saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari 
kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan 
syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. 
Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya
 abadi dari buah tangan dia.
Wafatnya Imam
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah 
memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah 
umatIslam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 
1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 
1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam dia 
bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar 
Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.
Pembantaian Keluarga Syeikh Nawawi oleh Kaum Wahabi
Kisah ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi 
al-Bantani yang berhasil lolos dari kejaran Wahabi. Beliau adalah KH. 
Thabari Syadzily. Berikut adalah sedikit kisah pembataian tersebut.
Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar 
Al-Bantani (Muallif Kitab) pun tidak luput dari sasaran pembantaian 
Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau sedang duduk memangku 
cucunya, kemudian gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa 
diundang dan langsung membunuh dan membantainya hingga tewas. Darahnya 
mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang dipangku 
oleh beliau.
Sedangkan keluarganya yang lain terutama golongan yang laki-laki 
dikejar-kejar oleh gerombolan Wahabi untuk dibunuh. Alhamdulillah, 
mereka selamat sampai ke Indonesia dengan cara menyamar sebagai 
perempuan.
Posisi Strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia
1. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang 
mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan 
awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau 
dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui
 tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh 
Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya
 yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, 
jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Ma’la.
2. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” 
yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau 
“Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah \beliau 
tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga 
bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di
 tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-imam 
wa al-fahm al-mudaqqig” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman 
yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje member gelar “Doktor Teologi”.
3. Pada tahun 1870, Syekh Nawawi diundang para ulama Universitas 
Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap 
penyebaran buku-buku Syekh Nawawi di Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama 
al-Azhar mengakui kepakaran Syekh Nawawi al-Bantani.
4. Paling tidak terdapat 34 karya Syekh Nawawi yang tercatat dalam 
Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya 
malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi 
berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, 
tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di 
Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya 
sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5. Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna 
terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastera Arab yang susah dipahami, 
melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syekh Nawawi memudahkan 
pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syekh Nawawi 
menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud
 penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah 
Syekh Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan 
dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.
6. Syekh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan 
ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan
 hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta 
sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at 
di sisi lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syekh 
Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, 
syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian 
rohani. 
Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan 
syari’at dengan baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku
 bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang 
hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah 
menabrak aturan syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran 
yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli atau 
sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli. Namun Syekh Nawawi 
berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli 
harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara 
kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.
7. Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi merupakan tokoh penting yang 
memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah. Teologi ini
 merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa manusia 
mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap 
manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh 
Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan 
bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang dianut 
oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari 
merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.
9. Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa 
bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, 
murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting dari 
sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan 
Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, 
merupakan salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu, 
wajar jika Syekh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck 
Hourgronje.
10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari 
Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di 
Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan 
kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, 
sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di berbagai 
Pesantren




