Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al
Qusyairy. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah
bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak,
antara lain yang bisa kita sebutkan:
1. An-Naisabury
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.
2. Al-Qusyairy
Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
3. Al-Istiwaiy
Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
4. Asy-Syafi’y
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi’y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’y (150 204 H./767 820 M.).
5. Gelar Kehormatan
Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa’mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan sebagainya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf
Nasab Ibundanya
Ustadz asy Syeikh mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.
Kelahiran dan Wafatnya
Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa beliau lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Kehidupan Al-Qusyairy
Masa Kecil
Kami tidak mengenal masa kecil al Ustadz asy Syeikh al Qusyairy, kecuali hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampai di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.
Kepandaian Berkuda
Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.
Perkawinan
Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 – 412 H./1014-1021 M.
Putra putrinya
Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa’id Abdullah, 2) Abu Sa’id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy’ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun’im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As’ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa’id bin Abul Qasim al Qusyairy.
Menunaikan Haji
Maha Guru Syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.
Kudanya
Dikisahkan, di antara salah satu dari sekian karamah Maha Guru Syeikh al-Qusyairy ini, antara lain ia memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada Syeikh selama 20 tahun. Ketika Syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan, hingga kuda itu pun mati.
Belajar dan Mengajar
Para Guru Beliau
Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:
1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
2. Abu Abdurrahman – Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
3. Abu Bakr – Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
4. Abu Bakr – Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
5. Abu Ishaq – Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami’ dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu’tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
7. Abu Manshur – Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.
Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj’ar mazhab Syafi’y.
Disiplin Ilmu Keagamaan
1. Ushuluddin: Al Qusyairy belaj’ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy’ary.
2. Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi’y.
3. Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy’ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy’ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.
Forum Imla’
Asy Syaikh al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla’ hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.
Forum Mudzakarah
Asy Syaikh al Qusyairy juga sebagai pemuka forum forum mudzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. “Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya.”
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi’iyah, karya Tajudddin as-Subky.
Murid- murid Beliau yang Terkenal
1. Abu Bakr – Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392-463 H./1002 1072 M.).
2. Abu Ibrahim – Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./1137 M.)
3. Abu Muhammad – Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
4. Abul Qasim – Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/1018 M.)
5. Abu Bakr – Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
6. Abu Muhammad – Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
7. Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
8. Abu Muhammad – Abdullah bin Atha’al-Ibrahimy al-Harawy.
9. Abu Abdullah – Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
10. Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
11. Abu Ali – al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
12. Abul Tath – Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.
Cobaan yang Menghadang
Ketika popularitasnya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.
Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu’tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di sela-sela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu-waktu luangnya, beliau pergi ke Thus.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid muridnya bertambah banyak.
1. An-Naisabury
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir hayatnya.
2. Al-Qusyairy
Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
3. Al-Istiwaiy
Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
4. Asy-Syafi’y
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi’y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’y (150 204 H./767 820 M.).
5. Gelar Kehormatan
Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa’mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan sebagainya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf
Nasab Ibundanya
Ustadz asy Syeikh mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.
Kelahiran dan Wafatnya
Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa beliau lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Kehidupan Al-Qusyairy
Masa Kecil
Kami tidak mengenal masa kecil al Ustadz asy Syeikh al Qusyairy, kecuali hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampai di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.
Kepandaian Berkuda
Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.
Perkawinan
Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 – 412 H./1014-1021 M.
Putra putrinya
Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa’id Abdullah, 2) Abu Sa’id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy’ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun’im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As’ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa’id bin Abul Qasim al Qusyairy.
Menunaikan Haji
Maha Guru Syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.
Kudanya
Dikisahkan, di antara salah satu dari sekian karamah Maha Guru Syeikh al-Qusyairy ini, antara lain ia memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada Syeikh selama 20 tahun. Ketika Syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan, hingga kuda itu pun mati.
Belajar dan Mengajar
Para Guru Beliau
Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:
1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
2. Abu Abdurrahman – Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
3. Abu Bakr – Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
4. Abu Bakr – Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
5. Abu Ishaq – Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami’ dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu’tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
7. Abu Manshur – Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.
Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj’ar mazhab Syafi’y.
Disiplin Ilmu Keagamaan
1. Ushuluddin: Al Qusyairy belaj’ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy’ary.
2. Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi’y.
3. Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy’ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy’ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.
Forum Imla’
Asy Syaikh al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla’ hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.
Forum Mudzakarah
Asy Syaikh al Qusyairy juga sebagai pemuka forum forum mudzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. “Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya.”
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi’iyah, karya Tajudddin as-Subky.
Murid- murid Beliau yang Terkenal
1. Abu Bakr – Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392-463 H./1002 1072 M.).
2. Abu Ibrahim – Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./1137 M.)
3. Abu Muhammad – Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
4. Abul Qasim – Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/1018 M.)
5. Abu Bakr – Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
6. Abu Muhammad – Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
7. Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
8. Abu Muhammad – Abdullah bin Atha’al-Ibrahimy al-Harawy.
9. Abu Abdullah – Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
10. Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
11. Abu Ali – al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
12. Abul Tath – Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.
Cobaan yang Menghadang
Ketika popularitasnya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.
Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu’tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di sela-sela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu-waktu luangnya, beliau pergi ke Thus.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid muridnya bertambah banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar