Bicara tentang Banten, tidak selalu
identik dengan jawara, debus, dan masyarakat kelas bawah yang sering
dijadikan obyek acara stasiun televisi. Banten juga memiliki jejak-jejak
kejayaan di masa lalu yang masih bisa disaksikan hingga kini.
Kesultanan Banten, sebuah kerajaan Islam yang didirikan di atas puing-puing bekas kerajaan Sunda-Hindu yang bernama Wahanten Girang atau Banten Girang. Masuknya pengaruh Islam di wilayah Banten tidak lepas dari kedatangan Sunan Gunung Jati atau dikenal juga dengan nama Syech Syarif Hidayatullah.
Beliaulah penguasa pertama Kesultanan Banten yang tidak menasbihkan
diri menjadi sultan dan memilih menyerahkan tampuk kesultanan kepada
putra beliau, Maulana Hasanuddin yang juga menantu dari Sultan Trenggono dari Demak. Sebagai sultan, Maulana Hasanuddin bergelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.
Kesultanan Banten mulai berkembang pesat, terutama bidang perdagangan, pada masa kepemerintahan Maulana Yusuf (bergelar
Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan Gede), putra dari Maulana
Hasanuddin. Banten kemudian dikenal sebagai kerajaan yang maju pesat
tidak hanya dalam bidang perdagangan, juga dikenal sebagai kerajaan
maritim yang banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Melayu, Benggala,
Gujarat, Cina, Arab, Turki, Persia, Belanda, Portugis, dan
pedagang-pedagang dari wilayah Nusantara. Puncak kejayaan Banten sendiri
terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (bergelar Sultan Ageng Tirtayasa Abul Fath Abdul Fattah).
Kejayaan
Kesultanan Banten juga terekam melalui tata kota dan arsitektur
bangunan, yang tertata apik dan termasuk maju pada jamannya. Mulai dari
bekas keraton, masjid, vihara, pelabuhan, benteng, hingga sistem irigasi
yang termasuk canggih pada jaman tersebut. Meskipun, sebagian
peninggalan ini hanya merupakan runtuhan atau puing-puing yang kurang
terurus. Berikut adalah hasil penyusuran jejak kejayaan Banten di masa
silam.
Keraton Surosowan
Istana
kesultanan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-16, dan menjadi pusat
pemerintahan yang dikelilingi sebuah benteng kokoh yang kini berada di
wilayah Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Benteng yang
mengelilingi keraton, pada awalnya memiliki tiga pintu utama (kini hanya
dua), yaitu gerbang utara, timur, dan selatan. Gerbang timur dan utara
dibuat dalam bentuk lengkung, untuk mencegah penembakan langsung ke
dalam komplek benteng manakala gerbang dibuka. Material utama bangunan
benteng dan keraton, sebagaimana juga menjadi material bangunan-bangunan
lain pada masa itu terdiri atas komponen utama batu bata dan batu
karang. Hal ini tergambar dari kalimat gawe kuta bata kalawan kawis (membangun kota dengan batu bata dan batu karang).
Saat
ini keraton Surosowan hanya berupa puing-puing yang nampak kurang
terurus. Kehancuran keraton Surosowan sendiri terjadi sejak jaman
penjajahan Belanda dalam beberapa fase. Penghancuran keraton terparah
pada jaman kekuasaan Daendels pada tahun 1813, dan membuat para penghuninya meninggalkan keraton.
Jembatan Rante
Jembatan
ini terletak di sebelah utara keraton Surosowan dan dimaksudkan sebagai
“pintu pajak” yang dibangun di atas kanal kota Banten Lama. Disebut
sebagai jembatan rantai, karena bagian jembatan ini dapat dinaikturunkan
dengan menggunakan rantai, manakala ada kapal atau perahu yang melintas
di atas kanal. Sayangnya keberadaan jembatan Rante saat ini sedikit
tersembunyi, tertutup lapak-lapak para pedagang yang memang banyak
tersebar di sekeliling situs keraton dan Masjid Agung. Belum lagi
kondisi lingkungan di sekeliling situs yang terkesan kumuh dan jorok
dengan tumpukan sampah dan kanal yang kini mengering.
Masjid Agung Banten
Sebagai
kerajaan Islam atau kesultanan, tentunya salah satu bentuk
peninggalannya adalah tempat ibadah, yaitu masjid. Masjid Agung Banten
berada tidak jauh dari areal benteng keraton dan jembatan Rante.
Bangunan masjid ini masih utuh dan sukup terawat dibandingkan
peninggalan-peninggalan lainnya. Dari pendapat-pendapat yang beredar,
meskipun Belanda ketika itu berusaha keras menduduki Banten, Belanda
hanya menyerang dan menghancurkan pusat kepemerintahan dan perdagangan,
tetapi tempat-tempat ibadh dibiarkan tetap berdiri.
Dalam komplek masjid terdapat beberapa bangunan lain, seperti kolam, makam, menara, istiwa
(penunjuk waktu shalat berbasis waktu matahari), dan beberapa bentuk
bangunan lain. Fungsi dari kolam yang terdapat di komplek masjid adalah
sebagai tempat bersuci (wudhu) pada jaman dahulu (kini tidak
digunakan lagi untuk berwudhu), dan terletak di sisi timur serambi depan
masjid. Air kolam berasal dari kanal yang tidak jauh dari masjid.
Sumber air diambil dari kanal sisi selatan, sedangkan pembuangannya
melalui kanal sisi utara. Di sisi selatan masjid, terdapat area
pemakaman yang terdiri atas 15 makam, dimana salah satunya merupakan
makam dari Sultan Maulana Muhammad yang gugur di usia 25 tahun saat penyerbuan ke Palembang.
Lazimnya
masjid-masjid masa silam, dimana banyak masjid yang memiliki menara,
begitu pula pada masjid Agung Banten. Mengutip penjelasan dari Ma’rufin
Sudibyo, kompasianer yang mendalami ilmu falak dan astronomi pada akun facebooknya, keberadaan menara pada masjid jaman dahulu difungsikan sebagai tempat mengumandangkan adzan,
sebagai tempat observasi pergerakan benda langit, misalnya, untuk
mengamati cahaya senja dan cahaya fajar, juga sebagai tempat observasi hilaal untuk menentukan awal bulan hijriyah. Selain menara, keberadaan masjid jaman dahulu juga dilengkapi dengan jam matahari untuk penunjuk waktu shalat yang dalam bahasa Arab disebut sebagai mizwala (atau istiwa).
Menara
masjid Agung Banten terletak di sisi timur masjid dengan ketinggian 23 m
dari permukaan tanah. Pintu menara terdapat di sisi utara bangunan, dan
untuk mendaki hingga ke bagian atas menara terdapat lorong tangga yang
dibuat melingkar dan lumayan membuat nafas terengah-engah jika tidak
terbiasa.
Masjid Pacinan Tinggi
Selain
masjid Agung, terdapat pula beberapa masjid-masjid lain. Satu
diantaranya adalah masjid Pacinan Tinggi. Disebut sebagai Pacinan,
karena dibangun di area pemukiman Cina yang memang sudah banyak menetap
di Banten pada era kesultanan. Masjid yang hanya tersisa puing-puing
berupa mihrab dan menara ini terletak di Desa Banten Kecamatan
Kasemen Kota Serang. Pada bagian dalam menara, terdapat jejak bekas anak
tangga berbentuk persegi. Tak jauh dari menara, terdapat sebuah
gundukan menyerupai bukit kecil yang merupakan makam Cina. Konon, makam
tersebut adalah makan sepasang suami istri yang dimungkinkan sebagai
pemuka agama Islam (Imam/Ustadz) keturunan Tionghoa. Sejauh ini, penulis
belum mengetahui secara pasti sebab musabab hancurnya masjid ini, yang
merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah dan
dilanjutkan pembangunannya pada masa Maulana Hasanuddin
Sisi
lain dari peninggalan kesultanan Banten tidak hanya tempat beribadah
umat muslim (masjid), tetapi juga tempat beribadah umat Budha (vihara)
yang hingga kini masih kokoh berdiri dan sedang direnovasi. Ada cerita
romansa yang cukup menarik terkait dengan keberadaan vihara yang
letaknya tak jauh dari masjid Pacinan dan benteng Speelwijk,
yang akan ditulis pada bagian ke-2. Juga penjelasan tentang sistem
irigasi dan penyaringan air yang tergolong maju pada jamannya.**
Referensi
Buku
Ragam Pusaka Budaya Banten, Dinas Pendidikan Provinsi Banten bekerja
sama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP-3) Serang Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi BantenMusium Situs Kepurbakalaan Banten Lama
Tuturan lisan masyarakat sekitar
Tulisan ini disertakan pada Weekly Photo Challenge : Journalism PhotographyTuturan lisan masyarakat sekitar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar