adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Ci Serayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda
yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, ceritera
mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang
menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini
diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Tarusbawa,
menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara.
Karena Tarubawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak
Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Daftar isi
Kerajaan kembar
Wretikandayun mempunyai tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.
Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan
Purbasora. Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai
terseret ke perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah).
Sedangkan dari istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja
Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama
Sannaha. Sannaha dan Sena lantas menikah, dan mempunyai putra yang
bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).
Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709),
kemudian diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari
Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena
(tahun 716).
Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di
sebelah timur, dan menikah dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi
Padmahariwangsa, raja Indraprahasta.
Raja-raja Galuh
Raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh:
- Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
- Mandiminyak (702-709)
- Séna/Sannaha (709-716)
- Purbasora (716-723)
- Rakeyan Jambri/Sanjaya/Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda
- Tamperan Barmawijaya (732-739)
- Rahiyang Banga (739-746)
- Rakeyan ri Medang (746-753)
- Rakeyan Diwus (753-777)
- Rakeyan Wuwus (777-849)
- Sang Hujung Carian (849-852)
- Rakeyan Gendang (852-875)
- Dewa Sanghiyang (875-882)
- Prabu Sanghiyang (882-893)
- Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
- Sang Lumahing Winduraja (900-923)
- Sang Lumahing Kreta (923-1015)
- Sang Lumahing Winduruja (1015-1033)
- Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
- Sang Lumahing Taman (1183-1189)
- Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
- Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
- Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
- Aki Kolot (1229-1239)
- Prabu Maharaja (1239-1246)
Wilayah Galuh di Masa Hindia-Belanda
Kabupaten Galuh Ciamis, kejayaan zaman Kangjeng Prabu
Kangjeng Prabu sebagai bupati Galuh yang keenambelas ini paling
ternama. Ia mempunyai ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di
wilayah itu yang bisa membaca huruf latin. Memerintah dengan adil
disertai dengan kecintaannya pada rakyat. Empat puluh tujuh tahun
lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin Galuh Ciamis (1839-1886).
Pemerintah kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam Paksa. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah dilaksanakan juga apa yang disebut Preangerstelsel
atau sistem Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai
sekarang terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan", gambaran seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja dalam tanam paksa. Dari Preangerstelsel, di tempat lain dimekarkan menjadi Culturstelsel.
Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa
harus ditanam olah rakyat, tapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan insiden Van Pabst yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.
Mulai Berkebun Kelapa
Tentu saja Kangjeng Prabu bersedih hati dan prihatin menyaksikan
rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan nila, sementara hasilnya
diambil oleh Belanda.
Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja,
meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus
kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran
tembang sedih Dengkleung Dengdek. Tertulis dalam majalah Mangle,
almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di
perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle
adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya
tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah
lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek oleh administratur itu.
Kangjeng prabu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan
rakyat tersiksa oleh pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa
rakyat, agar selama bekerja tanam paksa tidak sampai perasaan kehilangan
kerabat itu mengharu biru setiap waktu, dilakukanlah pembangunan berupa
pembuatan beberapa saluran air dan bendungan, yang sekarang disebut
saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh. Sampai kini masih
ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun 1839, Cikatomas tahun 1842, Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru (berarti Naga biru) dibangun tahun 1843, dan saluran air Wangunreja tahun 1862.
Selanjutnya bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa
tidur sebelum berbakti pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan
kebun kelapa di berbagai tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap
pengantin lelaki saat seserahan diwajibkan untuk membawa tunas
kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman rumah tempat mereka
mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
Dari zaman Kangjeng prabu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan produksinya yang menumpuk (ngahunyud)
di setiap pelosok kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis
tersohor menjadi gudang kelapa paling makmur di Priangan timur. Banyak
pabrik minyak kelapa didirikan oleh para pengusaha, terutama Cina. Yang
paling tersohor adalah Gwan Hien, yang oleh lidah orang Galuh
menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang yang
terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat
Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga
yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit
dan minyak goreng jenis lainnya.
Sekolah Sunda
Dari tahun 1853
Kangjeng prabu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati
yang kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektare,
dengan kolam ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian
lain dari keraton, ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek
keraton juga ada mesjid. Tahun 1872
di komplek keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga
Bupati. Di sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan.
Dulu tidak ada yang berani melanggarnya, orang Galuh percaya air situ
itu mengandung khasiat seperti yang dituliskan oleh Kangjeng prabu dalam
guguritan yang dibuatnya, "Jamban tinakdir Yang Agung, caina
tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh Ciamis, Aria
Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning." Artinya kurang lebih,
"Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh penyakit, amal jariah
saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng
kuning."
Menurut para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng prabu, zaman dulu guguritan
yang disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak
sekolah rakyat. Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati,
Kanjeng prabu juga membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana
lainnya. Antara tahun 1859 sampai 1877
pembangunan berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung
pemerintahan kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang,
menghadap utara. Lantas gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang
menjadi gedung negara atau gedung kabupaten, sekaligus tempat tinggal
Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah markas militer, rumah
pemasyarakatan, mesjid agung, gedung kantor telepon.
Tampaknya Kangjeng prabu sama sekali tidak melupakan satu pun
kepentingan masyarakat. Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa Perancis
ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati,
sengaja dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor
kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa Belanda. Tahun 1862, Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar Sunda.
Dalam upaya menyebarkan agama Islam,
Kangjeng prabu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya
menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan
sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng prabu sengaja
suka mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta
masyarakat.
Dalam kumpulan seperti itulah ia mengajak rakyatnya supaya mereka
setiap akan pergi ke pengajian dan perkumpulan, membawa arca yang ada di
rumahnya masing-masing. "Kita satukan dengan arca kepunyaan saya,"
katanya. Rakyat setuju saja diminta membawa arca seperti itu dan dengan
jujur mengakui bahwa di rumahnya memiliki arca. Dengan demikian, tanpa
memakan waktu yang lama, sudah tidak ada lagi arca yang disimpan di
rumah-rumah rakyat. Masyarakat beribadah dengan sungguh-sungguh memuji
keagungan Allah. Islam mekar memancar seputaran Galuh. Sementara
arca-arca yang dikumpulkan rakyat, ditumpuk begitu saja di Jambansari.
Sekelilingnya ditanami pepohonan yang rimbun. Itu sebabnya sampai
sekarang banyak arca di pemakaman Kangjeng prabu di Selagangga.
Kangjeng prabu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa
membaca aksara latin, juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut
ceritera yang berkembang di masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng prabu
juga menguasai makhluk gaib yang di Ciamis terkenal disebut onom. Tahun 1861,
jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga,
dari Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai
Yogyakarta. Kangjeng prabu segera mengajukan permohonan, supaya jalan
kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya
melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya memang jadi
membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan
Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu. Walaupun
stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tapi Ciamis sampai kini
dilewati jalan kereta api, diantaranya kereta api Galuh.
Tahun 1886 Kangjeng prabu lengser kaprabon,
jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria
Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng prabu tidak hanya
mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus
berbenah dan membangun Galuh Ciamis. Masih pada zamannya berkuasa,
Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya tahun 1870.
Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta, diantaranya
Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang, dan
Sindangrasa.
Tahun 1915 Kabupaten Galuh secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan, dan sebutannya menjadi Kabupaten Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima karesidenan, 18 Kabupaten dan enam kotapraja. Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
Di lokasi keraton Selagangga, Kangjeng prabu juga membuat mesjid
megah. Orang yang dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah
Haji Abdul Karim. Untuk pemekaran agama Islam, Bupati Galuh
memerintahkan para Kepala Desa supaya di tiap desanya didirikan mesjid,
selain untuk ibadah secara umum, juga untuk anak-anak dan remaja belajar
mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun mental spiritual
masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para remaja.
Peninggalan Kangjeng prabu
Namun kini yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang
tinggal secuil. Situ yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya
barang sedikitpun. Padahal dulu ada dua situ, di sebelah barat dan
timur. Sekarang sudah berubah menjadi perkampungan. Tanah yang dulu
menjadi milik anak dan cucu Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
Pemakaman Kangjeng prabu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara
oleh Yayasan yang dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke
belakang, sempat terlantar kurang terurus karena tiadanya biaya.
Jambansari hampir hilang terkubur ilalang. Maka didatangilah rumah
keluarga Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia di Jakarta yang saat itu dijabat Ir. Radinal Muchtar.
Oleh keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta
diangkat lagi martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak
Galuh Ciamis, keturunan Kangjeng prabu. Jadi masih merasa perlu
bertanggungjawab untuk memelihara pemakanam dan komplek Jambansari yang
oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan.
Ada yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis,
terutama yang bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek
pemakanan dan Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya
menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan mengikuti nama pimpinan Muhammadiyah.
Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ
ada peninggalan Kangjeng prabu yang dirasa telah besar jasanya dalam
sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan,
mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk
mengenang Kanjeng prabu yang memiliki keraton di tempat itu, memimpin
Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa
(Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang
bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.
Peninggalah Kerajaan Galuh
Keberadaan Kerajaan Galuh diketahui melalui sumber-sumber sejarah baik yang berupa prasasti, candi maupun artefak lainnya.
Prasasti dari masa Kerajaan Galuh
Kepurbakalaan peninggalan Kerajaan Galuh
No. | Kawasan | Situs | Artefak | Koordinat |
---|---|---|---|---|
1. | Sumedang | Gunung Tampomas (Cimalaka) | Teras berundak | 108°05’BT, 06°47’LS, ±1020m dpl |
Batu Kukus | ||||
Pabeasan | ||||
Astanagede (Darmaraja) | Teras Berundak | 108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl | ||
Embah Jalul | ||||
Lembu Agung | ||||
Dalem Demang | ||||
Astana Cipeueut (Darmaraja) | Teras berundak | 108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl | ||
2. | Garut | Cangkuan (Pulo-Leles) | Struktur bangunan | 107°55’BT, 07°06’LS, ±704m dpl |
arca Nandi, Siwa, | ||||
Siwaguru | ||||
Neolitik | ||||
Megalitik | ||||
Ranca Gabus (Cibeureum) | Teras Berundak (di 8 bukit) | 107°57’BT, 07°07’LS, ±702m dpl | ||
Pasir Lulumpang (13 teras) | ||||
Pasir Kiarapayung (10 teras) | ||||
Pasir Tengah (15 teras) | ||||
Pasir Kolecer (13 teras) | ||||
Pasir Astaria (19 teras) | ||||
Pasir Luhur (15 teras) | ||||
Pasir Gintung (12 teras) | ||||
Pasir Tunjung (19 teras) | ||||
3. | Tasik Malaya | Indihiyang | struktur bangunan | 108°12’BT, 07°11’LS, ±420m dpl |
Sisa fondasi | ||||
Lingga-yoni | ||||
Lumpang, umpak | ||||
Batu | ||||
4. | Ciamis | Batu Kalde (Pangandaran) | struktur bangunan | 108°39’BT, 07°34’LS, ±03m dpl |
Kanduruan (Batulawang-Banjar) | serakan batu | 108°32’ BT, 07°24’LS, ±43m dpl | ||
Menhir | ||||
Stone-Cist | ||||
Kalipucang | struktur batu | 108°45’BT, 07°39’LS, ±50m dpl | ||
Arca yoni, Nandi | ||||
Lingga | ||||
Ronggeng | struktur bangunan | 108°29’BT, 07°24’LS, ±98m dpl | ||
Lingga, Yoni, Nandi | ||||
Karang Kamulyan (Cisaga) | Batu Pangcalikan | 108°29’BT, 07°21’LS, ±40m dpl | ||
Sanghiyang Bedil | ||||
Panyambungan Hayam | ||||
Lamban Peribadatan | ||||
Cikahuripan | ||||
Panyandaan | ||||
Sri Bagawat Pohaci | ||||
Pamangkonan | ||||
Makam Adipati Panaekan | ||||
Gunung Padang (Cikoneng) | Teras berundak (5 teras) | 108°16’BT, 07°17’LS, ±430m dpl | ||
Mata air | ||||
Kawali (Kawali) | Teras berundak (5 teras) | 108°23’BT, 07°11’LS, ±415m dpl | ||
Prasasti batu (6 prasasti) | ||||
Batu Tapak | ||||
Batu Pangeunteungan | ||||
Batu Panyandaan | ||||
Batu Panyandungan | ||||
Sejumlah besar menhir | ||||
Kerakal andesit | ||||
5. | Kuningan (Ciniru) | Sukasari | Lapik persegi | 108°30' BT, 07° 03' LS, ± 310 m dpl |
Yoni, Lumpang | ||||
Susukan (Ciawigebang) | Lapik persegi | 108°34'BT, 06° 57' LS, ± 303 m dpl | ||
Yoni, meja batu (?) | ||||
Ciarca (Darma) | serakan batu | 108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl | ||
Lapik, Yoni | ||||
menhir | ||||
Hululingga | Teras berundak | 108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl |
Rujukan
- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
- Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar