ALLAHUMMA
SHOLLI ’ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN TAJ’ALUNAA BIHAA MIN AHLIL ’ILMI
DZOOHIRON WABAATHINAN. WATAHSYURUNAA BI’IBAADIKAS SHOOLIHIINA FII
DUNYAANAA WA UKHROONAA WA’ALAA AALIHII WASHOHBIHII WASALLIM. (1 X)
Semoga
rahmat ta’dzim dan salam senantiasa atas junjungan kita sayyidina
Muhammad yang dengan shalawat tersebut semoga Engkau jadikan kami
termasuk dari golongn ahli ilmu baik dzohir maupun bathin. Dan semoga
Engkau kumpulkan kami bersama hamba-hambaMu yg sholeh baik di dunia
maupun di akhirat. Dan semoga shalawat senantiasa atas para keluarga
Nabi dan para sahabatnya
WA MA TILKA BIYAMINIKA YA MŪSÁ QALA HIYA `AŞAYA ‘ATAWAKKA’U `ALAYHA WA ‘AHUSHSHU BIHA `ALÁ GHANAMI WA LIYA FIHA MA’ARIBU ‘UKHRÁ QALA ‘ALQIHA YA MŪSÁ FA’ALQAHA FA’IDHA HIYA ĤAYYATUN TAS`Á QALA KHUDH/HA WA LA TAKHAF SANU`IDUHA SIRATAHA AL-‘ŪLÁ WA AĐMUM YADAKA ‘ILÁ JANAĤIKA TAKHRUJ BAYĐA‘A MIN GHAYRI SŪ‘IN ‘ĀYATAN ‘UKHRÁ LINURIYAKA MIN ‘ĀYATINA AL-KUBRÁ. (1x)
Apakah
itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa? Musa berkata, “Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (dedaunan) dengannya
untuk kambingku, dan aku (juga) memiliki keperluan yang lain dengannya.
Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu, hai Musa! Lalu ia
melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular naga yang
merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut,
Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. Dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa
cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan
kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.
YA JABBARYA QAHHAR 1000 x
Yang Maha Perkasa Yang Menundukkan
FAQULTU ISTAGHFIROO RABBAKUM INNAHU KANA GHAFFARAN YURSILI ALSSAMAA AAALAYKUM MIDRARAN WAYUMDIDKUM BIAMWALIN WABANEENA WAYAJAAAL LAKUM JANNATIN WAYAJAAAL LAKUM ANHARAN (1 x)
Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan
anak-anakmu. dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai
ASTAGHFIRULLAHALADZIM 1000 x
#####
Di
atas adalah rangkaian amalan dari KH KHOLIL, mulai dari Sholawat yang
biasa dilantunkan beliau, ditambah AYAT 17-23 QS THAHA dan asmaul husna
serta ayat 10-12 QS NUH diakhiri dengan Istighfar.
BIOGRAFI KH KHOLIL
Banyak
ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan
lahirnya jauh sesudah syaikhona Kholil meninggal, mengakui kalau
perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru
secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.
Sejumlah
murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil
adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab
Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang),
KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun
(Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong
Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak
(Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai
Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai
Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan).
Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh
pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan
Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah
berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil mencetak para
santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai
yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni
Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU).
KH
Kholil menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan
KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH
Muhammad Dahlan. Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski
hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian
juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi
ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai
tuan guru.
Sampai
sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar
secara gaib dengan Kyai Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar
kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan
berziarah serta bermalam di makam beliau. Pernah dikisahkan KH Anwar
Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab
alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa
gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami
kitab-kitab lain.
Kiai
Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua
penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti
dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat
petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Kyai Kholil. Petunjuk
gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di
makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah.
Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah.
Kyai
Kholil paling dituakan dan berkaromah di antara para ulama saat itu.
Yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis,
beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering
beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat
peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Mbah
Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari,
Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua
kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib
yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang
bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di
tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan
mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah
menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat
konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.
Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir
tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama
yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan.
Karomah
lain dari Kyai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa
berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa
aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil
melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung
beliau basah kuyub. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek,
tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki
itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan
Kyai Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di
tengah laut, langsung ditolong Kyai Kholil. Kedatangan nelayan itu
membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Kyai Kholil dapat pesan
agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah.
Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan
membantu si nelayan itu.
***
Hari Selasa, 27 Januari 1820 atau 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H/ 11
Jamadilakhir 1235 Hijrah di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur Abd Al-Latif,
seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan,Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan
kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya
lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad
Kholil.
Kiai
‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi
pemimpin ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga
kanan dan meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon
kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
KH.
Kholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif,
mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif
adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir
ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai
‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung
Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambakan anaknya kelak
bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung
keturunannya.
Oleh
ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu
Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik
Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda.
Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu
yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren
untuk menimba ilmu.
Mengawali
pengembaraannya, sekitar tahun 1850 an, Kholil muda berguru pada Kiai
Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri
di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke
Pesantren Keboncandi, Pasuruan.
Selama
di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih
terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri
sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Kholil rela
melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di
setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa
membaca Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya
itu- khatam berkali-kali.
Sebenarnya,
bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur
Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di
Keboncandi, meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari
segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang
diperoleh ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain
mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup
luas, dan dari hasil pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun,
durian, rambutan dan lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu
membiayai Kholil selama nyantri.
Akan
tetapi, Kholil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau
merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Kholil
tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik inulah Kholil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kemandirian
Kholil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah.
Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua
santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Kholil tidak
menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada
kedua orangtuanya.
Kemudian,
setelah Kholil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena,
pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas.
Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Kholil nyambi menjadi “buruh”
pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah
2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk
makan, Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan
melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak
teman-temannya, dari situlah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya,
pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah
menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos
pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di
Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Kholil
berpuasa. Hal tersebut dilakukan Kholil bukan dalam rangka menghemat
uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar
perjalanannya selamat.
Sebagai
pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut
orang Indonesia) pada umumnya, Kholil belajar pada para syekh dari
berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya
untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu,
tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang
bermazhab Syafi’i.
Kebiasaan
hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama
di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang
makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup
mengherankan. Teman seangkatan Kholil antara lain: Syekh Nawawi
Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin
Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap
keprihatinan temannya itu. Padahal, sepengetahuan teman-temannya, Kholil
tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal
pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah,
terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga
memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi). Meskipun bisa
mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi
ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang
dikagumi dan menjadi panutannya.
Sepulangnya
dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) ,
Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada
akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat
memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai
al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Kholil dapat
mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer
Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari
hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya.
Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya
sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian
diserahkan kepada menantunya. Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren
lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter
sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang
baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa
kelahirannya.
Di
tempat yang baru ini, Kiai Kholil juga cepat memperoleh santri lagi,
bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau
Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim
Asy’ari, dari Jombang.
Di
sisi lain, Kiai Kholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu
Alat (nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang
“waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan
dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Kholil lebih dikenal.
***
Pada
masa hidup Kiai Kholil, Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di
Madura. Kiai Kholil adalah ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang
menyebutkan kepada siapa Kiai Kholil belajar Tarekat. Tapi, diyakini
ada silsilah bahwa Kiai Kholil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari
Bangkalan — ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah.
Masa
hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap
penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan
perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam
bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi
pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas,
baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya
pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di
antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara
yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka,
melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini
tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi
kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak
keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika
pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan para
pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah
membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak
bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara,
sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan
diri.
Di
hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi
makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan
bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya
merelakan Kiai Kholil untuk di bebaskan saja.
Peran
Kiai Kholil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan
lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H.
Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian,
satu yang perlu digarisbawahi bahwa Kiai Kholil bukanlah tokoh sentral
dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas
kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada
tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang
bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah
seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab
Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak
dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai
praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.
Pada
perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin
mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar
daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan,
Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu.
Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan
cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari;
Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun,
Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide
tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat
istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung
datang.
Sementara
itu, Kiai Kholil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab,
diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan
meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil
untuk menghadap kepadanya.
“Saat
ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini
kepadanya.” Kata Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik,
Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu. Bacakanlah kepada
Kiai Hasyim AYAT 17-23 QS THAHA
As’ad
segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah
berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan
Kiai Kholil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata
dugaan tersebut benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk
mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad,
pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat,
dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada
lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab
As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Kholil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya
menerawang, terbayang wajah Kiai Kholil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim
menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan
teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk
mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun
Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari,
pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai juga diminta untuk
mengamalkan asmak YA JABBAR, YA QAHHAR (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.
Sekali
lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya
semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah
itu, Kiai Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah
belum juga bisa terwujud.
Baru
setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang
ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”. Tapi,
bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Kholil
untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak
bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Kholil,
seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
***
Kiai
Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab
saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih
mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai
Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya
Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu.
Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa
sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah
wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi,
tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Kholil dalam
tarekat, terbukti bahwa Kiai Kholil dikenal pertamakali dikarenakan
kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi
ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di
sisi lain, Kiai Kholil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat
menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu
melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai
Kholil. Memang, Kiai Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu
gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan
memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Kholil. Namun
demikian, perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang
lainnya; bahwa Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun
menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat.
Kiai Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya
(tarekat dan Fiqh).
Dalam
penggabungan dua hal ini, Kiai Kholil menundukkan tarekat di bawah
Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan
tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi
ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah,
tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun
pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Kholil tersebut.
Dalam
bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan
tentang karya Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak
sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada
pun peninggalan Kiai Kholil diantaranya: Pertama, Kiai Kholil turut
melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai
pendidikan alternatif bagi Masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan
Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari
golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah.
Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan
terhitung sangat banyak santri Kiai Kholil yang setelah lulus,
mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng),
Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum
(Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri
Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Kholil, banyak murid-murid
yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua,
selain Pesantren yang Kiai Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga
meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik,
sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat. K.H. Muhammad Kholil,
adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh
pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh
pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Kholil,
yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Kholil
***
Istilah
karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh
Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara
luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan
pengakuan seorang Nabi.
Ketika
Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada seorang
kiai yang sangat sakti mandraguna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin
sekali belajar kepada Abu Darin. Semangat untuk menimba ilmu itu
begitu menggebu-gebu pada dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu
jauh dari Bangkalan di Pulau Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak
dianggapnya sebagai rintangan berarti, meski harus berjalan kaki.
Namun
apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tempat
kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat.
Dia meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda.
Habislah harapannya untuk mewujudkan cita-citanya berguru kepada kiai
yang mempunyai ilmu tinggi tersebut.
Dengan
langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya
Kholil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Darin. Di depan pusara Kiai
Darin, Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang
ke-41, ketika Kholil tengah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir
dalam mimpinya.
Dalam
kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk belajar
sungguh terpuji. Telah aku ajarkan kepadamu beberapa ilmu, maka
peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal
kandungan kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pesantren itu. Subhanallah.
Pada
kisah yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya dari
musibah, padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon santri di
tengah Alas Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut
cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia berangkat dari
Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Madura,
untuk berguru kepada Kiai Kholil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa
kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang,
serta thithikan, alat pemantik api yang terbuat dari batu.
Setelah
berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai,
mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.
Hutan
itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya.
Pohon-pohon yang ada di hutan itu besar-besar, semak belukar sangat
tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Namun yang lebih menyeramkan,
banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok
yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsanya kalau melawan.
Menjelang
malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tempat untuk
tidur, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena tampangnya
biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu
kemudian bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.
Namun
setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu
halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin
kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut ke
mulutnya lalu menggigitnya sehingga pecah menjadi dua.
Terbelalak
mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki
itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik
orang itu. Amin, yang paling berani di antara mereka, menjawab, “Kalau
barang-barang kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke
Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas.
“Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada
Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak
laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa. Wajahnya pucat
pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?”
“Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka gembira karena
merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu,
serahkan semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kalian tidur saja
di sini, dan aku akan menjaga kalian semalaman.”
Makin
ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaringkan
badan tapi mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut seakan sudah
dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu
mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya
para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hutan ini agar
tidak diganggu oleh perampok lain,” jawabnya tampak ramah.
Dalam
hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum
pertanyaan itu terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku
rampok, dan menjual kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli
kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri
saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru
saya pernah dikalahkan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”
Maka
enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan.
Terlebih lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai
Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemimpin pesantren
tersebut.
Pada
waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di
daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya
terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai
daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang
mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala
perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu
Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi
itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan,
ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya.
Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin.
Namun
karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke
makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu
mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih
ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil
menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian
bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari
lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam
mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya
kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta
dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Suatu
hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya.
Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok
pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada
macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri
mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat
hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan
semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak
juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak
berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya
di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam
itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak
memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan….macan.., ayo kita
kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang
komandan di medan perang. Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua
santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit,
tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai
nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu
langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu
menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu
memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran
ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.
Baru
pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren
secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang
disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan
surau. Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang dan
membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu
dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu
alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai
santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak
kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama
KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat,
pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab
Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan
maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh
Kholil.
Dan
diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak
bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh
berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam
Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan
Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa
sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang
ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah
merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang
ajar itu.
Subuh
itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di
belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil
menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua
santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti
itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak
hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai
Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah
diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam
kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat
subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di
belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah
sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah
menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat
diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang
sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga
serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan
baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan
rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan
itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar
dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar
melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan
buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada
di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai
Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap
santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung
halamannya.
Memang
benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu
Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah
pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai
Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok
Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Suatu
hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami
jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai
Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang
Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil
menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang
Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai
Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang
fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib
dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat
wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai
sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru
saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya
macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang
fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib
mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun
macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat
wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya
penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata
yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang
dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul
bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai
Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan
bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana
penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Suatu
Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama,
manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’,
maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah
‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya
sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Kholil
bangkalan.
Ketika
itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk
didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola
sontak saja kiyahi Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki
yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Kholil bangkalan menyambut kedatangan
Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak
perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah
maaliki yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika
menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir
Thabari.
Suatu
hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri
menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa
Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah
melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan
tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil,
memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar.
Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam
yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu
sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror
Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai
Kholil Bangkalan.
Di
Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia. Pada
suatu hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali
sowan (berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu bagus
sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh kepada Kyai
Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,” jawab
isterinya. “Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita bawa. Asalkan kita
ikhlas, Insya Allah akan diterima,” tegas sang suami meyakinkan
isterinya.
Maka
berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan berbekal
tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai Kholil
dengan baik. Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis talas.
Sesampainya di kediaman Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu. Mereka
disambut dengan hangat. “Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah
bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami rada
malu-malu.
“Wah
kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil
menghibur. Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan
menyuruhnya untuk merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama
setelah itu, santri datang membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai
Kholil kelihatan sangat senang dan suka terhadap bentul itu, lalu
dimakannya sampai habis.
Suami-isteri
yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang
dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari kemudian,
suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai Kholil. Masih segar di
ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai Kholil. Kali ini, tidak
seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh bentul sebanyak-banyaknya
dengan harapan Kyai Kholil sangat senang menerimanya. Maka berangkatlah
suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak seperti dahulu,
dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu juga dengan
oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima oleh-olehnya dan
disuruh bawa pulang kembali.
Pada
saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama
ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata
karena keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua
tidak dilanda ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas
kekuatannya sendiri dan merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh kepada
kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.
Suatu
hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara bersamaan.
Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan
apa?” “Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi
terus-menerus,” ucap tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil menjawab,
“Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca istighfar,”
pesan kyai mantap. Kemudian kyai bertanya kepada tamu kedua:“Sampeyan
ada keperluan apa?” “Saya sudah berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai
saat ini masih belum diberi keturunan,” kata tamu kedua. Setelah
memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin
punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas kyai.
Kini,
tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan ada
keperluan apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya
makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang ketiga,
dengan raut muka serius. “Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi
hutangmu, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai kepada tamu yang
terakhir.
Berapa
murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Masalah yang
berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama, yaitu menyuruh
memperbanyak membaca istighfar.
Kyai
Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang, maka
dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai Kholil
membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.
Mendengar
jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu memang
merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca istighfar.
Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya semuanya
berhasil apa yang dihajatkan.
Karomah
lain KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan
sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan
dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun
itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk
sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana
biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut bernama
Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak. “Wa’alaikum salam wr.wb.,
“ Jawab Kiai Kholil. Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai
bertanya : “Sampean ada keperluan, ya?” “Benar, Kiai. Akhir-akhir ini
ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai
penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap. Ketika itu,
kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun”
yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil
berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”. “Ya.., Karena
pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai
penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap. “Sudah, pak Kiai?” Ujar
para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya. “Ya sudah.” Jawab Kiai
Kholil menandaskan.
Mereka
puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke
rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari
Kiai Kholil. Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun
pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat
pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus
tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini
merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan
ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah
dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan
muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan
wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai
Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.
Begitu
obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk
seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak
akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk
pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi
aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka
menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren
berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran
timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren
dipenuhi dengan timun.
Karomah
lain Kyai Kholil terjadi pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu,
satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke
kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada
suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap
istrinya dengan memelas. “Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum
berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab suaminya sambil
bergegas di luar kapal. Setelah suaminya mencari anggur di sekitar
ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun.
Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya
tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga.
Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak
bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun
betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi
semakin lama semakin menjauh.
Sedih
sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti
diperbuat. Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang
laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu
kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu
!” ucapnya dengan tenang. “Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia, kenapa
harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu
pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. “Segeralah ke Kiai kholil
minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya
Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan. Tanpa pikir panjang lagi,
berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di
kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya : “Ada keperluan
apa?” Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai
awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba
Kiai berkata : “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai
pelabuhan. Sana pergi!” Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki
tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah
bertemu Kiai Kholil ?” “Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan”
katanya dengan nada putus asa. “Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap
orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang
malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai
berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik
kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan. “Tapi ada
syaratnya.” Ucap Kiai Kholil. “Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab
orang itu dengan sungguh-sungguh. Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini,
kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada
orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?”
pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam. “Sanggup, Kiai, “ jawabnya
spontan. “Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu
rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil. Lalu sang suami melaksanakan perintah
Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya
pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu
yang sedang berjalan.
Takjub
heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di
salah satu ruang kapal. “Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh
sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan
seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru
saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami
selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa
beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan
seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Beliau
berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun.
Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar
berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di
Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding
makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren
di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada
menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi
pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi
santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab
Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.
Kiyai
Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang
waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau,
Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah”
mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya
seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi
banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak
heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah
ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan
1343H dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14
Mei 1923 Masehi. Mari kita sampaikan untuknya…. AL FATIHAH…………..
@@@@
Rahmat_Mjeh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar