Jumat, 06 November 2015

SANDYAKALA ING MAJAPAHIT KERUNTUHAN KERAJAAN HINDU-BUDDHA NUSANTARA

Prof. Dr. Agus Aris Munandar

Awal Kesuraman
Pada tahun 1389 Masehi (1311 Saka) mangkatlah Rajasanagara (Hayam Wuruk) raja terbesar Majapahit, ketika kerajaan itu berada di puncak kejayaannya. Tafsiran yang dapat diangkat dari berita kitab Pararaton adalah bahwa raja tersebut didharmakan di daerah Tanjung,  nama candi pendharmaannya Paramasukhapura. Di kalangan para ahli arkeologi terdapat interpretasi bahwa Paramasukhapura tersebut terletak di lereng utara Gunung Wilis, mungkin dekat dengan situs Candi Ngetos sekarang di wilayah Kabupaten Nganjuk. Memang sungguh menarik untuk ditelisik lebih lanjut bahwa candi untuk raja terbesar Majapahit tersbut sekarang tiada ditemukan lagi secara pasti, sementara sejumlah candi untuk sanak kerabatnya masih bertahan hingga sekarang di beberapa daerah Jawa Timur bekas tlatah kerajaan itu dahulu.

Sepeninggal Rajasanagara tampil tokoh penguasa Majapahit yang baru, yaitu Wikramawarddhana yang menikah dengan Kusumawarddhani putri Hayam Wuruk. Wikramawarddhana hanya memerintah selama 12 tahun, sekitar tahun 1400 ia mengundurkan diri menjadi seorang pertapa (bhagawan), tahta Majapahit diserahkan kepada putrinya yang bernama Suhita. Sebenarnya yang layak memerintah adalah putra mahkota kakak Suhita yang bernama Bhra Hyang Wekasing Sukha, namun ia mangkat pada tahun 1399 sebelum ditahbiskan menjadi raja.

Naik tahtanya Suhita sebagai ratu Majapahit ternyata tidak disukai oleh salah seorang putra Hayam Wuruk yang berasal dari selir, ialah Bhattara i Wirabhumi (Bhre Wirabhumi) walaupun ia telah menjadi penguasa di daerah Balambangan. Demikianlah masalah ketidakpuasan terhadap penguasa, hak untuk berkuasa, yang berujung kepada perebutan kekuasaan dalam bentuk peperangan yang sangat berdarah adalah faktor-faktor mendasar yang menjadi titik awal keruntuhan Wilwatikta. Dalam pada itu serangan dari kerajaan Islam Bintara (Demak) hanyalah peristiwa pamungkas yang menyebabkan lenyapnya Majapahit dari Tanah Jawa, karena sebelumnya telah terdapat serangkaian pemicu ke arah runtuhnya Majapahit di awal abad ke-16 M.

Parereg meletus pada tahun 1401 M sebagai bentuk ketidakpuasan dan rasa berhaknya Bhre Wirabhumi atas tahta Majapahit. Mulai tahun itu hingga tahun-tahun selanjutnya Majapahit diriuhkan oleh peperangan antara Wikramawarddhana yang berkuasa di kadaton kulon melawan Bhre Wirabhumi yang memimpin penyerangan dari kadaton wetan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya Paregreg yang baru usai tahun 1406, rakyat Majapahitlah yang menderita, pastinya aktivitas pertanian menurun, hubungan niaga dengan wilayah luar Jawa terganggu, apalagi citra Majapahit di mata kerajaan-kerajaan mitra satata di rantauan Asia Tenggara menjadi tidak berwibawa lagi.
Menuju Tenggelamnya Surya Majapahit
Setelah Bhre Wirabhumi dapat dikalahkan oleh pihak Wikramawarddhana berkat bantuan Bhre Tumapel Bhra Hyang Parameswara, maka Suhita melanjutkan pemerintahannya di Majapahit hingga wafatnya pada tahun 1447 M dan didharmakan di Singhajaya. Karena Suhita tidak mempunyai anak, maka singgasana Majapahit kemudian diduduki oleh adiknya, yaitu Bhre Tumapel Kertawijaya (1447—1451 M). Pada masa pemerintahannya ia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu yang bertarikh  1369 Saka (22 Nopember 1447 M). Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa Majapahit pada dewasa itu mempunyai 14 orang penguasa daerah sebagai berikut: (1) Batari Daha, (2) Batari Jagaraga, (3) Batara Kahuripan, (4) Batari Tanjungpura, (5) Batari Pajang, (6) Batari Kembang Jenar, (7) Batari Wengker, (8) Batari Kabalan, (9) Batara Tumapel, (10) Batara Singapura, (11) Batara Matahun, (12) Batara Wirabumi, (13) batara Keling, dan (14) Batari Kalinggapura. Berita dari prasasti Waringin Pitu tentang para penguasa daerah tersebut menunjukkan bahwa wilayah  sebenarnya terbagi dalam beberapa kerajaan daerah yang mengakui kedudukan raja di kedaton Majapahit sebagai penguasa tunggal atas daerah-daerah tersebut.  Penguasa selanjutnya adalah Bhra Pamotan dengan epitet Sri Rajasawarddhana Dyah Wijayakumara yang berkuasa antara tahun 1451—1453 M.Asal-usul tokoh ini tidak begitu jelas, dugaan sementara bahwa dia sangat mungkin salah seorang putra Wikramawarddhana pula, mungkin dari seorang selirnya. Pararaton menyebutkan bahwa pada waktu Rajasawarddhana berkuasa ia berkedudukan di Keling-Kahuripan. Terdapat asumsi bahwa ia tidak berkedudukan di ibukota Majapahit, melainkan memindahkan pusat pemerintahannya di wilayah Keling-Kahuripan. Keadaan itu mungkin ada hubungannya dengan kekalutan politik berkenaan dengan tahta yang didudukinya. Setelah ia meninggal menurut Pararaton kemudian didharmakan di Sepang.

Pararaton mencatat bahwa dalam masa 3 tahun kemudian tidak ada raja di Majapahit (interregnum). Hal ini sungguh menarik karena selama 3 tahun itu tidak ada tokoh yang dapat mengampu kerajaan yang kejayaannya hampir pudar tersebut. Surya Majapahit yang biasa dijumpai di batu sungkup candi-candi zaman itu dan menjadi menjadi ciri kesenian Majapahit agaknya hampir tenggelam. Dalam keadaan terluka dan lemah akibat konflik  internal, Majapahit masih mampu melanjutkan keberadaannya sepanjang abad ke-15 M sampai keruntuhannya.

Sandyakala ing Majapahit
Pada tahun 1456 tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana sebagai penguasa Majapahit yang memerintah selama 10 tahun. Raja tersebut ialah salah seorang anak dari Bhre Tumapel Kertawijaya, dalam Pararaton Dyah Suryawikrama dikenal dengan sebutan Bhra Hyang Purwwawisesa yang setelah meninggal dicandikan di Puri. Menilik masa pemerintahannya yang relatif lama dapat diduga bahwa kedudukannya sebagai raja Majapahit agaknya mendapat sokongan dan kepercayaan dari para penguasa daerah.
Raja selanjutnya yang memerintah di Majapahit adalah Bhre Pandan Salas, ia dikenal pula dengan gelar resminya Dyah Suraprabhawa Singhawikramawarddhana. Hal yang menarik dikemukakan oleh Pararaton bahwa raja Dyah Suraprabhawa hanya memerintah selama 2 tahun, kemudian menyingkir meninggalkan keratonnya. Menyingkirnya Dyah Surabrabhawa dari istana Majapahit sangat mungkin disebabkan oleh adanya serangan dari pihak lain yang juga menginginkan tahta. Dalam tahun 1473 M, ia masih mengeluarkan prasasti Pamintihan yang isinya antara lain bahwa Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandan Salas mengaku diri sebagai raja Majapahit, dan menyebut dirinya sebagai “sri maharajadhiraja yang menjadi pemimpin raja-raja keturunan tuan gunung” (sri giripatiprasutabhupatiketubhuta). Tokoh ini disebut sebagai “penguasa tunggal di Tanah Jawa” (yawabhumyekadhipa) oleh Mpu Tanakung dalam manggala kakawin Siwaratrikalpa gubahannya.

Apabila disesuaikan dengan berita Pararaton yang menyatakan bahwa Bhre Pandan Salas hanya memerintah selama 2 tahun.  Mungkin dapat diartikan bahwa masa 2 tahun itu hanyalah ketika ia masih menduduki tahtanya di kota Majapahit. Kemudian karena adanya serangan ia terpaksa menyingkir ke pedalaman (wilayah Tumapel) untuk meneruskan pemerintahannya, mengeluarkan prasasti, serta menjadi pelindung pujangga yang menggubah kakawin keagamaan. Tokoh yang menyebabkan Bhre Pandan Salas harus meninggalkan Majapahit ialah Bhre Kertabhumi yang ingin pula berkuasa di Majapahit. Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu dari raja terdahulu Majapahit, yaitu Rajasawarddhana (1451—1453 M)  sebelum terjadinya masa interregnum.

Bhre Pandan Salas atau Dyah Suraprabawa terus memerintah sebagian besar wilayah Majapahit dengan berkedudukan di Tumapel sampai tahun 1474 M. Sepeninggal Bhre Pandan Salas kedudukannya digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Pada awalnya ia masih berkedudukan di Kling, namun ia kemudian berhasil merebut tahta Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi. Pararaton mencatat bahwa pada tahun Saka “sunya-nora-yuganing-wong” (1400 S/1478 M) Bhre Kertabhumi wafat di keraton, mungkin akibat serangan Dyah Ranawijaya yang berhasil merebut kembali kota Majapahit setelah ayahandanya, Dyah Suraprabhawa berhasil disingkirkan oleh Bhre Kertabhumi. Dalam Serat Kanda dicantumkan candrasangkala “sirna-ilang-kerta ning bhumi” yang menunjuk tahun 1400 Saka sebagai waktu jatuhnya Majapahit akibat serangan tentara Islam Demak ke wilayah Sengguruh untuk menaklukan raja Brawijaya. Angka tahun 1400 S (1478 M) dalam Serat Kanda itu tidak sesuai jika dipakai untuk menandai tahun kejatuhan Majapahit ke tangan tentara Demak, karena Pararaton jelas mencatat bahwa tahun 1478 M itu adalah tewasnya raja Kertabhumi di keraton Majapahit, mungkin sekali karena serangan Dyah Ranawijaya.

Majapahit masih tetap berdiri setelah tahun 1478 M, sebab Dyah Ranawijaya masih mengeluarkan prasasti-prasastinya pada tahun 1486 M. Begitupun kegiatan keagamaan yang bercorak kehinduan di lereng barat Gunung Penanggungan (Pawitra) masih terus bertahan hingga paruh pertama abad ke-16 M. Artinya setelah direbutnya kota Majapahit oleh Dyah Ranawijaya sampai beberapa tahun lamanya kerajaan itu masih bertahan, bahkan para musafir dan pedagang Portugis masih mencatat bahwa Majapahit sebagai kerajaan kafir masih berdiri antara tahun 1512—1518 sesuai dengan berita-berita orang Eropa pertama yang berkunjung ke Nusantara.

Penelitian terakhir yang telah dilakukan ikhwal keruntuhan Majapahit menyatakan bahwa kerajaan itu runtuh antara tahun 1518—1521 M. Memang benar akibat serangan tentara Demak, namun berdasarkan perbandingan data yang terdapat dari berita-berita Eropa yang layak dipercaya,  pemimpin penyerangan ke Majapahit itu ialah Pati Unus bukannya Raden Patah. Tokoh inilah yang berhasil mengalahkan raja Majapahit terakhir Dyah Ranawijaya, berarti ia dapat membalaskan kekalahan kakeknya, yaitu Bhre Kertabhumi yang dahulu berhasil ditewaskan oleh serangan Dyah Ranawijaya di kedaton Majapahit.

Berita-berita tradisi memang menyatakan bahwa Raden Patah adalah putra raja Majapahit Brawijaya. Kitab Purwaka Caruban Nagari secara lebih jelas mengidentifikasikan bahwa raja Brawijaya Kertabhumilah yang menjadi ayahanda Raden Patah, namun para penyusun sumber-sumber tradisi itu seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda telah mengacaukan peristiwa sejarah yang terjadi. Maklum kedua sumber sejarah Jawa itu ditulis dalam masa yang jauh lebih kemudian, sehingga ingatan terhadap peristiwa sejarah di masa lampau telah menjadi samar-samar.

Mengenai klimaks keruntuhan Majapahit diuraikan dengan agak panjang dalam Babad Tanah Jawi:
“Lengkaplah para wali berunding dengan para mukmin. Setelah selesai berunding mereka berpencar menuju Majapahit dengan membawa banyak senjata. Samudera meluap. Ketika mereka sampai di Majapahit, gempar orang senegeri itu. Majapahit telah terkepung, banyak prajurit berbalik. Adipati Bintara dan adiknya masuk lewat pintu Utara. Mereka telah memasuki kota. Para prajurit gemetar ketakutan melihat mereka.

Brawijaya segera berkata, “Syukurlah anakku datang, Adipati Bintara. Ayo Patih, segera kita naik ke tempat yang tinggi, aku ingin melihat anakku. Ya Patih, aku sangat rindu, karena telah lama tidak bertemu”. Sang Raja naik ke halaman yang tinggi dan dapat melihat putranya. Kemudian Sang Raja Brawijaya gaib. Patih pun tidak ketinggalan beserta  orang-orang yang setia berbakti kepada raja. Puri telah kosong, di luar sangat ribut, sangat menakutkan. Deru suara orang-orang yang gaib jatuh ke samudera, bagaikan dibakar…”

Pada bagian lain Babad Tanah Jawi mengungkapkan:
“Adipati Bintara memasuki keraton. Sangat sunyi keadaannya karena telah ditinggalkan orang, semua mengikuti Brawijaya. Sang Adipati lemas tidak dapat berkata-kata, hatinya pedih. Ia merasa sebagai putra raja. Sang Adipati Bintara keluar, mewartakan hal itu kepada semua prajurit. Demikianlah mereka pun kembali ke Bintara”

Sebagai hasil historiografi tradisional uraian Babad Tanah Jawi tetap harus diperhatikan secara cermat, para pembaca di masa kini mestinya harus lebih arif dalam menafsirkan peristiwa keruntuhan Majapahit tersebut. Sangat mungkin memang benar Brawijaya Kertabhumi sangat rindu dengan putranya, Raden Patah yang menjadi Adipati di Bintara dan telah lama tidak datang menghadap. Ketika datang serangan ke Majapahit, Brawijaya menganggapnya sebagai kedatangan Adipati Bintara dengan pasukannya sampai ia dan patihnya bergegas menaiki sitinggil di lingkungan halaman keraton untuk menyambutnya. Ternyata yang datang adalah bala-tentara Dyah Ranawijaya, sehingga ia tidak siap untuk bertempur, maka tewaslah sang raja di kedaton Majapahit. Dalam pada itu Raden Patah mungkin berusaha membantu ayahandanya, tetapi terlambat. Kekalahan Brawijaya Kertabhumi atas Dyah Ranawijaya itu baru kemudian dibalas oleh putra Raden Patah, yaitu Pati Unus yang sekaligus mengakhiri kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha Majapahit yang telah lama dikenal di Nusantara.


Agus Aris Munandar
FIB UI

PUSTAKA ACUA

DAMONO, SAPARDI DJOKO & SONYA SONDAKH (Penyunting), 2004, Babad Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah Raja-raja Jawa. Buku I. Jakarta: Amanah Lontar.

DJAFAR, HASAN, 1978, Girindrawarddana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Penerbitan Buddhis Nalanda.

MULJANA, SLAMET, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.

PADMAPUSPITA, KI, 1966, Pararaton: Teks Bahasa Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.

SUMADIO, BAMBANG (Penyunting Jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

YAMIN, MUHAMMAD, 1962, Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa, berisi 7 Djilid atau Parwa, Hasil Penelitian Ketatanegaraan Indonesia tentang Dasar dan Bentuk Negara Nusantara Bernama Madjapahit, 1293—1525. Parwa II.  Djakarta: Prapantja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar