Selasa, 23 September 2014

Kerajaan Galuh

 adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Ci Serayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, ceritera mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Tarusbawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarubawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Kerajaan kembar

Wretikandayun mempunyai tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.
Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora. Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lantas menikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).
Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709), kemudian diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun 716). Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan menikah dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi Padmahariwangsa, raja Indraprahasta.

Raja-raja Galuh

Raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh:
  1. Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
  2. Mandiminyak (702-709)
  3. Séna/Sannaha (709-716)
  4. Purbasora (716-723)
  5. Rakeyan Jambri/Sanjaya/Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda
  6. Tamperan Barmawijaya (732-739)
  7. Rahiyang Banga (739-746)
  8. Rakeyan ri Medang (746-753)
  9. Rakeyan Diwus (753-777)
  10. Rakeyan Wuwus (777-849)
  11. Sang Hujung Carian (849-852)
  12. Rakeyan Gendang (852-875)
  13. Dewa Sanghiyang (875-882)
  14. Prabu Sanghiyang (882-893)
  15. Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
  16. Sang Lumahing Winduraja (900-923)
  17. Sang Lumahing Kreta (923-1015)
  18. Sang Lumahing Winduruja (1015-1033)
  19. Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
  20. Sang Lumahing Taman (1183-1189)
  21. Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
  22. Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
  23. Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
  24. Aki Kolot (1229-1239)
  25. Prabu Maharaja (1239-1246)

Wilayah Galuh di Masa Hindia-Belanda

Kabupaten Galuh Ciamis, kejayaan zaman Kangjeng Prabu

Kangjeng Prabu sebagai bupati Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di wilayah itu yang bisa membaca huruf latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat. Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin Galuh Ciamis (1839-1886).
Pemerintah kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam Paksa. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah dilaksanakan juga apa yang disebut Preangerstelsel atau sistem Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan", gambaran seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja dalam tanam paksa. Dari Preangerstelsel, di tempat lain dimekarkan menjadi Culturstelsel. Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa harus ditanam olah rakyat, tapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan insiden Van Pabst yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.

Mulai Berkebun Kelapa

Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Tentu saja Kangjeng Prabu bersedih hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan nila, sementara hasilnya diambil oleh Belanda. Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja, meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran tembang sedih Dengkleung Dengdek. Tertulis dalam majalah Mangle, almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek oleh administratur itu.
Kangjeng prabu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap waktu, dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air dan bendungan, yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh. Sampai kini masih ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun 1839, Cikatomas tahun 1842, Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru (berarti Naga biru) dibangun tahun 1843, dan saluran air Wangunreja tahun 1862.
Selanjutnya bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat seserahan diwajibkan untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
Dari zaman Kangjeng prabu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan produksinya yang menumpuk (ngahunyud) di setiap pelosok kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa paling makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor adalah Gwan Hien, yang oleh lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit dan minyak goreng jenis lainnya.

Sekolah Sunda

Raden Aria Koesoemadininggrat, regent (bupati) Galuh (1879)
Dari tahun 1853 Kangjeng prabu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati yang kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektare, dengan kolam ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain dari keraton, ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek keraton juga ada mesjid. Tahun 1872 di komplek keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga Bupati. Di sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan. Dulu tidak ada yang berani melanggarnya, orang Galuh percaya air situ itu mengandung khasiat seperti yang dituliskan oleh Kangjeng prabu dalam guguritan yang dibuatnya, "Jamban tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning." Artinya kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh penyakit, amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning."
Menurut para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng prabu, zaman dulu guguritan yang disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah rakyat. Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng prabu juga membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana lainnya. Antara tahun 1859 sampai 1877 pembangunan berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap utara. Lantas gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung negara atau gedung kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah markas militer, rumah pemasyarakatan, mesjid agung, gedung kantor telepon.
Tampaknya Kangjeng prabu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat. Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa Perancis ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati, sengaja dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa Belanda. Tahun 1862, Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar Sunda.
Dalam upaya menyebarkan agama Islam, Kangjeng prabu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng prabu sengaja suka mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta masyarakat.
Dalam kumpulan seperti itulah ia mengajak rakyatnya supaya mereka setiap akan pergi ke pengajian dan perkumpulan, membawa arca yang ada di rumahnya masing-masing. "Kita satukan dengan arca kepunyaan saya," katanya. Rakyat setuju saja diminta membawa arca seperti itu dan dengan jujur mengakui bahwa di rumahnya memiliki arca. Dengan demikian, tanpa memakan waktu yang lama, sudah tidak ada lagi arca yang disimpan di rumah-rumah rakyat. Masyarakat beribadah dengan sungguh-sungguh memuji keagungan Allah. Islam mekar memancar seputaran Galuh. Sementara arca-arca yang dikumpulkan rakyat, ditumpuk begitu saja di Jambansari. Sekelilingnya ditanami pepohonan yang rimbun. Itu sebabnya sampai sekarang banyak arca di pemakaman Kangjeng prabu di Selagangga.
Kangjeng prabu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin, juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng prabu juga menguasai makhluk gaib yang di Ciamis terkenal disebut onom. Tahun 1861, jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta. Kangjeng prabu segera mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu. Walaupun stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tapi Ciamis sampai kini dilewati jalan kereta api, diantaranya kereta api Galuh.
Tahun 1886 Kangjeng prabu lengser kaprabon, jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng prabu tidak hanya mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah dan membangun Galuh Ciamis. Masih pada zamannya berkuasa, Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya tahun 1870. Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta, diantaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang, dan Sindangrasa.
Tahun 1915 Kabupaten Galuh secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan, dan sebutannya menjadi Kabupaten Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima karesidenan, 18 Kabupaten dan enam kotapraja. Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
Di lokasi keraton Selagangga, Kangjeng prabu juga membuat mesjid megah. Orang yang dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim. Untuk pemekaran agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di tiap desanya didirikan mesjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para remaja.

Peninggalan Kangjeng prabu

Namun kini yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil. Situ yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun. Padahal dulu ada dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah menjadi perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
Pemakaman Kangjeng prabu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara oleh Yayasan yang dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke belakang, sempat terlantar kurang terurus karena tiadanya biaya. Jambansari hampir hilang terkubur ilalang. Maka didatangilah rumah keluarga Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia di Jakarta yang saat itu dijabat Ir. Radinal Muchtar. Oleh keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta diangkat lagi martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak Galuh Ciamis, keturunan Kangjeng prabu. Jadi masih merasa perlu bertanggungjawab untuk memelihara pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan.
Ada yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan mengikuti nama pimpinan Muhammadiyah. Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada peninggalan Kangjeng prabu yang dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk mengenang Kanjeng prabu yang memiliki keraton di tempat itu, memimpin Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa (Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.

Peninggalah Kerajaan Galuh

Keberadaan Kerajaan Galuh diketahui melalui sumber-sumber sejarah baik yang berupa prasasti, candi maupun artefak lainnya.

Candi Cangkuang, salah satu warisan dari Kerajaan Galuh

Prasasti dari masa Kerajaan Galuh

Kepurbakalaan peninggalan Kerajaan Galuh

No. Kawasan Situs Artefak Koordinat
1. Sumedang Gunung Tampomas (Cimalaka) Teras berundak 108°05’BT, 06°47’LS, ±1020m dpl



Batu Kukus



Pabeasan


Astanagede (Darmaraja) Teras Berundak 108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl



Embah Jalul



Lembu Agung



Dalem Demang


Astana Cipeueut (Darmaraja) Teras berundak 108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl
2. Garut Cangkuan (Pulo-Leles) Struktur bangunan 107°55’BT, 07°06’LS, ±704m dpl



arca Nandi, Siwa,



Siwaguru



Neolitik



Megalitik


Ranca Gabus (Cibeureum) Teras Berundak (di 8 bukit) 107°57’BT, 07°07’LS, ±702m dpl



Pasir Lulumpang (13 teras)



Pasir Kiarapayung (10 teras)



Pasir Tengah (15 teras)



Pasir Kolecer (13 teras)



Pasir Astaria (19 teras)



Pasir Luhur (15 teras)



Pasir Gintung (12 teras)



Pasir Tunjung (19 teras)
3. Tasik Malaya Indihiyang struktur bangunan 108°12’BT, 07°11’LS, ±420m dpl



Sisa fondasi



Lingga-yoni



Lumpang, umpak



Batu
4. Ciamis Batu Kalde (Pangandaran) struktur bangunan 108°39’BT, 07°34’LS, ±03m dpl


Kanduruan (Batulawang-Banjar) serakan batu 108°32’ BT, 07°24’LS, ±43m dpl



Menhir



Stone-Cist


Kalipucang struktur batu 108°45’BT, 07°39’LS, ±50m dpl



Arca yoni, Nandi



Lingga


Ronggeng struktur bangunan 108°29’BT, 07°24’LS, ±98m dpl



Lingga, Yoni, Nandi


Karang Kamulyan (Cisaga) Batu Pangcalikan 108°29’BT, 07°21’LS, ±40m dpl



Sanghiyang Bedil



Panyambungan Hayam



Lamban Peribadatan



Cikahuripan



Panyandaan



Sri Bagawat Pohaci



Pamangkonan



Makam Adipati Panaekan


Gunung Padang (Cikoneng) Teras berundak (5 teras) 108°16’BT, 07°17’LS, ±430m dpl



Mata air


Kawali (Kawali) Teras berundak (5 teras) 108°23’BT, 07°11’LS, ±415m dpl



Prasasti batu (6 prasasti)



Batu Tapak



Batu Pangeunteungan



Batu Panyandaan



Batu Panyandungan



Sejumlah besar menhir



Kerakal andesit
5. Kuningan (Ciniru) Sukasari Lapik persegi 108°30' BT, 07° 03' LS, ± 310 m dpl



Yoni, Lumpang


Susukan (Ciawigebang) Lapik persegi 108°34'BT, 06° 57' LS, ± 303 m dpl



Yoni, meja batu (?)


Ciarca (Darma) serakan batu 108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl



Lapik, Yoni



menhir


HululinggaTeras berundak108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl

Rujukan

  • Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
  • Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
  • Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
  1. Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
  • Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Pranala luar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar