Selasa, 24 Desember 2013

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (3): Al-Ghazali Modern, bagian-1


Syaikh Nawawi al-Bantani

 Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
bersambung ke bagian 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar