Add caption |
Husain ibn Mansur al-Hallaj
atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi
yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran
Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna
Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk
islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling
terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, ucapan yang
membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini
dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam tidak menerima
pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena
Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa
al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum
sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena
mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan
segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan
bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia
Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak
pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi
sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya.
Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita
banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan,
“Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni,
mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku
adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah,
tapi kita tidak bisa
menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata
Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan,
“Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur,
sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur
yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M.
Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan
Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk
islam. Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru
kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan
kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara
Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai
pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas
bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad,
Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan
ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu,
akar budaya al-Hallaj.
Pada masa remaja, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Pada masa remaja, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba
meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan
Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr
adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj
bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan
Amr juga.
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan
untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan
menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi
mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah
biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari
dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan
al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah
menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa
agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari
menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang
berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran
ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga
Junaid.
Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan
sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima
oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke
Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar,
memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun
pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil,
hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau
mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik
iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan
meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa
melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka
di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj,
situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan
diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah
terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama
beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat
mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut
negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz
pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual
dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan
Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi
yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya
belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan
memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta
dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia
dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu.
Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena
Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut,
namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama
tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah
haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru
disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia
memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad,
tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua
diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban
tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar
menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan
kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun
dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya.
Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Beliau berucap “Akulah Kebenaran” pada hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya
spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga
kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan
berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M
inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap,
yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq).
Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam
keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan
dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi
“hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang
dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan
di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin,
bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah
menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua
bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin
si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian,
al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi
hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami
orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan
masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan
banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar
khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain
menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya
banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para
pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya
sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan
pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu
mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj
berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada
dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia
diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir
sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara
segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun
meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh
sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan
kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir
khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk
kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj
dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan
orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan
tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir
sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal,
tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara
di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu
api mereka berbeda. Kata Maulana
Jalaluddin Rumi, ucapan “Akulah Tuhan” oleh Fira’un adalah kegelapan
yang pekat, tapi pernyataan “Akulah Sang Kebenaran” oleh Al Hallaj,
justru cahaya yang benderang.
Yang kupahami dari ucapan Maulana,
Fir’aun melontarkan pernyataan itu berdasar pada keangkuhan. Dia
maharaja dengan kekuasaan absolut. Keadaan itu kemudian yang membuatnya
merasa, dan menyatakan diri telah menjadi tuhan.
Sebaliknya, Al Hallaj, ketika menyatakan
dirinya Al Haq, Sang Kebenaran, salah satu dari 99 nama Tuhan (asmaul
husna) dalam ajaran Islam, justru didasari oleh kerendahhatian. Betapa
di hadapan Yang Mahabesar Mahaperkasa, dirinya (seolah) tiada, dan yang
sungguh ada hanya Dia semata.
Jangankan di hadapan Tuhan, di hadapan
tata surya pun kita memang sudah menjadi tiada saking kecilnya. Padahal
tata surya kita pun seperti tiada di hadapan Galaksi Bima Sakti, dan
galaksi itu pun cuma sebutir debu di keluasan jagat raya yang belum dan
tak akan pernah kita tahu batasnya. Jadi bagaimana pula diri ini bila
dibandingkan dengan Dia yang menciptakan dan memelihara itu semua? Al
Hallaj pun merasa dirinya hilang di hadapan kebesaran Pencipta itu, dan
saat itulah dari kemurnian dan kerendahan hatinya, terlontar kata-kata
itu.
Seorang sufi pernah berkomentar,
satu-satunya kesalahan Al Hallaj adalah mengungkapkan pengalaman dan
rahasia rasa itu. Padahal tak semua pengalaman dan perasaan mesti
diungkapkan.
Keduanya memang dihukum mati untuk
pengakuan itu. Firaun, bersama pengikutnya yang “setia” – sesuai narasi
di kitab-kitab suci agama langit, ditenggelamkan Tuhan di Laut Merah.
Mereka menjerit pedih dalam penyesalan. Namun Al Hallaj, sekali lagi
berbeda. Dia cuma dieksekusi secara kejam oleh otoritas kekuasan
manusia. Terikat di tiang gantungan, dia dimutilasi hidup-hidup, namun
sampai dia mengembuskan napas terakhir, di bibirnya selalu tersungging
senyum kepuasan.
Senyum Husain Ibnu Manshur Al Hallaj itu
seolah menegaskan, di hadapan kebesaran Yang Mahaperkasa, apalah
perasaan dan derita seorang manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar