Bahan Kajian dan Renungan.
Saya Mengambil dari sumber dibawah in:
Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit,
[4] dan sejarahnya tidak jelas.
[5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah
Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam
bahasa Kawi dan
Nagarakretagama[6] dalam
bahasa Jawa Kuno.
[7] Pararaton terutama menceritakan
Ken Arok (pendiri
Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu,
Nagarakertagama merupakan puisi
Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan
Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam
Daftar Ingatan Dunia (
Memory of the World Programme) oleh
UNESCO.
[8] Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.
[9] Selain itu, terdapat beberapa
prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari
Tiongkok dan negara-negara lain.
[9]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan.
Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis
dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah
tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural
dalam hal dapat mengetahui masa depan.
[10]
Namun, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar
sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan
sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan
yang tampak cukup pasti.
[5]
Tahun 2010 sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki
membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit Majapahit yang akan
berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang
kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan China (Mongol)
dalam perang di Samudera Pasifik.
[11] Menurut Guru Besar Arkeologi
Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi
Sumatera dan
Singapura bahkan
Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.
[12] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal dari
Filipina
dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini
mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai
Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.
[13]
Sejarah
Berdirinya Majapahit
Sebelum berdirinya Majapahit,
Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian
Kubilai Khan, penguasa
Dinasti Yuan di
Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama
Meng Chi[14] ke Singhasari yang menuntut
upeti.
Kertanagara,
penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti
dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong
telinganya.
[14][15] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun
1293.
Ketika itu,
Jayakatwang, adipati
Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran
Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada
Raden Wijaya, menantu
Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke
Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.
[16] Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati.
[16] Raden Wijaya kemudian diberi hutan
Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai
Majapahit, yang namanya diambil dari buah
maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan
Mongol
tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya
berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik
pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di
negeri asing.
[17][18] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin
muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan
Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal
15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal
10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi
Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk
Ranggalawe,
Sora, dan
Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil.
Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya
Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati.
Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton.
[19] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih
Halayudha
lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya
raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun
setelah kematian pemberontak terakhir (
Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.
[18] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah
Jayanegara.
Pararaton menyebutnya
Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta
Italia,
Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di
Jawa.
Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya
yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi
Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi
bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya
Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk
Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan
Sumpah Palapa
yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan
membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan
Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan
Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada
tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya,
Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit,
Jawa Timur, pada abad ke-13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas
kepulauan Nusantara, hingga surut dan runtuh pada awal abad ke-16.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun
1350 hingga
1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya,
Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang
mungkin berupa monopoli oleh raja.
[21] Majapahit juga memiliki hubungan dengan
Campa,
Kamboja,
Siam,
Birma bagian selatan, dan
Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.
[2][21]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga
menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena
didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting
Citraresmi (Pitaloka), putri
Kerajaan Sunda sebagai
permaisurinya.
[22]
Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada
1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke
Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk.
Akan tetapi
Gajah Mada
melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di
bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan
tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah
berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan
akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda
dapat dibinasakan secara kejam.
[23] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati",
bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.
[24] Kisah
Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah
Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah
Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam
Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya
keraton
yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra
yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang
pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat
mandala raksasa yang membentang dari
Sumatera ke
Papua, mencakup
Semenanjung Malaya dan
Maluku.
Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah
legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung
oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah
Jawa Timur dan
Bali,
di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran
upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan
tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas
daerah itu dapat mengundang reaksi keras.
[25]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada,
Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di
Palembang.
[2]
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai
pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama
Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan
perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang
muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Jatuhnya Majapahit
Bidadari Majapahit, arca
emas apsara gaya Majapahit menggambarkan zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" Nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Sesudah mencapai puncaknya pada
abad ke-14,
kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam
Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik
perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran
Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya
Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.
[5] Perang saudara yang disebut
Perang Paregreg
diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan
Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara
Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara
ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di
seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut
Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana
Cheng Ho,
seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun
waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan
pantai utara Jawa, seperti di
Semarang,
Demak,
Tuban, dan
Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
[26]
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu
Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua
Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada
1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh
Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat,
Bhre Pamotan
menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan.
Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja
akibat krisis pewarisan takhta.
Girisawardhana,
putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466
dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya
sebagai raja Majapahit.
[9]
Ketika Majapahit didirikan, pedagang
Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di
seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan
perdagangan baru yang berdasarkan
Islam, yaitu
Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.
[27] Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan
Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai
Selat Malaka
dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan
dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per
satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre
Kertabumi, Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di
Daha (bekas ibu kota
Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya
pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan
memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre
Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan.
Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar
Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik
dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan
kerajaan Demak yang didirikan oleh
keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu
tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu
lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan
[28]) hingga tahun 1518.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah
kronogram atau
candrasengkala yang berbunyi
sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400
Saka, atau 1478
Masehi.
Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang
sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya
Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana.
[29] Raden Patah yang saat itu adalah adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh
Sunan Ngudung, tapi mengalami kekalahan bahkan
Sunan Ngudung meninggal di tangan
Raden Kusen
adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali
menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.
Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi
[29] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya dengan
Kesultanan Demak,
karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Sebenarnya perang
ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke
Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak
termuda Raden Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Prabu
Udara meminta bantuan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak
melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit
[30] dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau
Bali.
Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan
hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan
Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518,
kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa
kerajaan Majapahit.
[31]
Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah
(Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah
Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra
raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (
Tome Pires), dan Italia (
Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan
Adipati Unus, penguasa dari
Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
[29]
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi
kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah
keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa
hanya tinggal kerajaan
Blambangan di ujung timur, serta
Kerajaan Sunda yang beribukota di
Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke
Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu
Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan
Bromo dan
Semeru.
Kebudayaan
Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di
Trowulan.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus
dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo
anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak
bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap.
Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati
siapa saja yang memandangnya".
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun,
dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual
keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar
tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari
semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar
upeti atau
pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton
termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur
dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk
langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati
otonomi luas.
[32]
Ibu kota Majapahit di
Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun.
Agama Buddha,
Siwa, dan
Waisnawa (pemuja
Wisnu)
dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan
Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak
menyinggung tentang
Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.
[2]
Walaupun
batu bata telah digunakan dalam
candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya.
[33] Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan
gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah
Candi Tikus dan
Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah
candi bentar, gapura
paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan
pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan]
pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah
ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan.
Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas
dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China
beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan
raja ini selalu berhasil mengalahkannya."
Catatan yang berasal dari sumber
Italia
mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan
Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan
Pendeta
Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan
Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim
Paus
untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat
dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga
mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar
hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia
kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus
mengikuti
Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih
rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh
raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak
cengkeh,
kemukus,
pala,
dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa
sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga
menyebutkan raja
Mongol
beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil
diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah
Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada
masa pemerintahan
Jayanegara.
Ekonomi
Majapahit merupakan negara
agraris dan sekaligus negara
perdagangan.
[21] Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan
Medang
yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun
1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan
moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang
"kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008
sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali
dari halaman belakang seorang penduduk di
Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.
[35]
Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam
catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan
semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil
atau uang receh dalam sistem
mata uang
Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di
pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh
uang emas dan perak yang mahal.
[32]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu
dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang
berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa
tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (
mandala Jawa).
[32]
Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan
spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual
minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara
pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi
populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar
pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan
Wang Ta-Yuan,
pedagang Tiongkok, komoditas
ekspor Jawa pada saat itu ialah
lada,
garam,
kain, dan
burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah
mutiara,
emas,
perak,
sutra,
barang keramik, dan barang dari
besi.
Mata uangnya dibuat dari campuran
perak,
timah putih,
timah hitam, dan
tembaga.
[36] Selain itu, catatan
Odorico da Pordenone, biarawan
Katolik Roma dari
Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun
1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan
permata.
[37]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai
Brantas dan
Bengawan Solo di dataran rendah
Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian
padi.
Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi,
sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan
Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai
pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas
rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.
[32]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta
telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari
India,
Khmer,
Siam, dan
China.
Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap
semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan
internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi
pedagang dari
India dan
Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.
[38]
Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur
pemerintahan dan susunan
birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya.
[39] Raja dianggap sebagai penjelmaan
dewa di dunia dan ia memegang otoritas
politik tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah
pejabat
birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan
kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya
diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
-
- Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
- Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
- Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
- Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi.
Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama
raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu,
terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para
sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari,
[18]
terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian
tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka
Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar
tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat
dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka,
memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan
di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah
di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam
pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
-
- Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
- Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
- Watek: dikelola oleh wiyasa,
- Kuwu: dikelola oleh lurah,
- Wanua: dikelola oleh thani,
- Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
No |
Provinsi |
Gelar |
Penguasa |
Hubungan dengan Raja |
1 |
Kahuripan (atau Janggala, sekarang Sidoarjo) |
Bhre Kahuripan |
Tribhuwanatunggadewi |
ibu suri |
2 |
Daha (bekas ibukota dari Kediri) |
Bhre Daha |
Rajadewi Maharajasa |
bibi sekaligus ibu mertua |
3 |
Tumapel (bekas ibukota dari Singhasari) |
Bhre Tumapel |
Kertawardhana |
ayah |
4 |
Wengker (sekarang Ponorogo) |
Bhre Wengker |
Wijayarajasa |
paman sekaligus ayah mertua |
5 |
Matahun (sekarang Bojonegoro) |
Bhre Matahun |
Rajasawardhana |
suami dari Putri Lasem, sepupu raja |
6 |
Wirabhumi (Blambangan) |
Bhre Wirabhumi |
Bhre Wirabhumi1 |
anak |
7 |
Paguhan |
Bhre Paguhan |
Singhawardhana |
saudara laki-laki ipar |
8 |
Kabalan |
Bhre Kabalan |
Kusumawardhani2 |
anak perempuan |
9 |
Pawanuan |
Bhre Pawanuan |
Surawardhani |
keponakan perempuan |
10 |
Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah) |
Bhre Lasem |
Rajasaduhita Indudewi |
sepupu |
11 |
Pajang (sekarang Surakarta) |
Bhre Pajang |
Rajasaduhita Iswari |
saudara perempuan |
12 |
Mataram (sekarang Yogyakarta) |
Bhre Mataram |
Wikramawardhana2 |
keponakan laki - laki |
Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran
Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut
sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani,
keponakan perempuan raja.
2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.
|
Sedangkan dalam
Prasasti Wingun Pitu (
1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar
Bhre.
[40] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Saat Majapahit memasuki era
kemaharajaan Thalasokrasi
saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri
juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya,
konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
- Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area
awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum
memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota
kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan
pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan
semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
- Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung.
Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib
membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya
memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk
persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan
Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan
mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak,
namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah
Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
- Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan
kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus
membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan
kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan
birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa
pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan
menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan
koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan
Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang
didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:
- Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra
dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara
independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan
sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh
15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[41] Mitreka Satata
dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar
negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini
meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua
bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "
mandala",
yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti
kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa
unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.
[42]
Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit,
yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli
penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi
Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa
terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit.
Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan
sebelumnya, seperti
Sriwijaya dan
Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman;
Ayutthaya dan
Champa.
Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa
Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.
[43]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh
Sri Ranggah Rajasa, pendiri
Wangsa Rajasa
pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit.
Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan
Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan
Majapahit menjadi dua kelompok
[9].
Warisan sejarah
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik
Kesultanan-kesultanan Islam
Demak,
Pajang, dan
Mataram
berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan
ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui
Kertabhumi; pendirinya,
Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang
Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas
Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh
Sultan Agung
sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota
Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah
yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan
Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa
merupakan
bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat
melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar
dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus
sejati kebudayaan Majapahit.
[33]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat
Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping
Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan
acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.
[21] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an,
Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.
[44] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan
Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.
[45] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia
"Sang Merah Putih"
atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji
Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang
TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "
Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari
"Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh
Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang
arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (
pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab
Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan
keraton di Jawa serta
Pura dan kompleks perumahan masyarakat di
Bali masa kini. Meskipun
bata
merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang
menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah
candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada
Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan gapura
paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan
pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks
Keraton Kasepuhan di
Cirebon,
Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di
Bali.
Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang
dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan
warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak
beberapa kompleks
keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan
pura di Bali.
Persenjataan
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan
keris
berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami
penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris
pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya,
bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah
keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan
aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan
tombak
dan meriam kapal sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini salah satu
koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di The Metropolitan Museum of
Art, New York, Amerika.
Kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada
masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman
masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia.
Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa
tersebut.
Puisi lama
- Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi,
namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah
tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang
Majapahit dari agama sinkretis "Buda" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.
Komik dan strip komik
Roman/novel sejarah
- Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.
- Pelangi Di langit Singasari (1968 - 1974), roman sejarah dengan setting zaman kerajaan Kediri dan Singasari, karya S. H. Mintardja.
- Bara Di Atas Singgasana, roman sejarah dengan setting zaman kerajaan singasari dan Majapahit, karya S. H. Mintardja
- Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting masa kejayaan Majapahit, karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
- Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang
menceritakan akhir masa Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada
intrik seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
- Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.
- Arus Balik (1995), sebuah epos pasca kejayaaan Nusantara pada awal abad 16, karya Pramoedya Ananta Toer.
- Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan Aksan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristiwa Bubat.
- Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.
- Jung Jawa (2009), sebuah antologi cerita pendek berlatar Nusantara, karya Rendra Fatrisna Kurniawan, diterbitkan Babel Publishing dengan ISBN 978-979-25-3953-0.
Film/sinetron
Referensi
- ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353—359.
- ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 19
- ^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: W. van Hoeve, 1968), hal. 21.
- ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. pp. pp.29. ISBN 0-300-10518-5.
- ^ a b c Ricklefs (1991), page 18
- ^ Terjemahan Lengkap Naskah Kakawin Nagarakretagama, dari blog World History Note, historynote.wordpress.com
- ^ Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography". The Journal of Asian Studies 24 (1): 91–99.
- ^ Nagarakretagama Diakui sebagai Memori Dunia, kompas.com
- ^ a b c d M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh S. Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 55. Kesalahan pengutipan: Invalid
tag; name "Ricklefs_55" defined multiple times with different content
- ^ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha
(Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen,
Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche
Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993, pages 18 and 311
- ^ http://www.tempo.co/read/news/2010/07/01/061260022/Indonesia-Jepang-Buat-Kapal-Majapahit/ Tempo/
- ^ http://sains.kompas.com/read/2012/12/05/19045066/Majapahit-Jajah-hingga-Semenanjung-Malaya. Kompas/
- ^ http://www.kali-majapahit.com/
- ^ a b Setiono, Benny. "Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis Tionghoa Di Indonesia (bagian 1)". Diakses tanggal 16 Juni.
- ^ David Bor - Khubilai khan and Beautiful princesses of Tumapel 2006
- ^ a b Mulyana 2006, hlm. 122
- ^ Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara, 1960.
- ^ a b c Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (LKIS, 2005)
- ^ Komandoko 2009, hlm. 16
- ^ Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
- ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 56
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. p. 279. ISBN 9814155675.
- ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. p. 72.
- ^ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit'. Jakarta: PT Gita Karya. p. 13.
- ^ Millet, Didier (August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. p. 106. ISBN 981-3018-26-7.
- ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 63. ISBN 9798451163.ISBN 9789798451164
- ^ Ricklefs (2005), hal. 57.
- ^ Ricklefs, 37 and 100
- ^ a b c Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.
- ^ Ricklefs, 36-37
- ^ Robert W. Hefner (1983). "Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic Java". American Ethnologist 10 (1983): 665––683. doi:10.1525/ae.1983.10.4.02a00030. Diakses tanggal 2008-10-23.
- ^ a b c d Millet, Didier (August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. p. 107. ISBN 981-3018-26-7. Kesalahan pengutipan: Invalid
tag; name "Millet_107" defined multiple times with different content
- ^ a b Schoppert, P., Damais, S. (1997). Di dalam Didier Millet (editor):, ed. Java Style. Paris: Periplus Editions. pp. 33–34. ISBN 962-593-232-1.
- ^ "Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java, page:100". Persee. 1996. Diakses tanggal 2010-07-14.
- ^ "Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit". November 2008.
- ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.
- ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 431-432.
- ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 220.
- ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 451-456.
- ^ Nastiti, Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam situs www.Majapahit-Kingdom.com dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Jumat, 22 Juni 2007.
- ^ MAJAPAHIT : KERAJAAN AGRARIS - MARITIM DI NUSANTARA page 8
- ^ Dellios, Rosita (2003-1-1). "Mandala: from sacred origins to sovereign affairs in traditional Southeast Asia" (dalam inggris). Bond University Australia. Diakses tanggal 2011-12-11.
- ^ Bullough, Nigel (1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. pp. 116–117.
- ^ Ricklefs, hal. 363
- ^ Friend, Theodore. Indonesian Destinies. Cambridge, Massachusetts and London: Belknap Press, Harvard University Press. pp. p.19. ISBN 0-674-01137-6.
Bibliografi
Lihat pula
Pranala luar