Nasab, Kelahiran, dan Perjalanannya
Beliau adalah Muhammad bin Ali Abdullah Al-Hatimiy Al-Tha’i,
yang mendapat sebutan Abu Bakar dan digelari Muhyi Al-Din Ibn ’Arabi
(”Putra Arab Sang Penghidup Agama,” selanjutnya, dalam terjemahan ini,
lbn Arabi).
Beliau (semoga Allah meridhainya) dilahirkan pada hari Senin, malam 17 Ramadhan, tahun 520H di Marsiyyah, Andalusia. Pada usia 8 tahun beliau pindah ke Seville (sekarang wilayah Spanyol) bersama dengan orang tuanya, seraya belajar hadis dan fiqih kapada para guru di negerinya.
Beliau (semoga Allah meridhainya) dilahirkan pada hari Senin, malam 17 Ramadhan, tahun 520H di Marsiyyah, Andalusia. Pada usia 8 tahun beliau pindah ke Seville (sekarang wilayah Spanyol) bersama dengan orang tuanya, seraya belajar hadis dan fiqih kapada para guru di negerinya.
Pengembaraannya di kota-kota Andalusia dan negeri Maghrib mempunyai
pengaruh yang besar dalam membentuk karakter tasawuf beliau kelak,
ketika beliau menjadi syaikh dari para syaikh (syaikh al-masyayikh) dan
pemuka para imam lslam. Syaikh Ibn Arabi sangat mendalami jalan sufi dan
tak saorang pun yang blsa menandinginya sehingga beliau pantas menjadi
teladan yang mencerminkan akhlak-etika perkataan dan perbuatan para
sufi.
Pada tahun 598H, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan lbadah haji dan
tinggal di Hijaz selama 2 tahun. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke
Bagdad dan Mosul, lalu pindah ke kota Al-Khalil (Hebron, Palestina
sekarang) dan tinggal di sana selama 1 tahun. Berikutnya beliau pindah
ke Kairo dan tinggal di sana selama 3 tahun. Pada tahun 606 H beliau
pergi ke Halb dan m0ndar-mandir antara Maghrib dan Masyriq selama 4
tahun. Beliau kembali ke Halb pada tahun 61o H dan tinggal di sana
selama setahun penuh, kemudian kembali ke Makkah pada tahun 611 H.
Pada tahun 612 H beliau pergi ke Quniah dan Siwas, lalu kemball ke Halb
tahun 617 H dan tinggal di sini selama 3 tahun. Setelah itu beliau
kembali ke Damaskus pada tahun 62o H dan tinggal di sana sampai tahun
628H. Beliau kembali lagi ke Halb, tinggal di sana selama setahun penuh
lalu kembali lagi ke Damaskus pada tahun 629H dan tinggal di sana hingga
wafatnya pada tahun 632H, pada usia 87 tahun.
Di kalangan ahli hakikat dan para wali beliau dikenal sebagai salah
seorang wali Allah dan memperoleh banyak gelar, seperti khatam al-
auliya’ (sang penutup para wali), barzakh al-barazikh (sang pemisah para
pamisah), al-kibrit al-ahmar (sang belerang merah), dan sulthan
al-’arifin (pemimpin para arif)
Syaikh Ibn Arabi memiliki banyak sekali karya hingga tak terhitung jumlahnya.
Salah satu karya beliau yang terpenting adalah Al-Futuhat Al- Makkiyah. Beliau juga menulis kitab tafsir dan ta’will dengan pendekatan bathini (makna batiniah), serta kitab-kitab lain yang berharga. Semoga Allah meridhai beliau dan membuatnya ridha.
Syaikh Ibn Arabi memiliki banyak sekali karya hingga tak terhitung jumlahnya.
Salah satu karya beliau yang terpenting adalah Al-Futuhat Al- Makkiyah. Beliau juga menulis kitab tafsir dan ta’will dengan pendekatan bathini (makna batiniah), serta kitab-kitab lain yang berharga. Semoga Allah meridhai beliau dan membuatnya ridha.
Ibnu ‘Arabi adalah sosok sufi yang banyak mendapatkan kritikan dan
tuduhan tajam. Bahkan, sebagian ulama ada yang mengatakan, “Ma
Ikhtalafal ulama’u fi ahadin ka ikhtilafihim fi Muhyidin Ibnu ‘Arabi”,
tak ada satupun seseorang yang lebih kontrovesional di kalangan para
ulama yang melebihi Ibnu Arabi. banyak ulama yang telah berusaha
menjelaskan peri kehidupan dari Ibnu Arabi, yang paling lengkap adalah
Taqiyudin Al-Faasi dalam kitab ‘Al-‘Aqduts Tsamin fi Tarikh Al-buldan
Al-Amin’ dan ia mengatakan “Saya telah menulis biografi paling lengkap
tentang Ibnu Arabi yang belum ada di kitab manapun, dan sebagiannya saya
rujuk dari orang yang hidup semasa dengannya’.
Secara ringkas namanya adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad
Ath-Tha’i, Al-hatimi, Al-Mursi, Muhyiddin Ibnu Arabi. Lahir di Mursiyah
pada tahun 560 H, ia tumbuh disana, tahun 578 H pindah ke Asbelia
setelah itu ia banyak mengadakan perjalanan menuntut ilmu seperti Syam,
Romawi dan Baghdad.
Artikel ini berusaha mengetengahkan pemikiran-pemikiran kontroversial dari Ibnu Arabi dan selanjutnya kita bandingkan dengan Abdul Hamid Al-Ghazali dalam hal keterpengaruhan mereka terhadap sufi. Dan sebelumnya kita bahas dulu asal-usul nama Tasawuf, Definisi Tasawuf, dan Hakikat Tasawuf.
Artikel ini berusaha mengetengahkan pemikiran-pemikiran kontroversial dari Ibnu Arabi dan selanjutnya kita bandingkan dengan Abdul Hamid Al-Ghazali dalam hal keterpengaruhan mereka terhadap sufi. Dan sebelumnya kita bahas dulu asal-usul nama Tasawuf, Definisi Tasawuf, dan Hakikat Tasawuf.
Asal usul Nama Tasawuf
Para ahli tasawuf sendiri mempunyai
pendapat yang berbeda tentang asal-usul nama tasawuf. Syaikh Sarraj
Al-thusi menulis sebuah bab khusus yang berjudul “Babu Kasyfi ‘An Ismi
Al-Shuffiyyah wa lima Summu Bihadzal Ismi, wa lima Nusibu Ila Hadza
Al-libsati”. Ia berkata, “Seseorang bertanya, “Para ahli hadits,
dinisbatkan keahlian mereka pada ilmu hadits, para ahli fiqih
dinisbatkan pada ilmu fiqih. Tetapi kenapa anda memberi nama “Shufiiyah”
tanpa menisbatkannya pada sebuah keadaan atau suatu disiplin ilmu
tertentu? Seperti zuhud dinisbatkan pada perilaku para ahli zuhud,
tawakal terhadap perilaku orang-oarng yang bertawakal, sabar terhadap
perilaku orang-orang yang bersabar?” Maka jawabannya adalah: karena
orang-orang sufi sendiri tidak mendalami salah satu cabang ilmu
tertentu, tanpa cabang-cabang yang lain. Dan mungkin masih dipersoalkan
kenapa mereka malah dinisbatkan kepada pakaiannya? Jawabannya adalah
karena pakaiandari wol kasar merupakan kebiasaan para Nabi as dan syiar
para wali dan orang-orang yang disucikan.”
Dari kutipan di atas, As-Sarrraj berpendapat bahwa tasawuf diambil dari
kata ‘shuf’ yang bermakna wol kasar dengan melihat pakaian yang
kebanyakan digunakan kaum sufi.
Tetapi Al-Qusyairi yang juga seorang sufi berbeda pendapat dengan As-Sarraj. Ia berkata: “ketahuuilah oleh kalian semua –semoga kalian dirahmati Allah swt- sesungguhnya umat islam setelah wafatnya Rasulullah saw tidaklah melakukan penamaan apa pun untuk menunjukkan keutamaan mereka di jaman itu, kecuali para pengikut setia Nabi saw, sebab tidak ada keutamaan yang melebihi mereka, maka golongan tadi disebut dengan nama “As-Shahabah”.
Tetapi Al-Qusyairi yang juga seorang sufi berbeda pendapat dengan As-Sarraj. Ia berkata: “ketahuuilah oleh kalian semua –semoga kalian dirahmati Allah swt- sesungguhnya umat islam setelah wafatnya Rasulullah saw tidaklah melakukan penamaan apa pun untuk menunjukkan keutamaan mereka di jaman itu, kecuali para pengikut setia Nabi saw, sebab tidak ada keutamaan yang melebihi mereka, maka golongan tadi disebut dengan nama “As-Shahabah”.
Tetapi generasi berikutnya, orang-orang yang menjadi pengikut sahabat
mulai dinamai dengan istilah “Tabi’in”, dan tampaklah dalam nama itu
keutamaan yang tinggi dan keagungan. Dan orang-orang yang mengikuti
tabi’in juga dinamai dengan “Tabi’ut Tabi’in”. Kemudian umat Islam
terpecah belah, dan terjadilah perbedaan tingkatan. Orang-orang tertentu
yang dengan tekun dan rajin mengamalkan ajaran agama lalu dinamai
dengan Az-Zuhhad (Ahli Zuhud) atau Al-Ubbad (Ahli Ibadah).
Selanjutnya bid’ah mulai merebak di tengah-tengah masyarakat, dan
terjadilah saling klaim antar golongan. Setiap golongan di antara mereka
mengklaim bahwa dirinyalah yang paling “zuhhad”. Lalu keluarlah dari
kemelut ini orang-orang khusus dari golongan ahli sunnah, yang selalu
menjaga dirinya agar selalu dekat dengan Allah swt dan selalu menjaga
dirinya dari jalan yang membuat lalai kepada-Nya, mereka itu lalu
dinamai dengan ahli tasawuf. Maka menjadi mashurlah nama itu di antara
pembesar-pembesar mereka sebelum akhir abad kedua hijriyah.”
Dr. Musa bin Sulaiman Ad-Duwaisy ketika memberikan komentar atas
perkataan Qusyairi di atas mengatakan; Pendapat Al-Qusyairi itu tidak
bisa diterima, sebab orang-orang khusus dari golongan Ahlus Sunnah
adalah mereka yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah saw dan
mempelajari dengan sungguh-sungguh agama Allah swt. Mereka juga
merumuskan berbagai hukum ajaran agama, mereka beribadah kepada Allah
swt dengan dasar ilmu pengetahuan. Mereka juga menentang para ahli
bid’ah, menasehati mereka, dan mereka sendiri berhati-hai dari jalan
para ahli bid’ah. Mereka juga tidak menamai dirinya dengan
istilah-istilah yang agung dan muluk-muluk, seperti yang dilakukan oleh
golongan-golongan lain yang menyimpang dari sunnah Rasulullah saw.
Walaupun pada hakekatnya dalam diri mereka ada kebenaran”.
Oleh karena itu , golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu terkenal di setiap zaman dengan kemoderatannya serta kekonsistenannya dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw, sahabat-sahabatnya, tabi’in dan para tabi’ut tabi’in.
Dari sini nampaklah, bahwa Al-Quyairi berlebih-lebihan dalam memberikan nama tasawuf, bahkan tidak cermat. Pendapatnya juga bertentangan dengan pendapat As-Saraj Al-Thusi yang hidup lebih awal dan lebih mengetahui golongan ini.
Oleh karena itu , golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu terkenal di setiap zaman dengan kemoderatannya serta kekonsistenannya dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw, sahabat-sahabatnya, tabi’in dan para tabi’ut tabi’in.
Dari sini nampaklah, bahwa Al-Quyairi berlebih-lebihan dalam memberikan nama tasawuf, bahkan tidak cermat. Pendapatnya juga bertentangan dengan pendapat As-Saraj Al-Thusi yang hidup lebih awal dan lebih mengetahui golongan ini.
Kesimpulan ini juga diperkuat oleh Ibnu Taimiyah ketika beliau
mendiskusikan asal penamaan kelompok tasawuf, ia berkata, “Kemudian
mereka berselisih tentang asal muasal penamaan golongan ini.
Sesungguhnya “Ash-Shufi” adalah “Isim Nisbat” sebagaimana nama
Al-Quraisy, Al-Madani dan contoh-contoh lainya. Ada yang berpendapat, ia
dinisbatkan ‘‘Ahlu Shuffah”, pendapat ini tentu keliru, sebab jika
dinisbatkan padanya maka ia harus dibaca “Shuffiy”ada juga yang
menisbatkannya pada “shof” yang utama di sisi Allah swt, ini juga salah,
sebab seharusnya ia berbunyi “Shofi”. Nama ini juga dinisbatkan pada
kata “Shafwah” di antara makhluk Allah, ini juga salah, karena
seharusnya ia berbunyi “Shifawiy”. Ada juga yang berpendapat nama ini
dinisbatkan pada Shufah bin Bisyr bin Adhan Thabikhah. Ia merupakan
kabilah Arab yang tinggal di sekitar Makkahsejak zaman dahulu kala.
Mereka identik dengan para ahli ibadah. Walau pun penisbatan terhadap
mereka adalah benar dari segi lafadz, tetapi pendapat ini sangat lemah
sebab mereka tidaklah terkenal di antara kaum ahli zuhud, dan jika
penisbatan dilakukan terhadap mereka, maka tentunya istilah ini telah
muncul sejak zaman sahabat dan tabi’in generasi pertama. Dan orang-orang
yang sering menggunakan istilah “sufi” tidaklah mengetahui kabilah ini.
Bahkan mereka tidak rela jika dinisbatkan pada sebuah kabilah jahiliyah
yang tidak dikenal dalam agama islam. Nama ini juga dikaitkan –dan ini
yang paling masyhur- pada pakaian wol kasar.
Abu Syaikh Al-Asbahani meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad bin
Sirin, bahwa ada beberapa kaum yang mengutamakan pakaian wol kasar. Ia
berkata: “Sesungguhnya ada kaum yang memilih dan mengutamakan baju wol.
Mereka mengatakan bahwa mereka menyerupai Al-Masih bin Maryam sedangkan
petunjuk nabi kami lebih kami cintai, dan nabi Muhammad saw memakai
pakaian dari katun atau yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar