Saya Mengambil dari sumber di bawah ini......
Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo.
 Ia banyak mengalami pemberontakan selama masa pemerintahannya. Ia 
meninggal dalam pelariannya tahun 1677 dan dimakamkan di Tegalwangi 
(dekat Tegal), sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek, karena ia terluka saat menumpas pemberontakan Mas Alit adiknya sendiri.
Daftar isi
Silsilah Amangkurat I
Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
Awal pemerintahan
Pada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat
 yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". 
Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram 
dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut 
seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi 
kepadanya.
Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung
 berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan 
sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga 
menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan 
politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 
1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.
Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta
 terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan 
Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang 
penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para 
ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti 
menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, 
sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
Hubungan dengan pihak lain
Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC
 yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan 
perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di 
wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke 
pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan 
pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap 
sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian 
tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.
Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar
 yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah 
tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
Perselisihan dengan putra mahkota
Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas
 Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi 
oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta
 tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. 
Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun
 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon 
selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.
Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik
 mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas 
Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi 
dengan tangannya sendiri.
Pemberontakan Trunajaya
Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya
 menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama
 mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. 
Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap 
Amangkurat I.
Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC
 tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta 
sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.
Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para 
pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara 
Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan 
kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya 
dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat 
yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali 
memihak ayahnya.
Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi
 menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya 
Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, 
Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat 
kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.
Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai 
kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di
 Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu
 terpecahlah kerajaan Mataram.
Kematian Amangkurat I
Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi,
 kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. 
Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja 
selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada 
yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. 
Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal.
 Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I
 dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir 
disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar 
Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan 
Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.
Kepustakaan
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
 - M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
 - Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
 - Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
 
Pranala luar
- Santi Jehan Nanda (15 Desember 2013). "Monster Itu Bernama Amangkurat". Diakses tanggal 17 September 2015.
 
| Gelar kebangsawanan | ||
|---|---|---|
| Didahului oleh: Sultan Agung  | 
Sultan Mataram 1646—1677  | 
Diteruskan oleh: Amangkurat II  | 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar