Add caption |
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah,
Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik
mengikuti ceramah al muwatta’ (himpunan hadits) yang diadakan Imam
Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam
Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ”Rasyid, leluhur Anda
selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila
sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh
hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan
mencari manusia.”
Sedianya, khalifah ingin agar
para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun,
permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan
kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang
khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk
berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman
bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712
M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat,
berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam.
Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya
menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah
anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat
itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama
hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak
berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah
adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran
ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam
Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam
sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya
pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat
intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan,
katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits,
maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan
paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama
terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad,
Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad
bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in
ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan
Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah
menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir
seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat
khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun,
pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan
para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam
Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini
dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras
murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali
Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam
marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits
Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali
saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak
sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut
risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah.
Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al
Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia)
kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun
merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah
yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak
berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian
paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya
tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun
memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali.
Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan
untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama
yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak
berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan
itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan
memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus
kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad
dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000
dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun
ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah.
Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk
berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam
Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang
panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki
masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak
beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di
baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah
tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada
para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri
kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Dari Al Muwatta’ Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta’ adalah kitab fikih
berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal
kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan
pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai
memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih
dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa
sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al
Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah
Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta
Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik
enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan
hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur
(754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai
karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini
merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang
menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu
hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan
1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga
menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan
jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan
buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang
disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al
Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid
wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh
al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh
Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi),
dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi),
menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang
teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek
kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang
dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah
SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah),
qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak
didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi
di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini
Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut
terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas
penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran
dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya
Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab
Maliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar