Raden Haji Abdul Manaf disebut juga
Eyang Dalem Mahmud adalah seorang ulama Sunda yang hidup pada abad peralihan
abad ke-17/18, hidup diperkirakan antara tahun 1650–1725. Hingga saat ini,
riwayat ulama ini belum banyak diketahui. Belum ada penelitian mendalam yang
mengungkap peranannya di Kota Bandung pada abad tersebut. Tentang tempat
asalnya, beredar dua versi: dari keturunan Cirebon dan dari keturunan Mataram.
Mungkin, dari Mataram, ke Cirebon terus ke Bandung. Tapi melihat para
leluhurnya, ia adalah seorang keturunan Sunda. Bukti pasti bahwa ia seorang
ulama berpengaruh adalah makamnya yang dianggap keramat dan hingga kini banyak
diziarahi banyak orang. Selain makam, ia pun meninggalkan peninggalannya yaitu
sebuah kampung unik yang disebut Kampung Mahmud di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan
Marga Asih. Kampung ini berada dipinggiran Sungai Citarum yang melewati kawasan
Bandung Selatan. Letaknya yang di pinggiran sungai ini, membuat kampung ini
eksklusif, menutup komunikasi langsung sehari-hari warganya dengan dunia luar
sehingga dalam waktu cukup lama keaslian tradisinya terjaga. Keunikannya
adalah, rumah-rumah di kawasan Mahmud bentuknya sama yaitu rumah panggung,
pantangan memakai kaca, menggali sumur dan bertembok. Kemudian, dilarang
menyetel musik dan memelihara binatang. Namun, seperti akan diuraikan,
nilai-nilai adat ini kini sudah banyak dilanggar. Keadaan mulai banyak berubah.
Riwayat Haji Abdul Manaf
[1] Menurut tradisi lisan,
diceritakan oleh Raden Haji Mangkurat Natapradja (Lurah Desa Babakan Ciparay tahun
1915-1950), bahwa bupati saat itu bernama Dalem Dipati Agung Suriadinata. Ia
mempunyai putra bernama Dalem Natapradja. Natapraja ini adalah ayahnya Raden
Haji (RH) Abdul Manaf atau dikenal dengan sebutan Dalem Mahmud. Suatu saat, RH.
Abdul Manaf pergi menunaikan haji ke Mekkah. Ketika ia berada di depan Ka’bah
ia bermunajat kepada Allah dan mendapat ilham (wangsit) berbentuk perintah:
“Kamu harus mengambil segenggam tanah dari pelataran Ka’bah ini untuk dibawa
pulang ke tanah air. Setibanya di kampung halamanmu, tanah itu harus ditebarkan
di sekitar rumah kemudian namailah kampungmu itu dengan nama Mahmud. Kemudian
kampung Mahmud itu harus dijadikan kawasan “haram” (tanah suci) yang tidak
boleh dikunjungi dan diinjak oleh seseorang yang tidak beragama Islam.
Selanjutnya, tandailah dengan sebuah tugu yang menjadi tanda bahwa tanah itu
adalah tanah haram.” Sepulang dari Mekkah, Abdul Manaf melaksanakan perintah
itu. Kampung Mahmud itu bertahan beratus-ratus tahun berhasil menjadi kampung
yang terjaga sesuai pesan dari Mekkah itu. Setelah kampung itu bernama Mahmud,
tempat itu berkembang menjadi salah satu pusat pelajaran spiritual Islam
[2] terkenal di tatar Sunda dan
sekaligus menjadi sebuah tempat perlindungan (persembunyian) dan pengayoman
bagi mereka yang mencari perlindungan. Sebuah kisah diceritakan R. Endih
Natapraja dan pernah ditulis oleh R. Suandi Natapraja sebagai berikut: Suatu
ketika, Eyang Dalem Mahmud kedatangan seoang pria setengah baya yang mengaku
berasal dari daerah timur bernama Zainal Arif. Tamu itu menceritakan bahwa
kedatangannya dalam rangka melarikan diri karena ia dituduh membahayakan
keamanan penguasa Kolonial Belanda. Setelah menempuh perjalanan sekian jauh,
atas petunjuk beberapa orang yang ditemuinya, sampailah ia ke kawasan Mahmud
tersebut dan menemui RH. Abdul Manaf. Ia kemudian memohon perlindungan. Abdul
Manaf menerimanya dan menjadikannya sebagai murid serta pengikutnya. Setelah
sekian lama mengikuti pelajaran, ternyata didapati bahwa Zainal Arif adalah
seorang pemuda yang pandai, cerdas dan cekatan dalam menerima pelajaran yang
diberikan. Karena ia pun menunjukkan kesetiaannya sebagai murid Eyang, ia pun
akhirnya dinikahkah dengan salah seorang keturunannya kemudian diberi gelar
Eyang Agung. Zainal Arif yang telah menjadi menantu Eyang Dalem kemudian
berpengaruh dan tumbuh menjadi “Eyang kedua.” Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul
Manaf diperkirakan wafat tahun 1725. Dari catatan keturunannya yang masih hidup
hingga sekarang, terdapat urutan silsilahnya leluhur dan keturunannya sebagai
berikut:
Prabu Linggawastu Prabu
Mundingkawati (Siliwangi I)
Prabu Anggalarang (Siliwangi II)
Parubu Pucuk Umum (Siliwangi III)
Prabu Anggalarang (Siliwangi IV)
Prabu Seda (Siliwangi V)
Prabu Guru Bantangan
Prabu Lingga
Pakuan Panandean Ukur
Dipati Ukur Ageung
Dipati Ukur Anom
Dipati Ukur Delem Suriadinata
Dalem Nayadireja (Sontak Dulang)
Raden Haji Abdul Manaf
Raden Saedi
Raden Jeneng
Raden Jamblang
Raden Brajayuda Sepuh (Jagasatru I)
Raden Haji Abdul Jabar (Jagasatru
II)
Raden Brajayuda Anom (Jagasatru III)
Raden Haji Mangkurat Natapradja (H.
Abdulmanap)
Sedangkan silsilah Zainal Arif,
nyambung kepada Syekh Haji Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya.
Syekh Abdul Muhyi
Sembah Dalem Bojong
Sembah Eyang Samadien
Sembah Eyang Asmadien
Sembah Eyang Zainal Arif
Embah Ta’limudin KH. Marjuki (Mama
Prabu Cigondewah)
[3]Komplek Makam Raden Haji Abdul
Manaf dikebumikan di bawah pohon beringin yang rindang berdekatan dengan makam
Zainal Arif, berjarak sekitar 15 meter. Tugu yang dibangun berdasarkan ilham di
tanah suci hingga kini terpelihara karena dilestarikan dengan dibangun sebuah
bangunan yang tertutup dan terkunci, dikelilingi pagar besi dan beratap. Makam
RH. Abdul Manaf merupakan makam utama dibangun dari lempengan batu murni
berbentuk segi empat. Di sekitarnya, terdapat pula beberapa makam murid dan
keluarga dekat Abdul Manaf. Komplek makam ini cukup nyaman sebagai tempat
ziarah yang sepertinya dibangun sengaja untuk para penziarah. Ziarah pada saat
hari-hari besar Islam seperti bulan Maulud dan Rajab melebihi jumlah hari-hari
biasa. Sejarah dan Nilai Strategis Kampung Mahmud Hingga saat ini, kampung
Mahmud masih sebagai kampung “tertutup” atau “tanah haram” yang hanya boleh
dikunjungi oleh orang yang beragama Islam. Untuk menjaga keutuhan kampung, hanya
terdapat satu jalan masuk yang dipintunya memakai gapura atau portal
bertuliskan “Kampung Mahmud.” Askes ke Kampung Mahmud sekarang semakin mudah
dengan angkutan umum langsung ke lokasi. Sepanjang pengetahuan kuncen, sejak
zaman Belanja, kemudian Jepang, kampung Mahmud hingga saat ini belum pernah
diinjak oleh orang non-Muslim. Karenanya, tidak ditemukan orang asing disini
atau non-pribumi yang berani membuka usaha. Semua kegiatan ekonomi atau
perniagaan dipegang oleh orang-orang pribumi. Di kawasan luar kampung, baru
ditemui beberapa toko dan usaha kelompok “non-pribumi.” Adat Kampung Mahmud
melarang pembunyian alat-alat musik, beduk dan pemeliharaan hewan piaraan.
Lokasi di pinggiran Citarum ternyata adalah pilihan strategis Raden Haji Abdul
Manaf dalam situasi penjajahan Belanda. Kampung Mahmud dulunya adalah rawa-rawa
yang sulit dilalui. Daerah itu dikelilingi Sungai Citarum lama dan sepotong
Sungai Citarum baru. Secara geologis, daerah yang kini dihuni sekitar 400
keluarga tersebut berbentuk cekungan. Tempat yang menjorok dari kota dan
terpisahkan oleh Sungai Citarum membuat kampung ini sulit tersentuh oleh
Belanda sehingga aman sebagai tempat persembunyian dan untuk mengembangkan
ajaran Islam. Larangan menyembunyikan alat-alat musik, pewayangan, gamelan,
beduk dan pemeliharaan binatang (terutama kambing dan angsa) bukanlah mitos
atau paham keagamaan kolot melainkan sebuah kearifan tradisional. Larangan itu
adalah amanat RH. Abdul Manaf agar tidak menimbulkan kebisingan yang bisa
mengundang kecurigaan dan kehadiran pihak penjajah Belanda ke kampung itu.
Jadi, dari berbagai sisi, RH. Abdul Manaf berusaha menjadikan tempat itu sebuah
kampung yang aman dan nyaman sebagai tempat persembunyian. Di sisi lain,
sebagai ulama, ia juga mengajarkan dan menanamkan rasa kebersamaan,
kesederajatan sosial, saling membantu dan sikap gotong royong seperti yang
diajarkan Islam. Ajaran ini ditanamkannya melalui amanat pembuatan rumah yang
sama yaitu bentuk panggung. Sedangkan larangan bangunan bertembok, pembuatan
sumur dan pemasangan kaca karena pertimbangan daerah itu labil. Tembok, sumur
dan kaca tidak fleksibel terhadap guncangan dan mudah ambruk. Di sisi lain,
larangan ini untuk menanamkan nilai-nilai kesamaan diantara warga penduduk
kampung Mahmud. Ajaran-ajaran inilah yang membuat kampung ini aman, tenang dan
asri. Dampak Modernisasai: Tak Lagi Asri Namun, sejak pasca pertengahan abad
ke-20, perubahan zaman dan modernisasi yang tidak terhindarkan, pengaruh
teknologi mulai masuk. Komunikasi dengan dunia luar semakin terbuka. Media
komunikasi seperti telepon sudah mulai masuk. Media elektronik seperti radio
dan televisi sekarang sudah diterima, termasuk media cetak seperti surat kabar,
majalah, atau buku. Mereka juga sudah terbiasa dengan kunjungan para peziarah
dari luar. Sebagaimana terjadi di banyak tempat di Indonesia, modernisasi
mengakibatkan akibat-akibat buruk di kampung ini: Pertama, sungai Citarum yang
dulu bersih dan asri, digunakan oleh masyarakat kampung Mahmud untuk mandi dan
mencuci, kini berpolusi limbah pabrik dan tidak bisa digunakan lagi. Ini
mendorong penduduk membuat sumur masing-masing. Pada perubahan-perubahan yang
sifatnya tidak bisa dihindari dan untuk kebutuhan semua orang, seperti
kebutuhan air ini, biasanya para pupuhu disitu berdialog meminta izin dulu
kepada Eyang RH. Abdul Manaf. Dan karena direstui, tidak terjadi akibat
apa-apa. Kedua, penggunaan alat-alat teknologi modern mulai masuk dan secara
kultural merusak keaslian adat dan tradisinya. Televisi banyak merubah cara
pandang dan gaya hidup. Selain sikap materialistik mulai tumbuh, gaya bicara
remaja-pemuda yang mulai “ngota” (tidak berbahasa Sunda), kini warga Mahmud
terbiasa menyaksikan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti menyaksikan
tayangan-tayangan artis selebritis dan sinetron di televisi. Ketiga,
perkembangan ekonomi dan pandangan hidup materialistik mulai merubah tradisi
dan nilai-nilai adat kampung Mahmud yang sebelumnya memegang asas kesederajatan
dan kebersamaan. Kini rumah-rumah mulai bertembok, memakai genteng mewah dan
kaca. Kebun-kebun bambu milik penduduk kampung pun dijual kepada masyarakat
kota untuk dijadikan lahan-lahan pemakaman. Atas pelanggaran-pelanggaran itu,
menurut Syafe’i, yang dituakan di kampung itu, terbukti mereka yang melanggar
biasanya sakit, rumah tangganya tidak rukun, atau ekonominya mandek. “Bukan
karena sumpah leluhur, tapi karena perilaku mereka sendiri, kata Syafe’i yang
menjelaskan adat masyarakatnya memang menerapkan keseragaman agar masyarakat
tak saling menonjolkan diri, berperilaku sederhana, dan menekan rasa sombong.
Kini Kampung Mahmud tak lagi asri. Saya tidak tahu, bagaimana nanti kalau
mereka sudah meninggal, ke mana mereka akan memakamkan keluarganya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar