Add caption |
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak,
salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah
seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat
imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal
dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang,
memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus
dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai
minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari
atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau
ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan
dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau
akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin
Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar
dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang
merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin
Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar,
Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin
Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu
Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih
banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu
dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke
kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku
tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara
mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya
tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah
dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah
seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah
satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi
(hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka
beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10
kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia
melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya
dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan
oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad
diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim
dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar
bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban,
Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu
Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman
bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz
bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah
bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin
Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin
Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim
al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya
bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi,
Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah
adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia
hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu
yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di
dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia
tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata,
“Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu
Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”.
Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”.
Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri,
‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah
Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun
kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah
orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan
perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku
bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka
penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila
atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam
Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka
yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang
paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu
Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang
hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”.
Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu
tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari
Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa
ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih
hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu
Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk
salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu,
sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari
dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan
perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata,
“Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang
lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil
pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat
Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan
tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga
Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang
menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak
banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan
bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu
penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan
dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah
bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi
dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah
Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat
ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa
iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan
tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak
bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak
bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu
bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada
yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …
Dan dinukil pula oleh para sahabatnya,
mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus
dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana
yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak
mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya
terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar
itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, …
akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan
memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya,
tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal
maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah-
akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan
kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam
keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia
menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan
mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak lagi
bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau,
hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab
al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan mengetahui
riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu
Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua
riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam
sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa
merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa
banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap
inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki
untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan
terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu
Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh
karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul
Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh
baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti
itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari
orang-orang yang adil”
Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk
mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil
mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi
orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan
dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami
berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat
tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai
Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu
dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga
suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku
berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut
hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila
demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil
mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang
mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa
dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah
kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta,
untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti
mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari
fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya
Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan
keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu
Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu
Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya
dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil
hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara
qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga
sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan
tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada
zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka
banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding
dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam
permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para
imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan
tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu
merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits
yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima,
karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka
tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang
jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu
imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
c. Apabila saya mengatakan sebuah
pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih,
maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada
tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang
bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari majalah Fatawa)
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke – 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke – 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar