A. SITUS BEKAS KERAJAAN BANTEN GIRANG
Berkaitan
dengan berdirinya kerajaan Banten Girang F.D.K. Bocsh mengkaitkannya
dengan prasasti kebon kopi II yang ditemukan di Bogor. Bosch menapsirkan
angkat tahun prasasti kebon kopi II berdasarkan (andrasangkala) yaitu
tahun 932 M. (85.4 saka) berhubungan dengan situs Banten Girang yang
terletak di kampung Balaya, desa Sempu Kota Serang.
Informasi
tentang Banten Girang yang berfungsi sebagai situs pemukiman atau
perkotaan dapat dilihat dalam babad Banten. Dalam babad tersebut
diceritakan bahwa penaklukkan seluruh wilayah Banten oleh bala tentara
Islam diceritakan sebagai perebutan kota Banten Girang.
Informasi
dalam babad Banten Syalam dengan hasil penelitian bahwa di situs Banten
Girang merupakan situs pemukiman dalam skala kota pra industri, untuk
keperluan pertahanan tersebut dikelilingi benteng yang terbuat dari
tanah baik pada sisi dalam maupun luar tanggul. Penggunaan tanggul tanah
sebagai benteng sudah dikenal sejak masa pra sejarah akhir kemudian
masa Hindu-Budha dan berlanjut pada kota-kota kuno masa Islam.
Situs
Banten Girang yang menjadi pusat kota kerajaan diduga terdapat hubungan
dengan Gunung Pulosari sebagai gunung yang sakral, kaitan keagamaan di
Banten Girang dengan Gunung Pulosari, yaitu ketika Sunan Gunung Jati dan
Hasanuddin kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke Gunung Pulosari
yang menjadi tujuan utama mereka. Menurut Sunan Gunung Jati, gunung
merupakan wilayah Brahmana kendali, di atas gunung itu hidup 800
ajar-ajar (pendeta) yang di pimpin oleh Prabu Pucuk Umun.
Hasanuddin
tinggal bersama mereka selama 10 tahun lebih, ketika Hasanuddin
mengislamkan para pendeta. Maka pendeta hidup menetap di Gunung
Pulosari, sebab jika tempat itu kosong akan menjadi tanda berakhirnya
Tanah Jawa.
Dalam
Babad Banten diceritakan pula bahwa setelah kemenangan Hasanuddin yang
tidak mau masuk Islam memberikan diri ke pegunungan selatan yang sampai
sekarang dihuni oleh keturunan mereka yaitu orang Baduy. Kegiatan ini
didukung oleh kebiasaan orang Baduy, kenyataan ini didukung oleh
kebiasaan orang Baduy berziarah ke Banten Girang.
Pada
pertengahan 1990-an ditemukan sebuah arca dwarapala di sungai Cibanten
tidak jauh dengan situs Banten Girang. Ini menunjukkan Banten Girang
masih menyimpan banyak pertanyaan yang menarik untuk diteliti lebih
lanjut. Sebagaimana dalam catatan sejarah bahwa sungai Cibanten dahulu
kala berfungsi sebagai jalur transformasi yang menghubungkan wilayah
pesisir dari Faletahan.
a. Latar Belakang Berdirinya Situs Banten Girang
Banten
Girang merupakan awal kerajaan Banten yang sebelumnya mendapat
kebelakangan nama pada saat itu yaitu kerajaan Sunda Wahanten. Pendiri
kerjaan ini ialah Prabu Jaya Bupati yang disebut juga Prabu Saka Domas.
Prabu Jaya Bupati berasal dari keturunan kerajaan Mataram pada zaman
Hindu, yang tidak mendapat kesempatan untuk mengabdi dikerajaan Mataram
Kuno. Prabu Jaya Bupati mendirikan kerajaan Sunda di Banten Girang pada
tahun 932 sampai tahun 1016, dengan luas wilayah kekuasaan meliputi Jawa
Barat dengan perbatasannya Cipamali. Pada saat itu disebut kerajaan
Tatar Sunda, dengan keadaan yang subur makmur, sehingga dapat menjalin
hubungan dengan kerajaan di Jawa.
Pada
tahun 1016 Prabu Jaya Bupati memindahkan pusat pemerintahannya ke
daerah Cilaceh Sukabumi karena khawatir akan adanya penyerbuan yang akan
dilancarkan oleh kerajaan Sriwijaya terhadap kerajaan Tatar Sunda di
Banten Girang, mengingat usia Prabu Jaya Bupati yang sudah tua pada saat
itu, ketika Prabu Jaya Bupati berada di pengungsian berhasil mendirikan
kerajaan Surawisesa. Pada tahun 1357 kerajaan Surawisesa di pegang oleh
Prabu Baduga Sir Maharaja, keraton Surawisesa disebut kerajaan
Pajajaran.
b. Masa Kerajaan Sunda Pajajaran
Penamaan
Pajaran untuk kerajaan Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan
keraton Sri Bama – Punta – Naryana – Madura – Suradipati yang bentuknya
sebangun dan berjajar oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan
masyarakat sering menyebutkan Pakuan pajajaran. Berdasarkan cerita
pantun dan babab, kerajaan Sunda lebih di kenal dengan sebutkan
pajajaran, sedangkan berdasarkan sumber-sumber Portugis, nama resmi
kenegaraan tetap menggunakan sebutan kerajaan Sunda.
c. Sri Baduga Maharaja
Sri
baduga Maharaja mempunyai seorang putra yang dijadikannya sebagai
penerus tahta kerajaan, karena putra Sri Baduga masih kecil, mata
akhirnya kerajaan tersebut di pimpinan oleh Praih Bunisora pada tahun
1352-1371. Namun, setelah putra Sri Baduga Maharaja sudah cukup usia,
kerajaan tersebut akhirnya dipimpin oleh putra raja Baduga pada tahun
1371, yang bernama Nuskala waktu kencana, dan akhirnya dengan
pertimbangan Raja Niskala Wastu Kencana, kerajaan Suwawisesa di
pendidikan di Galuh, yang disebut kerajaan Galuh Pakuan, kemudian
digantikan oleh Putra raja yang bernama Taba’an karena raja taba’an
menikah dengan orang Islam, maka tokoh-tokoh masyarakat kerajaan Sunda
Galuh Pakuan hampir semua kecewa atas perilaku keluhurnya, sehingga
digantikan oleh Prabu Jaya Dewata atau disebut juga Prabu Pucuk Umum.
Peristiwa
perbuatannya di Pakuan sekaligus menjadikan Jaya Dewata seorang
Maharaja, karena kekuasaan pemerintahannya meliputi kerajaan Sunda dan
kerajaan Galuh. Peristiwa tersebut sesuai dengan isi prasasti Batu tulis
kota Bogor. Prasasti batu tulis kota Bogor, dibuat oleh Ratu
Sanghiyang Surawisesa pada tahun 1533 M. Pembuatan prasasti tersebut
dilakukan dengan upacara penyempurnaan Sukma untuk mengenang jasa-jasa
dan kebesaran ayahnya. Sri Baduga Maharaja, upacara semacam itu hanya
dilakukan untuk raja-raja tertentu, jika seorang raja wafat kemudian
setelah 12 tahun masyarakat masih menceritakan jasa-jasanya.
d. Sikap Terhadap Muslim
Sebelum
Sri Baduga Maharaja lahir dikerajaan Sunda sudah ada penganut agama
Islam, tokoh tersebut adalah Bratalegawa Putera Mangkubumi Bunisora
Suradipati. Bratalegawa adalah adik Curidewata alias Ki Gedeng Kasmaya,
raja Cirebon Cairung, Bratalegawa lahir tahun 1350 M. Bratalegewa
menikah dengan wanita masuk dari Gujarat. Walaupun berbeda agama ia
tetap hidup rukun dengan saudara-saudaranya.
Berdasarkan
Koprak 406 carita Paranghiyangan, setelah Sri Baduga Maharaja wafat,
ada 5 orang saja pendiri tahta kerajaan Pajajaran, antara lain:
1. Prabu Sanghiyang Surawisesa (1521 – 1635 M)
2. Ratu Dewatabuana (1535 – 1543 M)
3. Ratu Sakti (143 – 15551 M)
4. Prabu Raga Mulya Suryakencana atau Prabu Pukuk Umum Pulosari (1537 – 1579 M).
Setelah
kerajaan Galuh Pakuan (Pajajaran) dipundah ke Banten Girang bekas
kerajaan Sunda tertua. Pada suatu saat, ajar yang sebagai Patih kerajaan
Dewata agar adiknya yang bernama Ajarju untuk diangkat menjadi
tumenggung, karena melihat adiknya yang cukup lama mengabdi kepada
rajanya Prabu Jaya Girang, yang dinamakan Pajajaran Banten dibantu oleh
wakil putihnya putihnya yang bernama Ajar Ju.
Pada
suatu ketika terjadi konflik intern didalam kerajaan, sehingga Ajarjong
keluar dari kerajaan Pajajaran Banten, kemudian Ajar Jong pergi
mengabdi dikerajaan Islam Jawa Demak, sehingga mengenal orang-orang
penting dikerajaan Islam Demak. Diantara Sultan Trenggono dan Syariat
hidayatulah untuk menguasai kerajaan pengajaran Banten untuk menjadi
penganut agama Islam.
e. Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Banten Girang
Di
Banten Girang banyak sekali atau benda-benda yang bersejarah, seperti
pecahan gerabah dan keramik yang berasal dari dalam dan luar negeri,
pecahan tembikar seberat 318,12 kg. Pada umumnya wadah tembikar yang
ditemukan di situs Banten Girang yang dipakai untuk keperluan
sehari-hari yang pertama yang digunakan untuk menyimpan dan memasak
bahan makanan dan yang kedua untuk menimba dan menyimpan air, sedangkan
fungsi yang ketika untuk menyajikan makanan dan minuman serta fungsi
yang keempat untuk wadah penerangan lampu.
Kesaksian Pande Emas :
Ketika
tim ekskavasi arteolog Peranci dan Indonesia melakukan penelitian
disitus Banten GIrang juga banyak ditemukan benda-benda yang terbuat
dari logam. Menurut Claude Guillot hanya tua benda dari emas ditemukan
dalam penggalian di situs tersebut, yang pertama berupa potongan
perhiasan emas, berukuran sangat kecil dengan berat 0,5 mg, hingga tak
mungkin bisa diidentifikasi.
Sedangkan
yang kedua jauh lebih menarik yaitu bagian dari perhiasan berukuran 6 x
12 mm, berupa cakar burung dan Viagra bermata empat yang memegang
sebuah batu kuarsa bundar yang dilubangi.
Dilokasi
situs purbakala Banten Girang juga ditemukan sebuah cincin perunggu
dengan batu mulia warna pirus dengan bekas-bekas lapisan emas. Disana
juga terdapat kapak batu, batu asahan, kepingan, gerabah, golok, artepak
batu, keramik lokal, keramik asing, seperti Tang (abad IX – XI), Song
(XI – XII, keramik Yuan (XIII – XIV), Jepang, Thailang, Vietnam (XVII –
XVIII) dan beberapa naskah Al-Qur’an tulisan tangan. Para analog yang
melakukan penelitian di Banten Girang tahun 1989 – 1992 banyak menemukan
benda purbakala berupa manik-manik jumlah manik-manik yang ditemukan
pada waktu itu mencapai 795 buah dalam kondisi baik dan utuh.
Punden Berundak di Banten Girang
Dengan
ditemukannya punden beundak di Banten Girang berarti jauh sebelum
berdirinya sebuah kerajaan besar di situs Banten Girang sudah ada
pemukiman penduduk yang menganut kepercayaan mengalith disana. Boleh
jadi situs Banten Girang merupakan sebuah peninggalan purbakala yang
berkelanjutan, mulai zaman pra sejarah, Hindu, Budha sampai masa Islam.
Sebagai
bukti situs tersebut pernah dihuni masyarakat yang menyembah arwah
nenek moyang, dilokasi itu ditemukan pula beberapa batu besar yang
memiliki arti penting. Diantaranya yang disebut sebagai batu dekan, batu
datar yang disimpan di makam keramat di Masjong dan Agus Jo, Banten
Girang.
Punden
berundak itu berada tak jauh dari tepi sungai Cibanten yang konon pada
zaman dahulu bisa dilayari sepanjang dari teluk Banten sampai ke Banten
Girang. Tinggi punden berundak itu sekitar 5 meter dari permukaan tanah,
bila dipandang dari dasar sungai yang cukup tinggi.
Di
Banten Girang juga terdapat sebuah gua yang didalamnya terdapat tiga
ruang kamar, gua tersebut merupakan tempat Prabu Pucuk umum bersemedi.
Kerajaan
Sunda apabila diserang oleh kerajaan atau kerjaan lainnya, dan ke empat
sebagai tanda persahabatan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Raja
Sunda akan menghadiahkan seribu karung lada setiap tahunnya kepada raja
Portugis sejak pembangunan benteng di mulai.
Perjanjian
tersebut ditandatangani langsung oleh ratu Samiam (Prabu Suwasesa) dan
Henriqve de Leme, ketika sedang melakukan perundingan Ratu Samiam
didampingi pembantu utamanya yaitu santri Dalam, Tumenggung Sang
Adipati, dan Syahbandar.
Sementara
mengharapkan bantuan Portugis yang tidak kunjung datang Sirawisesa
terpaksa berperang sendiri melawan pasukan Muslim, keadaan terus
berperang juga dialami oleh raja penggantinya, Ratu Dewata, karena
kalah perang ia kemudian meninggalkan ibu kota.
Karena melihat keberadaan perekonomian Sunda Banten yang kurang menguntungkan maka bersama Sabakingking Mas Jong dengan Agus Jo situs
ini dari gundukan tanah sekitar 500 M di sekitar makam, yang ternyata
dibawah permukaannya terdapat batu berundak dan dibawah batu berundak
itulah terdapat dua ceruk di tebing cadas sebelah timur cibanten,
apabila merundingkan untuk memindahkan pusat pemerintahan Banten Girang ke Banten Pesisir, karena sudah tidak ada fungsinya lagi.
Pada
1 Muharam bertepatan pada tanggal 8 Oktober 1526 pusat pemerintahan
Banten Girang dipindah ke Surosawon (Banten Pesisir). Maka pada saat
itulah Sabakingking mendapat julukan sebagai Sultan Banten dan mendapat
gelar dari orang Arab sebagai Sultan Maulana Hasanuddin. Pada saat
terjadi penyerangan Banten Girang di ganti namanya oleh orang Belanda
menjadi Tirtalaya.
Di
Banten Girang ini terdapat gua yang didalamnya terdapat tiga ruang
kamar, tempat ini merupakan tempat raja Pucuk Umun bersemedi, dan banyak
sekali temuan-temuan atau benda-benda yang bersejarah seperti gerabah,
keramik, benda-benda logam, mata uang, batu-batuan arkeologi dan
artepak.
Dalam
penelitian Ambari (1985), dilihat dari type nisan dan artepak kijing
yang dipakai dalam makam kuno Kijong dan menjadi Banten Girang, maka
dalam tipologi nisan makam islam dimasukan kelompok type Demak dan
Troloyo. Selanjutnya, montana pada tahun (1988:71) mencatat kekunoan
dilihat dari typoligi ceruk-ceruk atau gua yang ada di sana, paling
tidak Banten Girang telah muncul pada sekitar abad XI-XII (Guillot,
1990:12) lebih menarik lagi,dari data babad banten girang fungsikan pada
masa pemeritahan sultan ageng tirtayasa ( abad XVII), dimana pada waktu
masa terentu sultan berwisata dengan kgiatan memancing ikan ditempat
itu . Dan menurut keterangan caef,ditempat ini sultan tirtayasa menyuruh
membuatkan sebuah istana sebagai tempat mengungsi kaum w anita di masa
perang pajajadin ingrat,1983:1245
Dari
penilitian arkelogis 1989,1990,1991 dan 1992 Lukman nurhakim (1992)
berbagai mengungkapkan berbagai aspek pentung dari banten girang.tempat
situs pemikiran dalam sekala kota pra –industri yang dikelilingi bnteng
dari tanah,baik dari sisi luar maupun dari sisi dalam tanggul .untuk
keperluan pertahanan.tanggul tanah sebagai benteng di dalam banteng
girang,sebagai mana halnya di situs-situs lain,sudah dikenal luas pada
pra sejarah awal dan kelasik yang kemudian berlanjut pada kota-kota yang
kuno pada priode islam ;seperti di punggung raharjo (bandung),pasir
angin (bogor),aceh,barus,(sumatra utara),rao (sumatra barat),muara takus
(lumanjang),dan surosoan (banten,serang)
Dri hasileksavasi di ketahui bahwa situs banten girang berpungsi sebagai:
a. Pasat pemukiman terlahat dari banyaknya sebaran artepak,teknapak dan sosiospak.
b. Pusat upacra adanya gua persemedian/pemujaan’dan
c. Benteng untuk melindungi keduanya
Selanjutnya Lukman Hakim memandang adanya fase-fase kehidupan di Banten Girang yang meliputi :
1) Fase I : Fase subordinasi Pakuan-Pajajaran dimana gua dijadikan pusat upacara keagamaan bercorak Hiduistik (Hindu – Budha);
2) Fase II : Fase pendudukan/administrasi politik Islam masa Maulana Hasanuddin;
3)
Fase III : Fase surutnya Banten Girang karena pusat administrasi
politik dipindahkan ke Banten lama di pesisir, tetapi Banten Girang
masih tetap digunakan bahkan sampai masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa (1652 – 1671), sultan Banten kelima.
4)
Fase IV : Fase akhir, ketika Banten Lama sudah diancurkan oleh Daendels
pada tahun 1815, dimana diduga frekuensi penggunaan Banten Girang
semakin menurun.
5)
Fase resen, okupasi lanjut oleh penduduk Banten Girang masa sekarang
yang digunakan untuk lahan pertanian dan lahan pemukiman.
Melalui
perbandingan dengan berbagai bentuk fisik benteng di berbagai tempat,
Halyany Michrob (1991) berpendapat bahwa atas dasar penemuan keramik
masa Dinasti Han (206 SM – 220 M) dan struktur berundah di atas gua dan
lingkungan benteng, amat boleh jadi okupasi Banten Girang sudah
berlangsung lama sekali, bahkan sejak ketika berlangsung masa kehidupan
prasejarah dan proto sejarah.
Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang
terletak di tengah sungai Cindangiang, Lebak Munjul, Pandeglang, berita
tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang
diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan
bahasa Sanskerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini
adalah Purnawarman. Ini
berarti bahwa daerah kuasa Tarumanegara sampai juga ke Banten, dan
diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan
kejayaan.
Berita
atau sumber-sumber sejarah mengenai Banten dari masa sebelum abad ke-16
memang sangat sedikit kita temukan. Tapi setidak-tidaknya pada abad
XII-VX, Banten sudah menjadi pelabuhan kerajaan Pajajaran.
Untuk
selanjutnya keadaan Banten dari abad VII sampai dengan abad XII tidak
ditemukan berita sejarah yang meyakinkan. Demikian juga, tidak diketahui
siapakah penguasaan daerah Banten waktu itu, padahal benda-benda
peninggalan dari masa itu sudah banyak ditemukan.
Berita
tentang Banten baru muncul kembali pada awal abad XVI dengan
diketemukannya prasasti di Bogor. Prasasti ini menyatakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, dan
Banten sampai awal abad XVI termasuk daerah kekuasaannya (Ambary, 1980 :
447). Memang, Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan besar, yang daerah
kuasanya meliputi seluruh Banten, Kelapa (Jakarta), Bogor, sampai
Cirebon, ditambah pula daerah Tegal dan Banyumas sampai batas Kali
Pamali dan Kali Serayu.
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Banten Girang merupakan kerajaan Islam pertama di Banten, yang awalnya merupakan kerajaan Hindu Budha.
- Kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang subur makmur sehingga dapat berhubungan dengan kerajaan di Jawa.
-
Banten Girang banyak bukti-bukti penunggalan dan terdapat makam-makam,
seperti Ki Mas Jong, Agus Jo, sehingga banyak peziarah yang berkunjung
di situs Banten Girang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar