Jumat, 01 Januari 2016

Mosaik Banten Bersejarah


Photobucket - Video and Image HostingBanten yang bersejarah dari peninggalan sejarah dan nukilan kisah komunitas Suku Baduy (Kanekes), Salakanagara-Pandeglang (130-168 Masehi-Pustaka Wangsakerta), serta Hindu Pajajaran di Banten Girang, juga Kesultanan Banten(abad 16-18 m), merupakan kekayaan sejarah yang paling tua, dan kaya di Indonesia. Sekaligus merupakan bukti otentik jejak sejarah awal menelusuri siapa orang Banten dan orang Sunda-Pasundan.
Membedah siapa orang Sunda Pasundan dan orang Banten, sangat dibutuhkan sekali kearifan dan berjiwa besar bagi keduabelah pihak. Salah satu tentu harus ada yang mengalah. Jika melihat dari factor kesamaan bahasa local saja, maka latar belakang diambil dari Banten Selatan diakui sangat dekat dengan Sunda – Pasundan. Jika diambil dari Banten Utara (kecuali Betawi-Tangerang), maka lebih dekat dengan Cirebon dan Indramayu.
Dengan demikian, Banten sesungguhnya wilayah yang terbelah dalam menentukan identitas lokalnya. Tetapi Banten menjadi sesuatu yang lain, berbeda dengan Pasundan, jika pada masa Kesultanan Banten, identitas baru muncul dari sini, lahirnya penyebaran agama, ikatan emosional yang sama dari nasib dan penderitaan yang sama, juga adat tradisi baru.
Dipertegas kemudian pada masa kolonialisme Belanda. Banten telah terputus sama sekali dengan Jawa-Barat, meskipun para priyayi priangan ditempatkan menjadi bupati dan atau residen wilayah (baca; Saijah Adinda karya Multatuli-Max Havelar, Pemberontakan Petani Banten 1888). Selain itu, budaya dari watak dan prinsip yang keras hati, egaliter (terbuka), dan gemar berpetualang, juga merupakan bagian cirikhas orang Banten.
Berbeda dengan Mataram, Kesultanan Banten tidak pernah melakukan penetrasi budaya melalui kekuasaan untuk memaksakan bahasa yang sama. Tepat jika Koencaraningrat, mendefinisikan suku bangsa adalah identitas dari nasib dan lokasi yang sama, serta belum tentu dipengaruhi bahasa.
Tetapi keanekaragaman bahasa (polyglot-latin) di Banten tersebut adalah kekayaan budaya yang mestinya dipelihara. 3 (tiga) hal syarat bahasa tersebut adalah, adanya perbendaharaan kosa kata, tata bahasa, dan dialek (logat). Sudah saatnya Banten memiliki kamus bahasa daerah, baik didaerah Selatan maupun Utara.
Banten sebagai mosaic yang terdiri dari berbagai keanekaragaman, dimulai dari sejarah awal masyarakat Baduy sebagai masyarakat tertua, dengan argumentasi yang semoga diharapkan dapat dipahami.

Baduy atau Kanekes yang Damai dan Tenang
Komunitas Suku Baduy atau Kanekes, dianggap paling tua dalam masa sejarah orang Banten dan Sunda-Jawa Barat, hal ini dilatarbelakangi oleh adanya peninggalan kepercayaan megalitik Arca Domas dan Lebak Sibedug 3 km lebih, diluar area mereka. Komunitas ini terbukti paling tua di Banten dengan adanya peninggalan tersebut. Peninggalan punden berundak itu berusia 2500 SM masa neolitik memiliki kesamaan simetris berbentuk segitiga dengan kebudayaan Mesir Kuno Piramida dan Manchu Picu di lembah Pegunungan Andes-Peru Amerika Latin.
Pengakuan sebagai Sunda Wiwitan (Sunda yang paling tua) juga merupakan bukti, bahwa merekalah yang tertua menurut cerita rakyat (foklore). Indonesia masa purba sesungguhnya, sebelum kedatangan orang India adalah penganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan terhadap roh leluhur nenek moyang ini diketahui adanya kepatuhan yang sangat kuat dikalangan mereka, terutama terhadap petuah dan larangan leluhur, serta adat tradisi lama. Tetapi apakah kebudayaan tersebut berlaku selamanya ?. jawabannya adalah tidak! Baduy luar misalnya, adalah sebuah contoh, bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat relatif, dapat berubah sesuai jamannya,  serta sudah merembes kedalam.Apalagi mereka gemar mengembara (rawayan) berjalan kaki keseputar Pulau Jawa.
Dengan asumsi tersebut, mereka bukanlah orang yang buta informasi, tetapi masyarakat yang justru  sangat informasional, tahu banyak informasi. Artis saja tahu, dan mereka kunjungi. Pendidikan dan pengetahuan umum juga diajarkan secara otodidak dan non formal diserahkan pada keluarga dan lingkungan masyarakat.
Penyebutan Suku Baduy sendiri juga kurang tepat, meskipun ada gunung sejenis bukit yang bernama Baduy, hal ini lebih disebabkan, karena penyebutan dimasa Islam yang memberikan nama suku pedalaman mereka. Kata Baduy tersebut, mirip dengan Bedui yang dikenal didaerah Arab sebagai suku terasing dan pengembara. Suku Kanekes mungkin lebih tepat, karena sebagai batas wilayah administrasi dan social budaya mereka yang paling tua.
Produk budaya mereka hingga saat ini dikenal hingga manca negara adalah kerajinan tas koja yang terbuat dari kayu yang dipilin sangat kuat. Padi dan hasil bumi lainnya disimpan dalam lumbung yang cukup unik, konon mampu bertahan sangat lama dan alami hingga 100 tahun. Selain hasil bumi dari hasil berhuma (ladang berpindah), mereka juga dikenal memanfaatkan hasil hutan dengan mengambil madu alami dan tumbuhan lainnya, untuk dijadikan ramuan dan lain sebagainya.
Uniknya dalam menjaga hutan ini, mereka tidak mengenal strata kelas, semua turut serta memberikan urun rembug dan suara. Hingga saat ini didaerah Baduy Dalam (Cibeo, Cikertawana, Cikesik), lingkungan alam termasuk sungai masih asri terawat alami dan terjaga baik.
Organisasi social orang Baduy lebih menyukai cara bermusyawarah, memiliki strata kelas yang ditentukan oleh adat tradisi lama, diketuai oleh Puun dan Jaro. Tetapi uniknya memiliki sistem social yang sangat tua sama seperti teorinya Karl Marx, komunisme purba – dalam tahap ke satu perkembangan masyarakat, kolektifitas, kepemilikan bersama, sama rata dan sama rasa.Tidak ada kesenjangan yang tajam antara yang kaya dan miskin.
Angklung buhun adalah angklung kolot atau tua ini juga, merupakan bukti produk budaya orang Baduy yang sangat dikenal ditatar Sunda dan Banten. Bahkan merupakan komoditas kerajinan khas Jawa-Barat, sejak ditemukannya irama tangga nada music hingga ke manca negara. Ironisnya telah diklaim oleh Malaysia, sama halnya dengan reog panorogo, lagu sayange, dll.
Dan masih banyak lagi yang belum dibahas dalam tulisan ini menjadi rangkaian ethnografi yang lengkap.

Turisme Global atau Menjaga Budaya
Saat itu, saya dan kawan-kawan dari Banten Heritage ketika bertemu tahun lalu, cukup prihatin dengan arus wisatawan budaya dari mana-mana, juga pedagang asongan yang terlalu melanggar batas wilayah mereka. Perilaku yang tidak terpuji, merusak, dan tidak menjaga, serta menghormati adat istiadat, membuat mereka lebih merupakan bagian dari tontonan dan arena wisata saja.
Kebakaran tahun lalu juga membuat kami prihatin. Untunglah balabantuan dari dinas social, instansi terkait, dan LSM seperti Puwanten (Paguyuban Warga Banten) ikut turun terjun ke lapangan.
Demikian paparan ini, meski hanya sekilas mengenai mosaik Banten yang bersejarah dan salah satunya adalah Baduy. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar