Syekh Maulana
Mansyuruddin memiliki banyak nama sebutan. Diantaranya Sultan Abu Nasri,
Sultan Abdul Kohar, Abdul Shaleh, dan Sultan Haji. Sultan Syekh Mansyur
adalah putera Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Pada tahun 1651 M,
Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa berhenti sebagai kesultanan atau raja
Banten ke enam. Lalu digantikan kepada Syekh Maulana Mansyuruddin
sebagai sultan ke tujuh.
Semasa
kesultanannya, Syekh Maulana Mansyuruddin telah mengunjungi beberapa
Negara. Setelah dua tahun menjabat, Syekh Maulana Mansyuruddin berangkat
ke Iraq untuk mendirikan tanah Banten di Bagdad, sehingga untuk
sementara kesultanannya diserahkan kepada puteranya Adipati Ishaq atau
Sultan Abdul Fadhli. Sebelum keberangkatannya ke Iraq, ayahnya
memberikan wasiat agar ia tidak singgah kemana-mana sebelum pergi ke
Iraq, terkecuali jika ke Mekkah. Namun ternyata setibanya Di Bagdad,
Syekh Maulana Mansyur uddin
tidak bisa
mendirikan tanah Banten. Di dalam perjalanan pulang, Syekh lupa akan
titah ayahnya, sehingga ia mampir ke pulau Menjeli di kawasan China. Ia
pun menetap di sana selama dua tahun dan menikahi Ratu Jin yang kemudian
dianugerahi satu orang putera.
Selama
ia berada di China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh
Belanda sehingga ia resmi menjadi Sultan Banten. Tetapi Sultan Agung
Abdul Fatah tidak menyetujui karena Sultan Maulana Mansyuruddin masih
hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Bagdad, karena adanya
perbedaan pendapat tersebut akhirnya menyebabkan keributan.
Suatu
saat, ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku sebagai Sultan
Syekh Maulana Mansyuruddin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah.
Orang-orang yang ada di sekitar kesultanan Banten pun mempercayinya,
termasuk Sultan Adipati Ishaq. Ternyata, orang yang mengaku-ngaku Sultan
Maulana Mansyruruddin adalah pendeta keturunan dari Raja Jin yang
menguasai pulau Manjeli di China. Selama menjadi Sultan palsu dan
menyebabkan kekacauan, akhirnya rakyat membenci Sultan dan keluarganya.
Termasuk kepada ayahnya Sultan Agung Andul Fatah. Untuk menghentikan
kekacauan tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh Auliya Allah
yang bernama Pangeran Bu’ang yang merupakan keturunan dari Sultan
Maulana Yusuf (Sultan Banten ke dua). Akhirnya kekacauan dapat
dihentikan setelah adanya peperangan antara Sultan Agung Abdul Fatah
melawan Syekh Maulana Mansyuruddin palsu. Sultan Agung Abdul Fatah dan
Pangeran Bu’ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa. Maka dari
itu, rakyat menyebutnya dengan nama Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa
tersebut terdengar oleh Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli.
Akhirnya ia baru sadar dan teringat akan wasiat ayahnya. Segeralah ia
memutuskan untuk pulang ke Banten. Namun sebelum pulang ke Banten, ia
pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Allah SWT karena merasa
telah melanggar wasiat ayahnya. Setelah itu, ia memohon diberi petunjuk
kepada Allah agar ia dapat kembali ke Banten. Dengan izin Allah SWT,
Syekh Maulana Mansyuruddin menyelam di sumur zam-zam yang kemudian
muncul di daerah Cimanuk Pandeglang yang sedang mengalami masalah besar
karena ada lubang air yang tidak henti-henti mengeluarkan air. Lalu ia
menutupnya lubang itu dengan alquran (pernah di bahas sebelumnya tentang
sejarah Batu Quran). Setelah membereskan kejadian tersebut, ia memohon
ampun kepada Ayahandanya, dan akhirnya ia kembali menjabat sebagai
sultan.
Singkat cerita, setelah ia menyiarkan agama Islam ke berbagai
daerah, ia kembali ke Cikadueun. Dan meninggal dunia pada tahun 1672 M
kemudian dimakamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Sampai sekarang,
tempat pemakaman Syekh Maulana Mansyuruddin sering dikunjungi atau
diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerha dan dikeramatkan.
Penziarah Datang dari Berbagai Daerah
Mula-mula,
tempat keramat ini tidak begitu ramai seperti sekarang. Menurut
Saepulloh, juru pelihara tempat wisata ziarah Cikadueun tersebut
mengatakan sebelumnya hanya kerabat-kerabat atau keturunan Syekh saja
yang datang untuk ziarah. “Dulu hanya orang-orang terdekat saja, tapi
sekarang sudah menjadi tempat ziarah umum, bahkan dari daerah jauh pun
datang beramai-ramai untuk ziarah kesini,” kata bapak kelahiran
Pandeglang, 18 Januari 1969 ini.
Setiap hari, tempat ini selalu
didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah. Seperti dari Jawa,
Sukabumi, Medan, Bogor, dan lain sebagainya. Menurut Saepulloh, selama
dua puluh empat jam ia berjaga-jaga di tempat itu karena pengunjung
selalu berdatangan. Terutama pada bulan-bulan tertentu. Seperti saat
bulan Maulid, bulan Sya’ban, dan bulan Syawal.
Selain untuk
beribadah, pengunjung biasanya membawa air dari tempat ziarah tersebut.
Di tempat wisata ziarah Cikadueun memang ada air yang tidak pernah
habis. Air tersebut ada dalam Gentong Pusaka yang konon mengandung
barokah.
“Air tersebut adalah wasiat dari Syekh Maulana Mansyuruddin,
barokahnya yang tergantung pada kepentingan masing-masing,” ujar bapak
tiga orang anak ini.
Setelah menjadi kawasan wisata ziarah, tempat
ini menjadi sumber mencari rezeki bagi penduduk sekitar dengan
berjualan. Sepanjang jalan menuju tempat ziarah, kita disambut dengan
suguhan jajanan khas Banten seperti Emping, Keceprek, dan ada pula yang
berjualan wewangian dan peci.
“Alhamdulillah, tempat wisata ziarah
ini juga berimbas baik kepada penduduk Cikadueun, seperti berjualan,
ojek juga jadi tidak sepi penumpang, dan lainnya,” lanjut pria yang
telah berpuluhan tahun menjadi juru pelihara.
Syekh Maulana Mansyur - Cikaduen
حِزْبُ النـَّصـْرِ المُبـَارَكِ
لِسـَيـِّدي أبـِي الحـَسـَنِ الشـَّاذلـِي
بـِـسْـمِ اللهِ الرَّحمـنِ الرَّحـيمِ
اللهـُمَّ
بـِسَطـْوَةِ جَبـَروتِ قـَهـْرِكَ وبـِسُرْعـَةِ إغـَاثـَةِ نـَصـْرِكَ
وَبـِغِـيرَتـِكَ لإنـْـتـِهـَاكِ حُرُمَـاتِكَ وَبـِحـِمَايَتِكَ لِـمَن
إحـْـتـَمـَى بـِآياتِكَ أسألـُكَ يا اللهُ يَا سَميعُ يَا قـَريبُ يَا
مُجـِيبُ يَا سَريعُ يَا مُنـْتـَـقِمُ يَا شـَديدَ البَـطـْشِ يَا
جَبََّارُ يَا قـَهـَّارُ يَا مَنْ لا يُعْـجـِزُهُ قـَهـْرُ
الجَبـَابـِرَةِ ولا يَعْظـُمُ عـَلـَيْهِ هَلاكُ المُتـَمَرِّدَةِ مِنَ
المُلوكِ والأكـَاسِرَةِ أن تـَجْـعَلَ كـَيـْدَ مَنْ كـَادَنِي في
نـَحْرِهِ وَمَكـْرَ مَنْ مَكـَرَ بي عَـائِداً عَليهِ وَحُـفـْرَة مَنْ
حَفـَرَ لي وَاقِعاً فيها وَمَنْ نـَصَبَ لي شـَبـَكـَة الخَدَاعِ
إجْعَلـْهُ يا سَيِّدي مُسَاقاً إليها وَمُصَـاداً فيها وَأسِيراً
لـَدَيْهـَا اللهُمَّ بـِحَقِّ كـهيعص إكـْـفِـنـَا هَمَّ العِدا
وَلـَقـِّهـِمْ الرَّدَى وَإجْعـَلهُمْ لِكـُلِّ حَبيبٍ فِداً وَسَلـِّط
عَلـَيـْهـِمْ عَاجـِلَ النـِّقـْمـَةِ في اليَوْمِ والغـَدِ. اللهُمَّ
بَدِّدْ شـَمْلـَهـُمْ، اللهُمَّ فـَرِّق جَمْـعَـهـُم اللهُمَّ أقـْلِلْ
عَدَدَهـُمْ، اللهُمَّ فـُلَّ حَدَّهُمْ، اللهُمَّ إجْعَلْ الدَّائِرَة
عَلـَيـْهـِمْ اللهُمَّ أرْسِلْ العَذابَ إليهـِمْ، اللهُمَّ
أخـْرِجْـهـُمْ عَنْ دَائِرَةِ الحِلـْمِ وَإسْـلـُبـْهـُمْ مَدَدَ
الإمْـهـَالِ وغـُلَّ أيْديَهـُمْ وإرْبـِط عَلـَى قـُلوبـِهـِمْ ولا
تـُبـَلـِّغـْهـُمْ الآمال، اللهُمَّ مَزِّقـْهـُمْ كـُلَّ مُمَزَّقٍ
مَزَّقـْـتـَهُ لأعْدَائِكَ إنـْـتِصـَاراً لأنـْبـِيائِكَ وَرُسُـلِكَ
وَأولِيائِـكَ اللهُمَّ إنـْـتـَصِرْ لنا إنـْـتـِصَـارَكَ لأحْبـَابـِكَ
على أعْدَائِكَ، اللهُمَّ لا تـُمَكـِّنْ الأعْداءَ فينا ولا
تـُسـَلـِطـَهـُمْ عَـلـَيْـنـَا بـِذنوبـِنـَا حم حم حم حـــم حم حم حم
حُـمَّ الأمْرُ وَجَاءَ النـَصـْرُ فـَعـَلينـْا لا يـُنـْصـَرون حمعسق
حِمَايَتـُنـَا مِمَّا نـَخـَافُ، اللهُمَّ قـِنـَا شـَرَّ الأسْواءِ ولا
تـَجْعـَلنـَا مَحـَلاً للبـَلـْواءِ، اللهُمَّ أعْطِنـَا أمَلَ الرَّجَاءِ
وَفـَوْقَ الأمَلِ يَا هُوَ يَا هُوَ يَا هُوَ يَا مَنْ بـِفـَضْـلِهِ
لِفـَضْلِهِ نـَسْألْ – نـَسْألـُكَ العَجـَلَ العَجَلَ إلهي الإجَابَة
الإجَابَة يَا مَنْ أجَابَ نـُوحاً في قـَوْمِهِ يَا مَنْ نـَصَرَ
إبْراهِيمَ عَلى أعْدائِهِ يَا مَنْ رَدَّ يُوسُفَ على يَعْـقوب يَا مَنْ
كـَشـَفَ ضـُرَّ أيُّوبَ يَا مَنْ أجَابَ دَعْوَةَ زكـَرِيَّا يَا مَنْ
قـَبـِلَ تـَسـْبيحَ يُونـُسَ بـِنْ مَتـَّى نـَسْـألـُكَ بـِأسْرارِ
أصْحـَابِ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ أنْ تـَقـْبـَلَ مَا بـِهِ دَعَوْنـَاكَ
وأنْ تـُعْطِينـَا مَا سَألناكَ أنـْجـِزْ لنـَا وَعْدَكَ الذي وَعَدْتـَهُ
لِعِـبَادِكَ المُؤمِنين لا إلهَ الا أنـْتَ سُبْحَانـَكَ إني كـُنـْتُ
مِنَ الظـَّالِمِينَ إنـْـقـَطـَعـَتْ آمَالـُنـَا وَعِزَّتِكَ الا مِنـْكَ
وَخـَابَ رَجَاؤُنـَا وَحَـقِـكَ الا فيكَ.
إنْ أبْطـَأتْ غـَارَةُ الأرْحَامِ وإبْـتـَعـَدَتْ فـَأقـْرَبُ السَّيْرِ مِنـَّا غـَارَةُ اللهِ
يا غـَارَةَ اللهِ جـِدِي السـَّيـْرَ مُسْرِعَة في حَلِّ عُـقـْدَتـِنـَا يَا غـَارَةَ اللهِ
عَدَتْ العَادونَ وَجَارُوا وَرَجَوْنـَا اللهَ مُجـيراً
وَكـَفـَى باللهِ وَلـِيـَّا وَكـَفـَى باللهِ نـَصِيراً
حَسْبـُنـَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ – ثلاثا
ولا حَوْلَ ولا قـُوَةَ الا باللهِ العَليِّ العَظِيمِ إسْـتـَجـِبْ لـَنـَا آمين – ثلاثا
فـَقـُطِعَ
دَابـِرُ القـَوْمِ الذينَ ظـَلـَمُوا والحَمْدُ لِلهِ رَبَّ العَالـَمينَ
ولا حَوْلَ ولا قـُوَّةَ الا باللهِ العَلِيّ العَظِيم
Syekh Maulana
Mansyuruddin memiliki banyak nama sebutan. Diantaranya Sultan Abu Nasri,
Sultan Abdul Kohar, Abdul Shaleh, dan Sultan Haji. Sultan Syekh Mansyur
adalah putera Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Pada tahun 1651 M,
Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa berhenti sebagai kesultanan atau raja
Banten ke enam. Lalu digantikan kepada Syekh Maulana Mansyuruddin
sebagai sultan ke tujuh.
Semasa
kesultanannya, Syekh Maulana Mansyuruddin telah mengunjungi beberapa
Negara. Setelah dua tahun menjabat, Syekh Maulana Mansyuruddin berangkat
ke Iraq untuk mendirikan tanah Banten di Bagdad, sehingga untuk
sementara kesultanannya diserahkan kepada puteranya Adipati Ishaq atau
Sultan Abdul Fadhli. Sebelum keberangkatannya ke Iraq, ayahnya
memberikan wasiat agar ia tidak singgah kemana-mana sebelum pergi ke
Iraq, terkecuali jika ke Mekkah. Namun ternyata setibanya Di Bagdad,
Syekh Maulana Mansyur uddin
tidak bisa
mendirikan tanah Banten. Di dalam perjalanan pulang, Syekh lupa akan
titah ayahnya, sehingga ia mampir ke pulau Menjeli di kawasan China. Ia
pun menetap di sana selama dua tahun dan menikahi Ratu Jin yang kemudian
dianugerahi satu orang putera.
Selama
ia berada di China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh
Belanda sehingga ia resmi menjadi Sultan Banten. Tetapi Sultan Agung
Abdul Fatah tidak menyetujui karena Sultan Maulana Mansyuruddin masih
hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Bagdad, karena adanya
perbedaan pendapat tersebut akhirnya menyebabkan keributan.
Suatu saat, ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku sebagai Sultan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Orang-orang yang ada di sekitar kesultanan Banten pun mempercayinya, termasuk Sultan Adipati Ishaq. Ternyata, orang yang mengaku-ngaku Sultan Maulana Mansyruruddin adalah pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai pulau Manjeli di China. Selama menjadi Sultan palsu dan menyebabkan kekacauan, akhirnya rakyat membenci Sultan dan keluarganya. Termasuk kepada ayahnya Sultan Agung Andul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh Auliya Allah yang bernama Pangeran Bu’ang yang merupakan keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke dua). Akhirnya kekacauan dapat dihentikan setelah adanya peperangan antara Sultan Agung Abdul Fatah melawan Syekh Maulana Mansyuruddin palsu. Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa. Maka dari itu, rakyat menyebutnya dengan nama Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa tersebut terdengar oleh Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli. Akhirnya ia baru sadar dan teringat akan wasiat ayahnya. Segeralah ia memutuskan untuk pulang ke Banten. Namun sebelum pulang ke Banten, ia pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Allah SWT karena merasa telah melanggar wasiat ayahnya. Setelah itu, ia memohon diberi petunjuk kepada Allah agar ia dapat kembali ke Banten. Dengan izin Allah SWT, Syekh Maulana Mansyuruddin menyelam di sumur zam-zam yang kemudian muncul di daerah Cimanuk Pandeglang yang sedang mengalami masalah besar karena ada lubang air yang tidak henti-henti mengeluarkan air. Lalu ia menutupnya lubang itu dengan alquran (pernah di bahas sebelumnya tentang sejarah Batu Quran). Setelah membereskan kejadian tersebut, ia memohon ampun kepada Ayahandanya, dan akhirnya ia kembali menjabat sebagai sultan.
Singkat cerita, setelah ia menyiarkan agama Islam ke berbagai daerah, ia kembali ke Cikadueun. Dan meninggal dunia pada tahun 1672 M kemudian dimakamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Sampai sekarang, tempat pemakaman Syekh Maulana Mansyuruddin sering dikunjungi atau diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerha dan dikeramatkan.
Penziarah Datang dari Berbagai Daerah
Mula-mula, tempat keramat ini tidak begitu ramai seperti sekarang. Menurut Saepulloh, juru pelihara tempat wisata ziarah Cikadueun tersebut mengatakan sebelumnya hanya kerabat-kerabat atau keturunan Syekh saja yang datang untuk ziarah. “Dulu hanya orang-orang terdekat saja, tapi sekarang sudah menjadi tempat ziarah umum, bahkan dari daerah jauh pun datang beramai-ramai untuk ziarah kesini,” kata bapak kelahiran Pandeglang, 18 Januari 1969 ini.
Setiap hari, tempat ini selalu didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah. Seperti dari Jawa, Sukabumi, Medan, Bogor, dan lain sebagainya. Menurut Saepulloh, selama dua puluh empat jam ia berjaga-jaga di tempat itu karena pengunjung selalu berdatangan. Terutama pada bulan-bulan tertentu. Seperti saat bulan Maulid, bulan Sya’ban, dan bulan Syawal.
Selain untuk beribadah, pengunjung biasanya membawa air dari tempat ziarah tersebut. Di tempat wisata ziarah Cikadueun memang ada air yang tidak pernah habis. Air tersebut ada dalam Gentong Pusaka yang konon mengandung barokah.
“Air tersebut adalah wasiat dari Syekh Maulana Mansyuruddin, barokahnya yang tergantung pada kepentingan masing-masing,” ujar bapak tiga orang anak ini.
Setelah menjadi kawasan wisata ziarah, tempat ini menjadi sumber mencari rezeki bagi penduduk sekitar dengan berjualan. Sepanjang jalan menuju tempat ziarah, kita disambut dengan suguhan jajanan khas Banten seperti Emping, Keceprek, dan ada pula yang berjualan wewangian dan peci.
“Alhamdulillah, tempat wisata ziarah ini juga berimbas baik kepada penduduk Cikadueun, seperti berjualan, ojek juga jadi tidak sepi penumpang, dan lainnya,” lanjut pria yang telah berpuluhan tahun menjadi juru pelihara.
Suatu saat, ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku sebagai Sultan Syekh Maulana Mansyuruddin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Orang-orang yang ada di sekitar kesultanan Banten pun mempercayinya, termasuk Sultan Adipati Ishaq. Ternyata, orang yang mengaku-ngaku Sultan Maulana Mansyruruddin adalah pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai pulau Manjeli di China. Selama menjadi Sultan palsu dan menyebabkan kekacauan, akhirnya rakyat membenci Sultan dan keluarganya. Termasuk kepada ayahnya Sultan Agung Andul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan tersebut Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh Auliya Allah yang bernama Pangeran Bu’ang yang merupakan keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke dua). Akhirnya kekacauan dapat dihentikan setelah adanya peperangan antara Sultan Agung Abdul Fatah melawan Syekh Maulana Mansyuruddin palsu. Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu’ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa. Maka dari itu, rakyat menyebutnya dengan nama Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa tersebut terdengar oleh Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli. Akhirnya ia baru sadar dan teringat akan wasiat ayahnya. Segeralah ia memutuskan untuk pulang ke Banten. Namun sebelum pulang ke Banten, ia pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Allah SWT karena merasa telah melanggar wasiat ayahnya. Setelah itu, ia memohon diberi petunjuk kepada Allah agar ia dapat kembali ke Banten. Dengan izin Allah SWT, Syekh Maulana Mansyuruddin menyelam di sumur zam-zam yang kemudian muncul di daerah Cimanuk Pandeglang yang sedang mengalami masalah besar karena ada lubang air yang tidak henti-henti mengeluarkan air. Lalu ia menutupnya lubang itu dengan alquran (pernah di bahas sebelumnya tentang sejarah Batu Quran). Setelah membereskan kejadian tersebut, ia memohon ampun kepada Ayahandanya, dan akhirnya ia kembali menjabat sebagai sultan.
Singkat cerita, setelah ia menyiarkan agama Islam ke berbagai daerah, ia kembali ke Cikadueun. Dan meninggal dunia pada tahun 1672 M kemudian dimakamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Sampai sekarang, tempat pemakaman Syekh Maulana Mansyuruddin sering dikunjungi atau diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerha dan dikeramatkan.
Penziarah Datang dari Berbagai Daerah
Mula-mula, tempat keramat ini tidak begitu ramai seperti sekarang. Menurut Saepulloh, juru pelihara tempat wisata ziarah Cikadueun tersebut mengatakan sebelumnya hanya kerabat-kerabat atau keturunan Syekh saja yang datang untuk ziarah. “Dulu hanya orang-orang terdekat saja, tapi sekarang sudah menjadi tempat ziarah umum, bahkan dari daerah jauh pun datang beramai-ramai untuk ziarah kesini,” kata bapak kelahiran Pandeglang, 18 Januari 1969 ini.
Setiap hari, tempat ini selalu didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah. Seperti dari Jawa, Sukabumi, Medan, Bogor, dan lain sebagainya. Menurut Saepulloh, selama dua puluh empat jam ia berjaga-jaga di tempat itu karena pengunjung selalu berdatangan. Terutama pada bulan-bulan tertentu. Seperti saat bulan Maulid, bulan Sya’ban, dan bulan Syawal.
Selain untuk beribadah, pengunjung biasanya membawa air dari tempat ziarah tersebut. Di tempat wisata ziarah Cikadueun memang ada air yang tidak pernah habis. Air tersebut ada dalam Gentong Pusaka yang konon mengandung barokah.
“Air tersebut adalah wasiat dari Syekh Maulana Mansyuruddin, barokahnya yang tergantung pada kepentingan masing-masing,” ujar bapak tiga orang anak ini.
Setelah menjadi kawasan wisata ziarah, tempat ini menjadi sumber mencari rezeki bagi penduduk sekitar dengan berjualan. Sepanjang jalan menuju tempat ziarah, kita disambut dengan suguhan jajanan khas Banten seperti Emping, Keceprek, dan ada pula yang berjualan wewangian dan peci.
“Alhamdulillah, tempat wisata ziarah ini juga berimbas baik kepada penduduk Cikadueun, seperti berjualan, ojek juga jadi tidak sepi penumpang, dan lainnya,” lanjut pria yang telah berpuluhan tahun menjadi juru pelihara.
Syekh Maulana Mansyur - Cikaduen
حِزْبُ النـَّصـْرِ المُبـَارَكِ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar