Minggu, 01 Mei 2016

Sejarah Kiai Haji Abdul Lathif Cibeber


Kiai Haji Abdul Latif adalah sosok ulama Cilegon yang harismatik dan sangat disegani oleh beberapa  kalangan, mulai dari kalangan pesantren, ulama, dan pejabat, sampai lapisan masyarakat terbawah sangat menghargai beliau. Kepribadian beliau yang rendah hati penuh dengan sifat tawaddu dan tidak banyak bicara menambah tinggi simpati masyarakat terhadap beliau.

Kiai Haji Abdul Latif yang lahir pada tahun 1878 M atau bertepatan tahun 1299 H ini. berasal dari keturunan ulama besar, ayahanda beliau Kiai Haji Muhammad Ali adalah ulama yang juga pejuang, kakek beliau Kiai Haji Said juga adalah ulama terpandang dan terkenal karena karomahnya, dan juga beliau keturunan ke-10 dari Nakhoda Bergos yang makamnya terletak di kampung Panakodan, Kelurahan Bulakan, kecamatan Cibeber. Juga keturunan ke-11 dari Syeh Mansyur Cikaduen, Pandeglang.

Sewaktu kecil beliau tinggal di rumah orang tua beliau di kampung Pakisaji Kelurahan Bulakan, Kecamatan Cibeber. Dalam usia kanak-kanak tersebut dalam diri beliau telah tertanam jiwa Kiai Haji Muhammad Ali, jiwa seorang pejuang kemerdekaan. Dikisahkan bahwa Kiai Haji Muhammad Ali adalah salah seorang pejuang kemerdekaan pada perang Geger Cilegon. dalam peperangan melawan kompeni Belanda tersebut  Kiai Haji Muhammad Ali  tertangkap oleh kompeni Balanda dan diasingkan ke Dagul dan selanjutnya dibuang ke Ambon tepatnya di Bontaen dan wafat di sana pada tahun 1898 dan dimakamkan di Ambon di Puncak Ali.

Setelah menginjak usia remaja Kiai Haji Abdul Latif pindah mengikuti ibunda beliau ke kampung Cibeber. Pada waktu itu ibunda beliau, Hajjah Usmah telah diperistri oleh Kiai Haji Hasanudin.

Awalnya Hajjah Usmah yang telah mengetahui suaminya Kiai Haji Muhammad Ali tertangkap oleh pihak kompeni Belanda menunggu kepastian tentang keberadaan Kiai Haji Muhammad Ali. Namun sepanjang waktu berjalan tak jua kunjung datang kabar berita sedikitpun tentang keberadaan Kiai Haji Muhammad Ali. Dalam penantian yang tak pasti ini, Hajjah Usmah dipinang oleh Kiai Haji Hasanudin. Karena Hajjah Usmah tak juga menerima kabar berita tentang keberadaan Kiai Haji Muhammad Ali, dan perlunya Kiai Haji Abdul Latif kecil mendapatkan bimbingan dan pengetahuan untuk melanjutkan cita-cita Kiai Haji Muhammad Ali. Maka, barulah Hajjah Usmah menerima pinangan dari Kiai Haji Hasanudin dan akhirnya Hajjah Usmah dan Kiai Haji Abdul Latif pun dibawa pindah oleh Kiai Haji Hasanuddin ke Cibeber.

Di Cibeber, Kiai Haji Abdul Latif lebih banyak menuntut ilmu ke ulama-ulama besar di lingkungan Cibeber. Sebelumnya beliau telah mendapat didikan dan bimbingan dari ayahanda beliau Kiai Haji Muhammad Ali dan juga dari ayah tiri beliau Kiai Haji Hasanudin. Beliau banyak menuntut ilmu ke ulama-ulama Cibeber diantaranya Kiai Haji As’ad (atau disebut Ki Buntung seorang ulama besar yang telah membangun menara Masjid Agung Cibeber), Kiai Haji Asnawi, Kiai Haji Suhari Taif, dan juga beliau mendapat didikan dari Kiai Haji Abdul Halim.

Kiai Haji Abdul Halim adalah rekan seperjuangan kiai Haji Muhammad Ali sewaktu berjuang melawan kompeni Belanda dalam Geger Cilegon. diantara rekan-rekan seperjuangan Haji Muhammad Ali dan Haji Abdul Halim yang juga ikut serta dalam Geger Cilegon adalah ; Haji Qosid (yang terkenal dengan julukan Ki Wasid) bin Haji Wahiya, Haji Buraq, Haji Tubagus Ismail bin Haji Muhiyi bin Haji Abdul Latif bin Eyang Urip (Gulacir), Haji Said (Jaha), Haji Sapiudin (Leuwibeureum), Haji Madani (Ciora), Haji Akhia  (Jombang Wetan), Haji Mahmud (Terate Udik), Haji Iskak (Saneja), Haji Muhammad Arsad (Penghulu Kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (Penghulu Cilegon). Ulama-ulama tersebut ikut serta melawan kompeni Belanda yang sudah membuat gerah kalangan ulama, santri, dan masyarakat. Permasalahan yang pertama timbul dari kejadian Geger Cilegon yang berakhir dengan terpisahnya Haji Abdul Latif kecil dengan ayahandanya Haji Muhammad Ali adalah dikarenakan tindak-laku kompeni Belanda yang sudah semena-mena dan menghina Islam. Diantara keseme-menaan pihak kompeni Belanda yang membuat emosi ulama dan santri memuncak yaitu tindakan yang dilakukan oleh Goebel, seorang Asisten Residen kompeni Belanda yang menghancurkan menara langgar Jombang Wetan. Goebel menganggap menara tersebut mengganggu ketenangan masyarakat, karena kerasnya suara adzan yang dikumandangkan dari menara. Selain itu Goebel juga melarang Shalawat, Tarhim, dan Adzan dilakukan dengan suara keras.

Kelakuan kompeni inilah yang pada akhirnya terjadi pemberontakan dan tragedi berdarah yang terkenal dengan sebutan Geger Cilegon. Geger Cilegon terjadi pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan umum dengan memekikkan Takbir oleh para ulama dan santri-santrinya dan menyerbu ke beberapa tempat yang ada di Cilegon. Pada peristiwa tersebut Henri Francois Dumas juru tulis Kantor Asisten Residen dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail. Demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan Hendrik Hubert Gubbels, Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka terbunuh dalam serangan ulama dan santri. Setelah kematian beberapa petinggi kompeni Belanda yang berada di wilayah Cilegon, akhirnya Cilegon dapat dikuasai oleh para pejuang “Geger Cilegon”.

Mendengar pemberontakan yang terjadi di Cilegon yang dilakukan oleh ulama, santri. Maka, 40 orang serdadu kompeni yang dipimpin oleh Bartlemy dikirim ke Cilegon dan menyerbu pos-pos ulama dan santri. Terjadilah pertempuran hebat antara para pejuang dengan serdadu kompeni. hingga akhirnya pemberontakan tersebut dapat dipatahkan oleh kompeni Belanda. Haji Muhammad Ali ditangkap dan dibuang ke Ambon, sementara pimpinan perang Geger Cilegon Kiai Haji Wasid dihukum gantung. Dan rekan-rekan seperjuangan Kiai Haji Muhammad Ali diantaranya adalah Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda. Haji Haris ke Bukittinggi Haji Arsyad Thawil ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke flores, selainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, dan lain-lain. (Semua pemimpin yang dibuang berjumlah 94 orang).

Kiai Haji Abdul Latif pada waktu terjadi peperangan tersebut masih kanak-kanak berusia sekitar 10 tahun. Namun sudah mengerti apa yang terjadi dan yang dilakukan oleh ayahanda beliau yakni membela agama dan hak asasi manusia atas kemerdekaan dari penjajahan dan kesewenang-wenangan bangsa Eropa. 

Kiai Haji Abdul Latif semasa dalam pertumbuhannya menjadi seorang remaja beliau tidak hanya menuntut ilmu di ulama-ulama Cibeber, namun beliaupun banyak menuntut ilmu ke beberapa ulama di wilayah Banten dan Madura; diantaranya Kiai Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin - Banten atau yang terkenal dengan sebutan Ki Asnawi Caringin murid Syeikh Nawawi Al-Bantani, Kiai Abdul Karim Tanara, Kiai Abdul Kholil Bangkalan Madura, dan banyak lagi ulama-ulama yang telah memberikan pengetahuan keilmuan agama kepada Kiai Haji Abdul Latif.

Semasa muda beliau sempat bermukim di Makkah, Saudi Arabia. untuk beberapa tahun dan mempelajari ilmu-ilmu agama ke ulama-ulama di kawasan Timur Tengah. Setelah sekian lama bermukim dan menuntut ilmu di negeri tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kiai Haji Abdul Latif-pun akhirnya kembali ke Tanah Air. Ini dilakukan karena saran dari guru-guru beliau dan perhatian beliau terhadap pendidikan agama di Tanah Air, khususnya Cilegon. karena melihat masyarakat Cilegon yang membutuhkan pemahaman agama Islam. Maka, menjadi dorongan dan niatan paling kuat untuk Kiai Haji Abdul Latif pulang ke Tanah Air.

Pada saat beliau sudah mapan beliaupun menikah dengan Hajjah Solhah binti Haji Sapta. Hajjah Solhah ini terkenal dengan kesabaran dan ketabahannya. Dari pernikahan pertama ini beliau dikaruniai dua orang putra dua orang putri, yakni ; Kiai Haji Abdul Muhaimin, Hajjah Aisyah, Hajjah Marhumah, dan Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh. Dan selanjutnya Kiai Haji Abdul Latif memperistri Hajjah Rohmah sewaktu berada di Makkah. Hajjah Rohmah adalah putri sulung Haji Anhar Cibeber. Dari pernikahan Kiai Haji Abdul Latif dengan Hajjah Rohmah ini di karuniai pula dua orang putra dua orang putri, yaitu;  Hajjah Maajah, Hajjah Madihah, Kiai Haji Ahmad Najiullah dan terkahir Haji Ridwan. Yang terakhir ini bermukim dan wafat di Makkah. Saudi Arabia.

Kiai Haji Abdul Latif dikaruniai keturunan yang baik dan memiliki derajat yang tinggi dikalangan masyarakat sekitar, seperti Kiai Haji Abdul Muhaimin beliau ini kenal dengan ilmu-ilmu fiqihnya dan ilmu falaknya yang beliau peroleh dari Makkah, Saudi Arabia. sewaktu beliau bermukim menuntut ilmu di Makkah. Murid-murid Kiai Haji Muhaimin sangat banyak dan tersebar dibeberapa daerah. Diantaranya adalah Kiai Haji Suhaimi Palas, Cilegon.

Putra Kiai Haji Abdul Latif yang lain yaitu Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh. yang terkenal dengan kegigihannya melawan maksiat. Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh yang terkenal dengan sebutan “Ki Ahmad” dikalangan jawara, ulama, dan santri. Selalu melawan kemaksiatan dengan keras dan tanpa ampun, hingga orang-orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala. Perjudian, panggung hiburan adalah hal yang paling dibenci beliau. Apabila beliau mendapatkan pengaduan dari masyarakat atau santrinya mengenai adanya kemaksiatan disekitar lingkungan mereka. Maka, beliau langsung turun sendiri menghadapi kemaksiatan tersebut. Beliau inilah satu-satunya putra Kiai Haji Abdul Latif yang mendapatkan ijazah tarekat dari Kiai Haji Abdul Latif. Guru-guru beliau selain ayahanda beliau sendiri juga Kiai Haji Ali Ahmad Tiga Maya, Kramat Watu. dan untuk Al-Qur’annya beliau mengaji Al-Qur’an ke Ki Undul Ciwedus, Cilegon. Dan masih banyak  guru-guru putra Kiai Haji Abdul Latif ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Putra Kiai Haji Abdul Latif yang lain, yakni Kiai Haji Ahmad Najiullah. beliau dikenal dengan ketegasannya dan salah satu  putra Kiai Haji Abdul Latif yang dipercaya memimpin Madrasah Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber yang sekarang berubah nama menjadi Yayasan Perguruan Islam Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber.

Diantara putra-putra Kiai Haji Abdul Latif yang memiliki kewibawaan dan harismatik di masyarakat, terdapat pula turunan Kiai Haji Abdul Latif yang lain yaitu cucu-cucu beliau diantaranya ; Kiai Haji Syafiq bin Kiai Haji Abdul Muhaimin, Kiai Haji Fuad bin Hajjah Maajah, dan Kiai Haji Abdul Wahid bin Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh yang masing-masing memiliki ciri khas dan keistimewaan, namun tetap memegang teguh pelajaran dari kakek beliau yang berhaluan Ahlussunah Waljama’ah.

Dalam syiar Islamnya, kiprah ulama karismatik ini tidak terbatas hanya pada kaum Adam. Namun juga, beliau mengajarkan pendidikan agama kepada kaum Hawa. Dalam syiarnya ini beliaulah yang mengawali pengajian-pengajian kaum hawa di majlis taklim dan mushola-mushola.

Awalnya banyak ulama-ulama menentang sikap Kiai Haji Abdul Latif yang mengadakan pengajian kepada kaum hawa. Pengajian untuk kaum hawa menjadi suatu hal yang tabu dan sangat tidak pantas dalam sikap dan pandangan ulama pada masa itu, terlebih dalam pandangan umum. Kaum hawa hanya layak di rumah dan melayani suami dan anak mereka. Namun setelah mendapat penjelasan yang mengedepankan pemikiran Kiai Haji Abdul Latif yang beranggapan apabila kaum hawa tidak mendapatkan pendidikan agama dan keagamaan yang sepatutnya. Maka kaum hawa akan tertindas dan terbelenggu. Dan  para ulama-ulama yang akan menanggung dosanya apabila suatu hal yang tidak diharapkan terjadi kepada kaum hawa. Dengan pandangan demikian, akhirnya ulama-ulama dan masyarakatpun menerima apa yang dicetuskan oleh Kiai Haji Abdul Latif tersebut.

Beliau memberikan pengajian di beberapa majlis taklim diantaranya di Kaujon, Sumur Pecung sekarang dilanjutkan oleh cucu beliau Ust. Mumu Abdul Muiz bin Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh, Kalitimbang dan Bulakan dilanjutkan juga oleh cucu beliau Haji Abdul Rosyid bin Kiai Haji Ahmad Najiullah, dan beberapa majlis taklim lainnya yakni di Parung, Kalodran, Wanasaba, Toyomerto, Kasuban, Jombang Wetan, Karang Asem, Bendungan, Gedong Dalem, dan Pulo Merak (grogol).

Pada usia Kiai Haji Abdul Latif menginjak 46 tahun atau sekitar tahun 1924 sebagaimana telah dikisahkan di awal tadi, beliau mendirikan madrasah dan menamainya Tarbiyatul Athfal. Mulanya hanya untuk kalangan terbatas yakni untuk para santri warga masyarakat Cibeber. Setelah sekian waktu lamanya berjalan para santri pun makin bertambah, yang datang bukan hanya dari wilayah Banten, namun dari berbagai daerah di Nusantara pun datang dan melanjutkan pendidikan di madrasah ini.  Karena dorongan beberapa kalangan masyarakat Cibeber khususnya yang melihat perkembangan madrasah yang semakin pesat. Maka, secara  solidaritas masyarakat mengumpulkan dana untuk membangun beberapa ruang kelas madrasah. Awalnya hanya 6 ruang selanjutnya ditambah 4 ruang kelas pada tahun 1931 dan dewasa-dewasa ini ditambah lagi sebanyak 6 ruang pada tahun 1977 dan 2  ruang  kelas   pada  tahun  1999  dan  nama  madrasahpun  diubah  menjadi  Al-Jauharotunnaqiyyah. Hingga saat ini masih eksis dan telah memiliki cabang seratus lebih yang terdapat dibeberapa daerah di Nusantara.

Di samping mendirikan madrasah, beliaupun mendirikan pesantren yang beliau namai Bany Lathif. Pesantren ini dipimpin oleh beliau dan dibantu oleh putra-putri beliau dan santri-santri senior yang bermukim di pesantren, Salah satu santri kepercayaan beliau  yang telah dianggap anak dan dijadikan menantu beliau adalah Ustadz Badril Munir. Santri beliau ini sangat disegani dan dihargai oleh beberapa kalangan karena sikapnya yang tawaddu dan lemah lembut. namun memiliki kemampuan pendidikan agama yang cukup luas.

Pada sekitar tahun 1953 sampai tahun 1960 banyak santri-santri beliau yang datang dari luar daerah, seperti dari Lampung, Cirebon, Jakarta, dan beberapa daerah lainnya. Sehingga mengharuskan Kiai Haji Abdul Latif menambah lokal pesantren. Lokal pesantrenpun akhirnya mulai ditambah dan diperluas mulai Blok A, B, C, D, dan Blok F yang berada tepat di belakang rumah Kiai Haji Abdul Muhaimin.

Pesantren Bany Lathif ini pernah mencapai puncaknya hingga mencapai 1000an santri. Hal ini terjadi karena ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan karena keihlasan Kiai Haji Abdul Latif yang menerima santrinya tanpa biaya sepeserpun semata untuk mensiarkan agama Islam ke peloksok negeri yang dilakukan dengan pendidikan pesantren di bawah asuhan beliau.

Kiai Haji Abdul Latif adalah Kiai modern di zamannya, beliau sempat berkecimpung dalam organisasi Nahdlotul Ulama dan beliau sendiri diangkat menjadi Rois Syuriah NU cabang Serang. Dan selama menjabat Rois Syuriah NU beliau sempat empat kali mengikuti kongres NU yang diadakan di beberapa daerah yakni di Jakarta tahun 1929 M, di Menes Pandeglang tahun 1931 dan di Surabaya dan Bandung.

Di samping itu, sebagai salah satu contoh bahwa beliau termasuk ulama modern. Dalam bimbingannya, beliau telah memiliki mesin cetak yang pada waktu itu sangat langka, sulit dipergunakan, dan jarang ulama memiliki mesin cetak yang terbilang mahal dan sangat modern.

Dalam tradisi modern Kiai Haji Abdul Latif sebagaimana pendapat dari beberapa kalangan. dilanjutkan oleh putra beliau Kiai Haji Abdul Muhaimin. Kiai Haji Abdul Muhaimin dalam tradisi yang dilakukan di pesantren, seluruh santri diajarkan lari pagi mengelilingi masjid sebelum sholat shubuh. Hal ini bertujuan agar para santri selalu sehat jasmaninya selama mendapat pendidikan di pesantren. Masih banyak hal dan metodelogi pendidikan pesantren Bany Lathif yang diusahakan oleh Kiai Haji Abdul Latif yang dewasa ini mulai diperkenalkan di dunia pendidikan.

Terdapat karisma yang selalu terngiang sampai saat ini, karisma yang terucap dari mulut ke mulut tentang karomah Kiai Haji Abdul Latif,  yakni apabila malam pergi mengaji ke Madura dan pagi harinyanya sudah ada di Caringin Anyer (Wallahu A’lam).

Demikianlah sekelumit kisah Kiai Haji Abdul Latif yang hidupnya dipergunakan untuk mensyiarkan agama Islam dan mencerdaskan bangsa.Kiai Haji Abdul Latif tidak meninggalkan sesuatu apapun untuk keluarga dan santri beliau,  Kiai   Haji  Abdul   Latif  hanya   meninggalkan    sejarah    yang   sangat berharga, bukan untuk dikenang, namun untuk menjadi contoh tauladan bagi kita. Amin

Beliau wafat dalam usia 82 tahun. Tepatnya hari Rabu tanggal 24 Syawal 1379  bertepatan tanggal 22 April 1960. Pada pukul 00.05 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan dimakamkan hari Rabu tanggal 22 April 1960 pukul 13.00 WIB di Cibeber tepatnya di Cipucang berdampingan dengan istri dan putra-putri beliau.


DAFTAR PUSTAKA

 1.        KH. Abdul Lathif,

Risalah Bany Lathif, Perjalanan Kanjeng Maulana Hasanuddin Waktu Mulai Masuk Negeri Banten, 1357 H.

2.        Prof. Dr. KH. Tb. M. Junus Ghozali,      

Dalam Lintas Sejarah KH. Abdul Latif bin KH. Ali, YPI Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar