Syaikh Nawawi al-Bantani
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam
Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh
ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui
karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang
sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan
masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam
yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan
rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf
sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim
keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di
bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal
sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar).
Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren.
Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri
pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari
sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah
berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela
pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari
bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang
mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau
terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum
organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian
para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya
dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di
Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini
adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang
sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang
seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah
langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai
organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan
mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum
ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan
pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak
menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual
keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk
menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar
keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan
sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu
tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara
evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola
pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama
di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi
keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan
sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan
banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya
di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad
ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara,
Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun.
Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri
Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten,
Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at
terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati
jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin
Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang
ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon),
yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang
bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi
Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam
Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu
kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu
fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun
1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk
membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah
menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat
Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi
oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa
tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan
impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal,
pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu
Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani
Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar
pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah.
Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian
ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam
(Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah
melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun
berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad
Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan
kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30
tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan
Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan
kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada
tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang
meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu
datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk
dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam
setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar
(Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang
lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya
yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan
ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu
dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan
seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat
dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia
sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama
Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke
14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam
mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia
sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini
kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau
Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu
dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses
pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya
berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi
bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa
dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali
bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya
yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi
adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui
semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang
tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh
pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya
Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah,
al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat
al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang
teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi
banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus
mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari
perbuatannya (His Act), karena
sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga
bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti
melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat
yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara
mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun
Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun
dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil
memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri
ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan
bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara
keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini
segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya
dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas
pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk
menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God).
Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai
penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi
ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah.
Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada
konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia
itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia,
manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks
Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan
kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir
kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia
dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi
Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan
kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda
seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat
melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam
konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya
telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah
tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat
Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan
Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak
peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti
dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.
Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama
dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali
kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena
memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi
dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia.
Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam
at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala
Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab
Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan
hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari
berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah
diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para
pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah
mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi
ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi
sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas
intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin
ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan
tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi
brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat
dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang
penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat
merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala.
Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali.
Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib
Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi
tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki
pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat
sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi
mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan
hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal
berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat
merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara
hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat
selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan
dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan
pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman
yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model
paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh
sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari
karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri,
Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
bersambung ke bagian 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar