Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (4-tammat):
Tidak
seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur
teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang
moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan
tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia
lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam
kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang
sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi
fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya
tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat
diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar)
sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh
melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim
yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif,
memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti
pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan
ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya
seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu
lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat
dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu
ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya.
Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman
bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia,
tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang
durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan
dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah
Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara
hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung
perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami
kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi
lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah
karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di
pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van
Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum
pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam
catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan
yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan
tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia
yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa
dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang
telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat,
dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu
Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan
dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga
pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi
diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan
Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi
Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di
Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain
itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas
Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode
1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan
Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum
kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di
Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum
Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990
diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana.
Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak
dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya
adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran
murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh
nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam
juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama
), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari
Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun
dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH.
Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad
Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung
Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung
Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur,
Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di
seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat
dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran
modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan
munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat
soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah
sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat
di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan
kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna
jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib
Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H.
Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari.
Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka
berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi
yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H.
Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang,
sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di
pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk
kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H.
Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah
Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama
Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang
reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya
Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya
pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid
Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan
dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam
penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang
berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai
Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi
tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri
geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat
penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi
utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai
kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah)
di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin
pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali.
Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi
keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki
semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga
memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita
bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran
sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide
penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran
tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana
sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat
ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan
tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai
konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal
ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan
ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh
yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren
memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut
K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika
kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada
penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para
ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite
Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah
dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini
bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan
kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan
bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini
kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk
masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini
kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi
Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi
merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi
keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan
representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di
tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU
adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran
intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik.
Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi
(diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang
sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak
berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut
institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten. TAMMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar