Add caption |
“Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad.
Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat
tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi
Mu’tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang
mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa.” Penilaian ini
diungkapkan oleh Imam Syafi’i, yang tak lain adalah guru Imam Hanbali.
Menurut Syafi’i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai
dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan
mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini
memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini.
Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi
hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud
yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih
Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar
yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran
Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits
memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru
kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara
ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab
tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan
berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam
kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif.
Berdasar penelitian Abdul Aziz
al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh
sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30
ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu
hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat
855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir
dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh
ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16
tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain kepada
ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah,
Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari
merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan
bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua
pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar
biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu
tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk
menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan
Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia
40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah
binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah
meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra
bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk
terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama
Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan,
Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal
tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama
terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam
Hanbali. ”Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali
di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh
tiba,” katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin
Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ”Aku pernah datang
kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham
sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya
kuberikan kepadamu.”’
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang
pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu’tazilah tengah berjaya. Dukungan
Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini
sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu
ajaran yang dipaksakan penganut Mu’tazilah adalah paham Al-Qur’an
merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak
pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang
paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu’tasim,
putra Al Ma’mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini
berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan
tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu.
Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga
pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali
menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan
Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah
ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar
kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Daud, Imam Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu
Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi’i,
Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn
Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya
dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali
memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang
bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada
lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa
madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan
nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak
berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak
ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda
pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak
jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia tidak akan
menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan
kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits
yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif
(hadits yang lemah, namun bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam hal
ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias,
atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari
keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya
berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di
Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat
usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh
inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada
fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab
tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di
berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini
jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban
Al-Qur’an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling
terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.
——————————————————————————–
Sejarah Singkat Imam Hanbali
(Dari muslim.or.id)
(Dari muslim.or.id)
Nasab dan Kelahirannya
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan,
orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke
kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul
Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam
usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek
beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota
Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke
dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan
penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah
seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang
pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat
peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya
dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu
pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli
bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan
mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun,
beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu
dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak
membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri,
terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah
bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil
(periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata,
‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah
orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah
tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits
adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits
pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota
Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun
186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin
Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim
sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan
perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan
selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil
ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana
adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu
darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang
menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama
lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin
‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan,
Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat
bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan
Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad
bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni
pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah
berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu
Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang
kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni
hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat
kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di
sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada
banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua
putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal,
al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah
dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari
hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan
al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam
Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun
kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd
‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah),
kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab
al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul
as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui
Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan
perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri
tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku
akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan
kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu
kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah,
dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan
unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan
mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai
kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki.
Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan
mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab
buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan
sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk
bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin.
Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka,
seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan
lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus,
mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun.
Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun
untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya
pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam
(berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212,
Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama
mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah
sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan
Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan
pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah
mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan
kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku
hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang
pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan
al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam
kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika
kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima
pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada
mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah
dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah
menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus.
Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di
desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang
sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka
yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam
Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran
itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan
bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di
kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam
keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum
sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan
dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun
(tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan
berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat
dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji
orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran,
tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka
bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu
dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar
28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat
dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi
khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun
melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih
menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya,
penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang
Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad
bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar
mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama
kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil
naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian
tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun
234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah
kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan
ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits
tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira
pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas
keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana
terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar,
Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit
selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan
ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya,
sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu.
Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241,
beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit
mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang.
Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu
orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang
menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang
hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada
ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada)
hari kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang
dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang
tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi
ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain
berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan
kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin
al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah
mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang
ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat
orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan
Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar