Kiai Haji Abdul Latif adalah sosok ulama Cilegon yang harismatik dan sangat disegani oleh
beberapa kalangan, mulai dari kalangan pesantren, ulama, dan pejabat,
sampai lapisan masyarakat terbawah sangat menghargai beliau. Kepribadian beliau
yang rendah hati penuh dengan sifat tawaddu dan tidak banyak bicara menambah
tinggi simpati masyarakat terhadap beliau.
Kiai Haji Abdul Latif yang lahir pada
tahun 1878 M atau bertepatan tahun 1299 H ini. berasal dari keturunan ulama
besar, ayahanda beliau Kiai Haji Muhammad Ali adalah ulama yang juga pejuang,
kakek beliau Kiai Haji Said juga adalah ulama terpandang dan terkenal karena
karomahnya, dan juga beliau keturunan ke-10 dari Nakhoda Bergos yang makamnya
terletak di kampung Panakodan, Kelurahan Bulakan, kecamatan Cibeber. Juga
keturunan ke-11 dari Syeh Mansyur Cikaduen, Pandeglang.
Sewaktu kecil beliau tinggal di rumah
orang tua beliau di kampung Pakisaji Kelurahan Bulakan, Kecamatan Cibeber.
Dalam usia kanak-kanak tersebut dalam diri beliau telah tertanam jiwa Kiai Haji
Muhammad Ali, jiwa seorang pejuang kemerdekaan. Dikisahkan bahwa Kiai Haji
Muhammad Ali adalah salah seorang pejuang kemerdekaan pada perang Geger
Cilegon. dalam peperangan melawan kompeni Belanda tersebut Kiai Haji
Muhammad Ali tertangkap oleh kompeni Balanda dan diasingkan ke Dagul dan
selanjutnya dibuang ke Ambon tepatnya di Bontaen dan wafat di sana pada tahun
1898 dan dimakamkan di Ambon di Puncak Ali.
Setelah menginjak usia remaja Kiai Haji
Abdul Latif pindah mengikuti ibunda beliau ke kampung Cibeber. Pada waktu itu
ibunda beliau, Hajjah Usmah telah diperistri oleh Kiai Haji Hasanudin.
Awalnya Hajjah Usmah yang telah
mengetahui suaminya Kiai Haji Muhammad Ali tertangkap oleh pihak kompeni
Belanda menunggu kepastian tentang keberadaan Kiai Haji Muhammad Ali. Namun
sepanjang waktu berjalan tak jua kunjung datang kabar berita sedikitpun tentang
keberadaan Kiai Haji Muhammad Ali. Dalam penantian yang tak pasti ini, Hajjah
Usmah dipinang oleh Kiai Haji Hasanudin. Karena Hajjah Usmah tak juga menerima
kabar berita tentang keberadaan Kiai Haji Muhammad Ali, dan perlunya Kiai Haji
Abdul Latif kecil mendapatkan bimbingan dan pengetahuan untuk melanjutkan
cita-cita Kiai Haji Muhammad Ali. Maka, barulah Hajjah Usmah menerima pinangan
dari Kiai Haji Hasanudin dan akhirnya Hajjah Usmah dan Kiai Haji Abdul Latif
pun dibawa pindah oleh Kiai Haji Hasanuddin ke Cibeber.
Di Cibeber, Kiai Haji Abdul Latif lebih
banyak menuntut ilmu ke ulama-ulama besar di lingkungan Cibeber. Sebelumnya
beliau telah mendapat didikan dan bimbingan dari ayahanda beliau Kiai Haji
Muhammad Ali dan juga dari ayah tiri beliau Kiai Haji Hasanudin. Beliau banyak
menuntut ilmu ke ulama-ulama Cibeber diantaranya Kiai Haji As’ad (atau disebut
Ki Buntung seorang ulama besar yang telah membangun menara Masjid Agung
Cibeber), Kiai Haji Asnawi, Kiai Haji Suhari Taif, dan juga beliau mendapat
didikan dari Kiai Haji Abdul Halim.
Kiai Haji Abdul Halim adalah rekan
seperjuangan kiai Haji Muhammad Ali sewaktu berjuang melawan kompeni Belanda
dalam Geger Cilegon. diantara rekan-rekan seperjuangan Haji Muhammad Ali dan
Haji Abdul Halim yang juga ikut serta dalam Geger Cilegon adalah ; Haji Qosid
(yang terkenal dengan julukan Ki Wasid) bin Haji Wahiya, Haji Buraq, Haji
Tubagus Ismail bin
Haji Muhiyi bin Haji Abdul Latif bin Eyang Urip (Gulacir), Haji Said (Jaha),
Haji Sapiudin (Leuwibeureum), Haji Madani (Ciora), Haji Akhia (Jombang
Wetan), Haji Mahmud (Terate Udik), Haji Iskak (Saneja), Haji Muhammad Arsad
(Penghulu Kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (Penghulu Cilegon).
Ulama-ulama tersebut ikut serta melawan kompeni Belanda yang sudah membuat
gerah kalangan ulama, santri, dan masyarakat. Permasalahan yang pertama timbul
dari kejadian Geger Cilegon yang berakhir dengan terpisahnya Haji Abdul Latif
kecil dengan ayahandanya Haji Muhammad Ali adalah dikarenakan tindak-laku
kompeni Belanda yang sudah semena-mena dan menghina Islam. Diantara
keseme-menaan pihak kompeni Belanda yang membuat emosi ulama dan santri
memuncak yaitu tindakan yang dilakukan oleh Goebel, seorang Asisten Residen
kompeni Belanda yang menghancurkan menara langgar Jombang Wetan. Goebel menganggap
menara tersebut mengganggu ketenangan masyarakat, karena kerasnya suara adzan
yang dikumandangkan dari menara. Selain itu Goebel juga melarang
Shalawat, Tarhim, dan Adzan dilakukan dengan suara keras.
Kelakuan
kompeni inilah yang pada akhirnya terjadi pemberontakan dan tragedi berdarah
yang terkenal dengan sebutan Geger Cilegon. Geger Cilegon terjadi pada hari
Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan umum dengan memekikkan Takbir oleh
para ulama dan santri-santrinya dan menyerbu ke beberapa tempat yang ada di Cilegon. Pada peristiwa
tersebut Henri Francois Dumas juru tulis Kantor Asisten Residen dibunuh oleh
Haji Tubagus Ismail. Demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan Hendrik
Hubert Gubbels, Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka terbunuh dalam serangan
ulama dan santri. Setelah kematian beberapa petinggi kompeni Belanda yang
berada di wilayah Cilegon, akhirnya Cilegon dapat dikuasai oleh para pejuang
“Geger Cilegon”.
Mendengar
pemberontakan yang terjadi di Cilegon yang dilakukan oleh ulama, santri. Maka,
40 orang serdadu kompeni yang dipimpin oleh Bartlemy dikirim ke Cilegon dan
menyerbu pos-pos ulama dan santri. Terjadilah pertempuran hebat antara para
pejuang dengan serdadu kompeni. hingga akhirnya pemberontakan tersebut dapat
dipatahkan oleh kompeni Belanda. Haji Muhammad Ali ditangkap dan dibuang ke
Ambon, sementara pimpinan perang Geger Cilegon Kiai Haji Wasid dihukum gantung.
Dan rekan-rekan seperjuangan Kiai Haji Muhammad Ali diantaranya adalah Haji
Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda. Haji Haris ke Bukittinggi Haji
Arsyad Thawil ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke flores,
selainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, dan lain-lain. (Semua
pemimpin yang dibuang berjumlah 94 orang).
Kiai
Haji Abdul Latif pada waktu terjadi peperangan tersebut masih kanak-kanak
berusia sekitar 10 tahun. Namun sudah mengerti apa yang terjadi dan yang
dilakukan oleh ayahanda beliau yakni membela agama dan hak asasi manusia atas
kemerdekaan dari penjajahan dan kesewenang-wenangan bangsa Eropa.
Kiai
Haji Abdul Latif semasa dalam pertumbuhannya menjadi seorang remaja beliau
tidak hanya menuntut ilmu di ulama-ulama Cibeber, namun beliaupun banyak
menuntut ilmu ke beberapa ulama di wilayah Banten dan Madura; diantaranya Kiai
Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin - Banten atau yang terkenal dengan
sebutan Ki Asnawi Caringin murid Syeikh Nawawi Al-Bantani, Kiai Abdul Karim
Tanara, Kiai Abdul Kholil Bangkalan Madura, dan banyak lagi ulama-ulama yang
telah memberikan pengetahuan keilmuan agama kepada Kiai Haji Abdul Latif.
Semasa muda beliau sempat bermukim di
Makkah, Saudi Arabia. untuk beberapa tahun dan mempelajari ilmu-ilmu agama ke
ulama-ulama di kawasan Timur Tengah. Setelah sekian lama bermukim dan menuntut
ilmu di negeri tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kiai Haji Abdul Latif-pun
akhirnya kembali ke Tanah Air. Ini dilakukan karena saran dari guru-guru beliau
dan perhatian beliau terhadap pendidikan agama di Tanah Air, khususnya Cilegon.
karena melihat masyarakat Cilegon yang membutuhkan pemahaman agama Islam. Maka,
menjadi dorongan dan niatan paling kuat untuk Kiai Haji Abdul Latif pulang ke
Tanah Air.
Pada saat beliau sudah mapan beliaupun
menikah dengan Hajjah Solhah binti Haji Sapta. Hajjah Solhah ini terkenal
dengan kesabaran dan ketabahannya. Dari pernikahan pertama ini beliau
dikaruniai dua orang putra dua orang putri, yakni ; Kiai Haji Abdul Muhaimin,
Hajjah Aisyah, Hajjah Marhumah, dan Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh. Dan selanjutnya
Kiai Haji Abdul Latif memperistri Hajjah Rohmah sewaktu berada di Makkah.
Hajjah Rohmah adalah putri sulung Haji Anhar Cibeber. Dari pernikahan Kiai Haji
Abdul Latif dengan Hajjah Rohmah ini di karuniai pula dua orang putra dua orang
putri, yaitu; Hajjah Maajah, Hajjah Madihah, Kiai Haji Ahmad Najiullah
dan terkahir Haji Ridwan. Yang terakhir ini bermukim dan wafat di Makkah. Saudi
Arabia.
Kiai Haji Abdul Latif dikaruniai
keturunan yang baik dan memiliki derajat yang tinggi dikalangan masyarakat
sekitar, seperti Kiai Haji Abdul Muhaimin beliau ini kenal dengan ilmu-ilmu
fiqihnya dan ilmu falaknya yang beliau peroleh dari Makkah, Saudi Arabia.
sewaktu beliau bermukim menuntut ilmu di Makkah. Murid-murid Kiai
Haji Muhaimin sangat banyak dan tersebar dibeberapa daerah. Diantaranya adalah
Kiai Haji Suhaimi Palas, Cilegon.
Putra
Kiai Haji Abdul Latif yang lain yaitu Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh. yang terkenal
dengan kegigihannya melawan maksiat. Kiai Haji Ahmad Sofiyulloh yang terkenal
dengan sebutan “Ki Ahmad” dikalangan jawara, ulama, dan santri. Selalu melawan
kemaksiatan dengan keras dan tanpa ampun, hingga orang-orang yang berbuat
maksiat kembali ke jalan yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala. Perjudian,
panggung hiburan adalah hal yang paling dibenci beliau. Apabila beliau
mendapatkan pengaduan dari masyarakat atau santrinya mengenai adanya
kemaksiatan disekitar lingkungan mereka. Maka, beliau langsung turun sendiri
menghadapi kemaksiatan tersebut. Beliau inilah satu-satunya putra Kiai Haji
Abdul Latif yang mendapatkan ijazah tarekat dari Kiai Haji Abdul Latif.
Guru-guru beliau selain ayahanda beliau sendiri juga Kiai Haji Ali Ahmad Tiga
Maya, Kramat Watu. dan untuk Al-Qur’annya beliau mengaji Al-Qur’an ke Ki Undul
Ciwedus, Cilegon. Dan masih banyak guru-guru putra Kiai Haji Abdul Latif
ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Putra
Kiai Haji Abdul Latif yang lain, yakni Kiai Haji Ahmad Najiullah. beliau
dikenal dengan ketegasannya dan salah satu putra Kiai Haji Abdul Latif
yang dipercaya memimpin Madrasah Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber yang sekarang
berubah nama menjadi Yayasan Perguruan Islam Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber.
Diantara
putra-putra Kiai Haji Abdul Latif yang memiliki kewibawaan dan harismatik di
masyarakat, terdapat pula turunan Kiai Haji Abdul Latif yang lain yaitu
cucu-cucu beliau diantaranya ; Kiai Haji Syafiq bin Kiai Haji Abdul Muhaimin,
Kiai Haji Fuad bin Hajjah Maajah, dan Kiai Haji Abdul Wahid bin Kiai Haji Ahmad
Sofiyulloh yang masing-masing memiliki ciri khas dan keistimewaan, namun tetap
memegang teguh pelajaran dari kakek beliau yang berhaluan Ahlussunah
Waljama’ah.
Dalam
syiar Islamnya, kiprah ulama karismatik ini tidak terbatas hanya pada kaum
Adam. Namun juga, beliau mengajarkan pendidikan agama kepada kaum Hawa. Dalam
syiarnya ini beliaulah yang mengawali pengajian-pengajian kaum hawa di majlis
taklim dan mushola-mushola.
Awalnya
banyak ulama-ulama menentang sikap Kiai Haji Abdul Latif yang mengadakan
pengajian kepada kaum hawa. Pengajian untuk kaum hawa menjadi suatu hal yang
tabu dan sangat tidak pantas dalam sikap dan pandangan ulama pada masa itu,
terlebih dalam pandangan umum. Kaum hawa hanya layak di rumah dan melayani
suami dan anak mereka. Namun setelah mendapat penjelasan yang mengedepankan
pemikiran Kiai Haji Abdul Latif yang beranggapan apabila kaum hawa tidak mendapatkan
pendidikan agama dan keagamaan yang sepatutnya. Maka kaum hawa akan tertindas
dan terbelenggu. Dan para ulama-ulama yang akan menanggung dosanya
apabila suatu hal yang tidak diharapkan terjadi kepada kaum hawa. Dengan
pandangan demikian, akhirnya ulama-ulama dan masyarakatpun menerima apa yang
dicetuskan oleh Kiai Haji Abdul Latif tersebut.
Beliau
memberikan pengajian di beberapa majlis taklim diantaranya di Kaujon, Sumur
Pecung sekarang dilanjutkan oleh cucu beliau Ust. Mumu Abdul Muiz bin Kiai Haji
Ahmad Sofiyulloh, Kalitimbang dan Bulakan dilanjutkan juga oleh cucu beliau
Haji Abdul Rosyid bin Kiai Haji Ahmad Najiullah, dan beberapa majlis taklim
lainnya yakni di Parung, Kalodran, Wanasaba, Toyomerto, Kasuban, Jombang Wetan,
Karang Asem, Bendungan, Gedong Dalem, dan Pulo Merak (grogol).
Pada
usia Kiai Haji Abdul Latif menginjak 46 tahun atau sekitar tahun 1924
sebagaimana telah dikisahkan di awal tadi, beliau mendirikan madrasah dan
menamainya Tarbiyatul Athfal. Mulanya
hanya untuk kalangan terbatas yakni untuk para santri warga masyarakat Cibeber.
Setelah sekian waktu lamanya berjalan para santri pun makin bertambah, yang
datang bukan hanya dari wilayah Banten, namun dari berbagai daerah di Nusantara
pun datang dan melanjutkan pendidikan di madrasah ini. Karena dorongan
beberapa kalangan masyarakat Cibeber khususnya yang melihat perkembangan
madrasah yang semakin pesat. Maka, secara solidaritas masyarakat
mengumpulkan dana untuk membangun beberapa ruang kelas madrasah. Awalnya hanya
6 ruang selanjutnya ditambah 4 ruang kelas pada tahun 1931 dan dewasa-dewasa
ini ditambah lagi sebanyak 6 ruang pada tahun 1977 dan 2 ruang
kelas pada tahun 1999 dan nama
madrasahpun diubah menjadi Al-Jauharotunnaqiyyah.
Hingga saat ini masih eksis dan telah memiliki cabang seratus lebih yang
terdapat dibeberapa daerah di Nusantara.
Di
samping mendirikan madrasah, beliaupun mendirikan pesantren yang beliau namai
Bany Lathif. Pesantren ini dipimpin oleh beliau dan dibantu oleh putra-putri
beliau dan santri-santri senior yang bermukim di pesantren, Salah satu santri
kepercayaan beliau yang telah dianggap anak dan dijadikan menantu beliau
adalah Ustadz Badril Munir. Santri beliau ini sangat disegani dan dihargai oleh
beberapa kalangan karena sikapnya yang tawaddu dan lemah lembut. namun memiliki
kemampuan pendidikan agama yang cukup luas.
Pada
sekitar tahun 1953 sampai tahun 1960 banyak santri-santri beliau yang datang
dari luar daerah, seperti dari Lampung, Cirebon, Jakarta, dan beberapa daerah
lainnya. Sehingga mengharuskan Kiai Haji Abdul Latif menambah lokal pesantren.
Lokal pesantrenpun akhirnya mulai ditambah dan diperluas mulai Blok A, B, C, D,
dan Blok F yang berada tepat di belakang rumah Kiai Haji Abdul Muhaimin.
Pesantren Bany Lathif ini pernah mencapai
puncaknya hingga mencapai 1000an santri. Hal ini terjadi karena ridho Allah
Subhanahu Wata’ala dan karena keihlasan Kiai Haji Abdul Latif yang menerima
santrinya tanpa biaya sepeserpun semata untuk mensiarkan agama Islam ke
peloksok negeri yang dilakukan dengan pendidikan pesantren di bawah asuhan
beliau.
Kiai Haji Abdul Latif adalah Kiai modern
di zamannya, beliau sempat berkecimpung dalam organisasi Nahdlotul Ulama dan
beliau sendiri diangkat menjadi Rois Syuriah NU cabang Serang. Dan selama menjabat
Rois Syuriah NU beliau sempat empat kali mengikuti kongres NU yang diadakan di
beberapa daerah yakni di Jakarta tahun 1929 M, di Menes Pandeglang tahun 1931
dan di Surabaya dan Bandung.
Di samping itu, sebagai salah satu contoh
bahwa beliau termasuk ulama modern. Dalam bimbingannya, beliau telah memiliki mesin cetak yang pada waktu itu
sangat langka, sulit dipergunakan, dan jarang ulama memiliki mesin cetak yang
terbilang mahal dan sangat modern.
Dalam tradisi modern Kiai Haji Abdul
Latif sebagaimana pendapat dari beberapa kalangan. dilanjutkan oleh putra beliau Kiai Haji Abdul Muhaimin. Kiai Haji
Abdul Muhaimin dalam tradisi yang dilakukan di pesantren, seluruh santri
diajarkan lari pagi mengelilingi masjid sebelum
sholat shubuh. Hal
ini bertujuan agar para santri selalu sehat
jasmaninya selama mendapat
pendidikan di pesantren. Masih
banyak hal dan metodelogi pendidikan pesantren Bany Lathif yang
diusahakan oleh Kiai Haji Abdul Latif yang dewasa ini mulai diperkenalkan di dunia pendidikan.
Terdapat karisma yang selalu terngiang
sampai saat ini, karisma yang terucap dari mulut ke mulut tentang karomah Kiai
Haji Abdul Latif,
yakni apabila malam pergi mengaji ke Madura dan pagi harinyanya sudah ada di
Caringin Anyer (Wallahu A’lam).
Demikianlah
sekelumit kisah Kiai Haji Abdul Latif yang hidupnya dipergunakan untuk
mensyiarkan agama Islam dan mencerdaskan bangsa.Kiai Haji Abdul Latif tidak
meninggalkan sesuatu apapun untuk keluarga dan santri beliau,
Kiai Haji Abdul Latif hanya meninggalkan
sejarah yang sangat berharga, bukan untuk
dikenang, namun untuk menjadi contoh tauladan bagi kita. Amin
Beliau wafat dalam usia 82 tahun.
Tepatnya hari Rabu tanggal 24 Syawal 1379 bertepatan tanggal 22 April
1960. Pada pukul 00.05 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan
dimakamkan hari Rabu tanggal 22 April 1960 pukul 13.00 WIB di Cibeber tepatnya
di Cipucang berdampingan dengan istri dan putra-putri beliau.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
KH. Abdul Lathif,
Risalah
Bany Lathif, Perjalanan Kanjeng Maulana Hasanuddin Waktu Mulai Masuk Negeri
Banten, 1357 H.
2.
Prof. Dr. KH. Tb. M. Junus Ghozali,
Dalam
Lintas Sejarah KH. Abdul Latif bin KH. Ali, YPI Al-Jauharotunnaqiyyah Cibeber,
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar