Senin, 09 Mei 2016

KH.ASNAWI CARINGIN ( ULAMA DAN PENDEKAR BANTEN )


Saya teringat sekitar tahun 1992 , ketika masih di bangku Madarasah Aliyah mengadakan Tour Ziarah keliling Banten ke maqom para Auliya . Ada satu tempat yang sangat menarik yang saya kunjungi di suatu kampung bernama Caringin kecamatan Labuan Pandegalang Banten. Kampung Caringin dengan pesona Laut yang sangat mempesona diambil dari kata “beringin” yang artinya “pohon teduh yang Rindang  disana terdapat Maqom Auliyaillah seorang ulama pejuang bernama KH.ASNAWI yang orang kampung biasa memanggil dengan sebutan “mama Asnawi”  yang telah mengayomi masyarakat yang dianalogikan sebagai pohon beringin .

KH.ASNAWI CARINGIN BANTEN
kh.Asnawi Caringin BantenKH.Asnawi lahir di Kampung caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama  Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah . Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim Kh.Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam Agama Islam. Di mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani.Kecerdasan yang di miliki beliau dengam mudah mampu menyerap berbagai dsiplin ilmu yang telah di berikan gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari gurunya maka Syech Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya Kh.Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Alloh.
Sekembalinya dari Mekkah Kh.Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah , karena ketinggian ilmu yang dimiliki nama Kh.Asnawi mulai ramai dikenal orang dan menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat Banten. Situasi Tanah air yang masih di kuasai Penjajah Belanda dan rusak nya moral masyarakat pada waktu membuat Kh.Asnawi sering mendapat Ancaman dari pihak pihak yang merasa kebebasannya terusik.  Banten yang terkenal dengan Jawara jawaranya yang memiliki ilmu Kanuragan  dan dahulu terkenal sangat sadis dapat di taklukkan berkat kegigihan dan perjuangan Kh.Asnawi . Beliau juga terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat di segani  oleh kaum Penjajah Belanda .Kh.Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti Penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya Kh.Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan  ke Cianjur  oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda , Apa yang dilakukan Kh.Asnawi   mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama  lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.
Selama di pengasingan Kh.Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Alquran dan Tarekat kepada masyarakat  sekitar dan  setelah dirasa Aman Kh.Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salapiah Caringin sekitar tahun 1884 Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan  yang di bawa oleh Kh.Asnawi ke Caringin dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya Kh.Asnawi berdo’a memohon kepada Alloh agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa Kh.Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.

masjid_assalafi_caringinTahun 1937 Kh.Asnawi berpulang kerahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj.Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ) dan di maqomkan di Masjid Salfiah Caringin , hingga kini Masjid Salafiah  Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut . Wallohu a’lam

Abuya Abdulhalim Kadu Peusing



Abuya Abdulhalim Kadu Peusing Abuya Abdul Halim Kadupeusing Pandeglang Banten, maha guru dan tokoh terkemuka, ulama linuhung ilmu dan amaliah. Beliau amat sederhana hidup dalam kesahajaan sehari-hari, walau sebagai bupati pada waktu itu dengan gaji 3 talen, ukuran sekarang 3jt satu bulan, tp itu tidak di gunakan untuk kepentingan pribadi bahkan sanak saudaranya mendapatkan nafkah dari beliau hasil dari tanam padi.
Maka seorang muridnya yaitu Abuya Muhammad Dimyathi berkata:
"la a'lama wa awro'a illa Abuya Abdulhalim"
tacan manggih kiyaina nu leuwih ulung elmu jeung wara'ina ukur Ki Abdulhalim.
.
Pada waktu itu, beliau menjabat sebagai bupati Pandeglang, wilayah keresidenan Banten yang di pimpin oleh Residen Banten, KH. Ahmad Khatib. Walau menjadi pejabat, urusan umat tak di tinggalkan, malah beliau bawa sendiri pengajian-pengajian masyarakat ke pendopo kabupaten, dan sebagai kelanjutannya, para pegawai banyak yang mengikuti pengajian itu, sebagai keharusan yang dibutuhkan oleh diri mereka masing-masing.
Pada saat menjabat bupati, sebagai lurah di masing2 tempat di tunjuk beliau dari kalangan santri dan kiayi, seperti KH. Asnadi bin H. Jasrip Kadujurig (Kadueulis, Baturanjang, Cipeucang), kiayi Abdulmanan Garobog, dlsb. yang kesemuanya tak luput dari pengawasan seorang bupati nan karismatik ini.
Sebagai pengayom umat dan masyarakat, beliau amat sopan santun dalam ketawaduan, tak membedakan si kaya dan miskin, bangsawan dan jelata, semua itu atas ketinggian ilmu dan keperibadian akhlak mulya yang dimiliki. Di samping guru thoriqoh, husus al qodiriyah beliau dapatkan dari Syekh Muqri bin Suqiya Karabohong Jaha, Labuan, sebagai salah satu penyebar at thoriqotul qodiriyah di Banten langsung dari Syekh Abdulkarim Tanara.
Bahkan dalam keadaan genting kala itu, banyak gerombolan penculik para kiayi yang terjadi akibat dari kegoncangan perpolitikan dalam negri, tiap malam lingkungan pendopo selalu di jaga, tak kecuali Ahmad Dimyati kala itu umur 17an, hampir tiap malam ronda menjaga guru dan pimpinan umat ini, seumuran itu, Dimyati telah mendapatkan pengamalan thoriqoh qodiriyah yang bersanad pada Abuya Abdulhalim ini.
Secara garis keturunan, Tubagus Abdulhalim, Abuya Abdul Halim nama lainnya, bin Tubagus Muhammad Amin bin Tubagus Mamin bin Tubagus Qosim bin Tubagus Hasyim bin Tubagus Raden Agung Surya bin Tubagus Lanang bin Sultan Abdul Fatah Tirtayasa (yang di makamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten, bersama nenek moyang diantaranya: Panembahan Sabakinkin, Syekh Maulana Hasanuddin nama lainnya, Sultan Haji Sultan Abul Fadhl dan permaisuri dan lain-lainnya).
Abuya memiliki putera-puteri, diantaranya:
Nyai Sofiah yang bersuami dengan KH. As'ad As'aduddin bin KH. Ya'qub Cikadueun, berputera:
  1. Nyai Bai
  2. KH. Zabidi beristri Hj. Fatum bt. Abuya Armin Cibuntu.
  3. KH. Tobari
  4. Hj. Hannah

Mama Sanja Kadukaweng Pandeglang



Mama Sanja kadu kaweng pandeglang Seorang yang terkenal sebagai Raja Alfiyah ini lahir di Cigintung Pandeglang pada tahun 1917 M. Ayahnya bernama H. Kasmin bin Ki Adil, Ibunya bernama Hj. Umi Elas. Sebelum ke Kadukaweng setelah menikah beliau tinggal di kampung isterinya di Kadubuluh, tempat 500m ke arah selatan Kadukaweng dan mempunyai anak satu yaitu KH. Encep Fathoni (alm). Sepeninggal istri pertama, beliau menikah dengan Ibu dan pindah membuka tempat di lahan kosong yang asalnya kampung babakan (tidak berpenghuni) yang seterusnya di sebut Kadukaweng pesantren, karena beliau mendirikan pesantren di sana dan lama kelamaan bernama Pesantren Riyadlul Alfiyah dengan tertuang jelas di papan nama bernama "Pesantren Islam Riyadlul Alfiyah Kadukaweng" disingkat PIRAK.

Penamaan Riyadul Alfiyah disesuaikan dengan kekhususan pelajaran yang dikaji di pesantren ini yaitu kitab al-Fiyah, membahas tentang ilmu alat bahasa Arab karangan Syeikh Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik yang gelaran masyhurnya dengan Ibnu Malik. Adapun nama Riyadl yang artinya taman, orang menyebutnya 'kebon' dan sesuai dengan tempat yang baru dibuka yaitu 'ngababakan' karena asal tempat itu berupa tempat yang belum berpenghuni di kelilingi banyak sawah setelah sepeninggal istri pertamanya bermukim di Kadubuluh.

Selain kitab al-Fiyah yang di muhit, secara priodik bila tamat maka kembali dari awal begitu seterusnya tiada henti yang dikaji dan di ajarkan tiap harinya. Banyak fan (disiplin) ilmu yang juga diajarkan terutama fan ilmu mantiq yaitu sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara berpikir yang tepat sehingga melahirkan kesimpulan yang tepat pula.

Di Pesantren ini keistimewaannya dalam pengajaran isi kitab al-Fiyah, Mama menggunakan Syarah kitab al-Fiyah dari kitab al-Fiyah Maimuniyah. Isi yang terkandung didalamnya mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari fan tauhid, fan fikih dan bidang tasawuf, juga didalamnya banyak mengandung ilmu hikam, kata-kata mutiara penuh nasihat. Namun kitab ini sedari tahun sembilan puluhan telah hilang, dipinjam seseorang dan tidak pernah kembali. Selain disiplin keilmuan yang diajarkan di pesantren ini juga di selingi dengan ilmu bela diri sera Cimande, Cikalong dan berbagai ilmu kanuragan yang lainnya, sebagai pelatihan santri untuk berjiwa sehat jasmani dan sebagai persiapan nanti di kemudian hari bila terjun sendiri di masyarakat.

Adapun jiwa dan diri Mama memegang teguh perinsip kesehajaan. Ketawaduan adalah sifatnya yang menonjol. Walau ia dikenal banyak memiliki kekayaan tetapi hidupnya begitu sederhana. Disela-sela mengajar ngaji para santri, beliau selalu menyempatkan diri pergi ke sawah untuk mencangkul. Sawahnya begitu luas membetang dari ujung ke ujung. Sangking luas dan banyak sawah kepunyaanya, beliau sudah tidak diperkenankan lagi membeli sawah oleh pemerintah atas nama dirinya karena sawahnya telah berjumlah ratusan hektar. Adapun sebutannya untuk beliau adalah Mama yang berartikan salah satu gelar orang yang mumpuni dalam keilmuan, namun beliau enggan disebut Mama, beliau hanya menamakan diri sebutan 'Akang' makna kakak dalam bahasa sunda.

Begitulah sosok yang penuh ketawadu'an dalam perikehidupan sehari-hari. Betapa tidak, hingga setelah mempunyai murid banyak pun beliau tidak gila hormat. Pernah satu kejadian dimana ada seorang santri yang mau mesantren ke Kadukaweng menggunakan jasa Mama yang disuruh membawa barang-barangnya. Sebagaimana biasa setelah sholat subuh Mama mencangkul disawah sampai menjelang waktu dimulainya pengajaran di majlis sekitar pukul tujuh pagi. Seorang santri itu membawa banyak bingkisan, ditengah perjalanan ke pesantren PIRAK, dia kewalahan membawa barang-barangnya dan kebetulan ada seorang tua yang berjalan kaki yang kelihatan seorang petani. Santri ini memang belum tahu dimana tempat pesantren, dan dia bertaya pada orang itu bahkan menitipkan barang bungkusannya agar dibawa kepesantren, sekalian berjalan dengan orang tua tadi. Orang yang kelihatanya petani ini mengiakan saja dan siap mengantarkan santri yang ingin mesantren ini hingga ke kobong. Sesampainnya di depan majlis, orang itu berkata: " Saya hanya bisa antar sampai disini saja, bila 'mamang' (sebutan pada santri) mau bertemu seseorang yang akan dijadikan guru, silahkan kesana dan itu rumahnya, saya mau pulang". Selanjutnya santri itu pergi sendirian menuju rumah dan akan bertemu dengan pak kiai, dan tidak lama dia bertemu juga. Namun betapa terkejutnya, ternyata orang tua yang mengantarkannya tadi adalah seseorang yang akan di jadikan guru. Apatah kata penyesalan dan kesia-siaan penyesalan, karena sesal kemudian tiada berguna. Singkat cerita setelah bercengkrama, si santri itu dititipkan sama santri senior oleh Mama, agar ditempatkan di kobong (asrama santri) yang masih tersedia, selanjutnya dia keluar ikut menuju tempat yang akan ditinggalinya mencari ilmu, namun tanpa ada orang yang tahu, dia pulang, pergi meningalkan pesantren begitu saja di malam hari.

Pengalaman ilmiyah Mama dimulai di pesantren Kadugadung Cipeucang, Pandeglang asuhan Kiayi Luthfi, sambil mengenyam pendidikan di Vervolksch School, Sekolah lanjutan untuk sekolah desa, belajar dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun. Setelah di Vervolksch School, dilanjutkan nyantri di Kadupeusing asuhan Syeikh Tubagus Abdul Halim, seorang Kiayi yang menjadi Bupati Pandeglang pertama pasca kemerdekaan. Kemudian berguru kepada Syekh Muqri Karabohong Labuan, seorang kiayi yang terkenal dengan semangat pembelaannya pada tanah air. Syekh Muqri pula terjun pada perang Pandeglang pada tahun 1926 bersama Syekh Asnawi caringin dan Syekh Falati dari Maghrabi (maroko) yang sengaja datang ke Banten untuk membantu perjuangan rakyat Banten melawan belanda. Setelah itu Mama menuntut ilmu di luar wilayah Banten. Ia mendatangi pesantren Sukaraja di Garut asuhan Syekh Adro’i. Syekh adro’I ini terkenal sebagai raja Alfiyah waktu itu. Setelah wafatnya Syekh Adro’I, Mama Sanja di yakini sebagai penerus risalah penghulu para ahli kitab alfiyah. Beliau juga menuntut ilmu di pesantren Sempur asuhan Syekh Tubagus Ahmad Bakri bin Tubagus Seda, yang terkenal dengan Mama Sempur. Mama Sempur adalah Bangsawan Banten yang menuntut ilmu kepada Syekh Nawawi bin Umar al-Jawi, kelahiran Tanara, Serang, Banten yang dipusarakan di pemakaman Ma'la Makkah al-mukarromah. Setelah Mama Sempur pulang ke jawa beliau mendirikan pesantren di Sempur Purwakarta. Selain di Sempur Mama juga mesantren di Gentur asuhan Syekh Ahmad Syatibi, Mama Gentur nama lainnya, seorang ulama ahli ilmu balaghoh pengarang Maqulat dan Nasta'in. Selain itu pula Mama mesantren di Cirebon, di Pekalongan, di Bogor di Syeikh Ruyani, Mama Ruyani sebutan lainnya. Juga Mama belajar pada guru-guru yang lain.

Para ulama dan kiayi pengasuh pesantren di seluruh Banten dari mulai tahun limapuluhan sampai Sembilan puluhan rata-rata pernah merasakan nyantri di Mama. Belum lengkap rasanya ilmu yang ditimba di banyak pesantren bila belum merasakan nyantri dan ngaji ilmu nahwu dan shorof yang terdapat dalam kitab al-Fiyah ibnu Malik kepada Mama yang merupakan penghulu para ahli al-Fiyah. Murid-murid beliau menyebar di seluruh Banten dan tanah pasundan khususnya dan pulau jawa dan lampung juga Nusantara pada umumnya. Di antara dari ratusan bahkan ribuan kiayi yang bisa disebutkan sebagai muridnya dan sempat mengenyam pendidikan di Kadukaweng baik husus belajar dan menetap di sana, atau juga yang mengikuti pengajian kilatan sebulan di bulan Ramadhan yang dinamakan pasaran Alfiyah (satu kali khatam), atau mengikuti 'Yamanan' di bulan Rabi'ul Awal selama empatpuluh hari dari tanggal duapuluh safar hingga akhir Rabi'ul Awal, adalah Hadratus Syaikh Abuya Ahmad Damanhuri Arman, Syekh Ahmad Bushtomi (Buya Cisantri), dll.

Beliau mempunyai sebelas orang anak yaitu KH. Encep fathoni (alm), H. Naning Yunani, KH. Juwaini (H. Neni, yang meneruskan beliau menjadi pengasuh pesantren sekarang bersama adik dan adik iparnya, KH. Malik (alm)), Hj. Fathonah, H. ahmad Yani, H. Badruddin, H. Farhani, H. Endin, H. Lutfi, Hj. Lutfiyah dan sibungsu H. Encep. Penganut tariqah Al-qadiriyah wa- Annaqsyabandiyah ini kembali ke Rafiiqul a’la dalam usia ke 82 tahun pada hari Ahad tanggal 25 Muharram 1420 H. bertepatan dengan 11 mei 1999 M.
Itulah sepenggal kisah dan biografi Mama Sanja Kadukaweng Pandeglang, baca juga Abuya SANJA (Santri Jago Alfiyyah) kadu kaweng pandeglang, semoga tulisan ini bermanfaat.





KH. Mas Abdurahman (Pendiri Mathla'ul Anwar)

KH. Mas Abdurahman adalah putra dari K. Mas Djamal Al-Djanakawi yang lahir pada tahun 1868 di Kampung Janaka, tepatnya di lereng Gunung Haseupan di Distrik LabuanKawedanan Caringin Kabupaten Pandeglang Banten.
Gelar "Mas" merupakan gelar kehormatan yang diberikan turun temurun yang berasal dari nama seorang senopati Pajajaran bernama Mas Jong dan Agus Ju. Mereka adalah tangan kanan raja Pajajaran bernama Pucuk Umun.
Ketika Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Sultan Maulana Hasanudin Putra Syarief Hidayatullah Sultan Cirebon, Pucuk Umun lari ke selatan, sedangkan Senopati Mas Jong dan Agus Ju menyerahkan diri kepada Sultan Maulana Hasanudin. Kemudian Mas Jong dan Agus Ju memeluk agama Islam serta mendapat kedudukanpenting sebagai senopati Kasultanan Banten dengan gelar kehormatan Ratu Bagus Ju dan Kimas Jong.
Pada masa keruntuhan kasultanan Banten, para ulama/kyai dan guru agama keluarga besar kasultanan Banten meninggalkan istana masuk ke daerah pedalaman. Mereka menjauhkan diri dari keramaian kota, karena Kesultanan sudah berubah menjadi Keresidenan Banten yang dipimpin oleh seorang Residen Bangsa Belanda.
Dengan berakhirnya kekuasaan Sultan Banten sebagai pusat dakwah islam, Para Ulama/Kiai, guru agama yang semula bertugas secara resmi sabagi perangkat Kesultanan, kini menjadi orang buronan yang selalu diawasi dan di kejar-kejar dianggap sabagai sumber malapetaka dan pemberontak terhadap pemerintahan Belanda, termasuk keturunan Mas Jong dan Agus Ju pergi mininggalkan istana Kesultanan masuk ke pedalaman di Lereng Gunung Haseupan tepatnya dusun Janaka dalam rangka menusun kembali kekuatan untuk bergerilya melawan Belanda, termasuk di antaranya K. Mas Djamal Al Djanakawi ayahnya KH. Mas Abdurahman.
P E N D I D I K A N
Walaupun K. Mas Djamal Al Djanakawi tinggal di sebuah dusun terpencil yang sukar di jangkau, namun ia memiliki perhatian dan motivasi yang tinggi terhadap masa depan putranya. Ia berfalsafah pohon pisang“bahwa ia tidak ingin meniggal dunia sebelum putranya berhasil atau memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai” .
Sebagaimana pohon pisang walaupun ditebang beberapa kali, tetap akan terus mengeluarkan tunasnya, setelah menghasilkan buah, baru ia rela untuk mati.
Dengan dasr ilmu pengetahuan yang didapat dari ayahnya sendiri terutama pengetahuan dasar baca Al-Qur’an, selanjutnya KH. Mas Abdurahman dididik oleh orang lain untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Diantaranya KH. Shahib di Kampung Kadupinang. Karena jaraknya cukup jauh, sedangkan alat transportasi belum ada., satu-satunya jalan adalah di gendong ayahnya.
Setelah cukup dewasa. KH Mas Abdurahman dititipkan di sebuah Pondok Pesantren Al-Qur’an yang berada di daerah Serang dibawah bimbingan KH. Ma’mun yaitu seorang guru spesialis dalam bidang Al-Qur’an. Setelah puas melihat putra-nya dapat menyelesaikan pendidikan di pesantern Al-Qur’an, beliau berangkat ke Tanah Suci menunaikan ibadah Haji, sehingga ia Wafat. Tinggalah KH. Mas Abdurahman yang di rungdung duka, ditinggalkan ayah tercinta tempat mengadu dan harapan pergi untuk selama-lamanya, tetapi peristwa ini tidak melarutkan dalam kedukaan
MENUNAIKAN IBADAH HAJI
Pada tahun 1905 berangkatlah KH. Mas Abdurahman ke Mekah walaupun dengan bekal hanya cukup untuk ongkos pergi saja, tetapi dengan tekad dan kemauan kuat beliau berangkat dengan tujuan disamping menunaikan ibadah haji, ia juga berniat bermukim untuk menuntut ilmu agama sekaligus berziarah ke pusara ayahandanya walaupuhn tidak jelas dimana kuburannya. Karena kuburan di sana tidak meiliki tanda yang tertulis dalam batu nisan seperti di Indonesia, namun ia merasa puas dapat berziarah secara dekat.
Semua hambatan dan rintangan telah dihadapinya, baik uang saku yang terbatas maupun kondisi alam di Mekkah yang tidak sesuai dengan kondisi alam Indonesia. Negeri Mekkah pada waktu itu tergolong negeri yang masih miskin, tidak mempunyai sumber ekonomi tetap. Satu-satunya devisa yang ada adalah dari datangnya musim haji, saat itulah penduduk negeri Mekkah mendpat penghasilan untuk bekal selama satu tahun sampai datangnya musim haji berikutnya. Namun karena tekad dan keingin beliau sangat kuat tertanam dalam hatinya, segala hambatan dan rintangan serta kesusahannya dalam menuntut ilmu dapat di atasi.
Selama diperantauan beliau tidak meiliki pemondokan yang tetap, tempatnya selama bermukim adalah di Masjidil Haram, baik tidur maupun belajar. Pakaianpun hanya yang melekat di badannya, apabila dicuci ditunggunya sampai kering. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya kadang-kadang ia pergi ke luar kota mencari kayu bakar untuk dijual dan hasilnya ditukar dengan beras. Karena sulitnya mendapatkan bahan makanan, beras tersebut dicampur dengan pasir , satu sendok beras berbanding satu liter pasir ditambah air yang banyak agar dikala makan dipilihlah butiran nasi satu persatu, perut jadi kenyang akibat terlalu lama memilah-milah beras dan pasir sehingga timbulnya rasa kesal memilih butiran nasi tersebut. Hal ini dilakukan hampir setiap hari selama sepuluh tahun beliau bermukim, kecuali jika musim haji tiba, beliau banyak mendapat penghasilan dari hasil mengantar jama’ah haji yang ziarah
Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh perhatian dan ketekunan walau sarana serta peralatan menulis tidak lengkap, kebanyakan cukup hanya mendengarkan. Tetapi keberhasilan dan kemahirannya dalam menyerap ilmu pengetahuan khususnya bidang agama sangat mendalaminya, diantaranya ilmu bahasa Arab, Fiqh, Usul Fiqh, Nahu, Shorof, Balaghah, Tafsir, Ilmu Ushul, Tasawuf dll
Diantara guru- guru beliau yang berasal dari Indonesia yakni, Syech Nawawi Al-Bantani, berasal dari Tanahara yang terkenal dengan kitab tafsirnya dan Syech Achmad Chotib yang berasal dari Minangkabau yang terkenal dengan Ilmu Tasyawufnya.
Dengan keberhasilannya menguasai ilmu pengetahuan agama, KH. Mas Abdurahman direncanakan diangkat sebagai BADAK (asisten dosen) pengajian di Masjidil Haram, tetapi tidak berlanjut karena adanya permohonan dari para Ulama/Kyai Banten (Menes) agar beliau segera kemabli ke tanah air.
Selama di Tanah suci beliau belajar bersama dengan KH. Hasyim Asy’hari dari Surabaya yang kemudian dikenal sebagai pendiri Nahdlatul ‘Ulama tahun 1926 dan KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah tahun 1912
KEMBALI KE TANAH AIR
Sejak para ulama/kyai meninggalkan kesultanan, masyarakat umumnya jarang sekali memperoleh kesempatan belajar menuntut ilmu agama (Islam) secara memadai. Untungnya masyarakat Banten telah memiliki jiwa keislaman yang tertancap secara mendalam, sehingga setiap keluarga merasa berkewajiban mewariskan ilmu agama secara turun temurun sekalipun masih berbaur dengan takhayul, ibadah dan syari’ah dengan bid’ah dan khurafatnya.
Secara umum kondisi masyarakat Banten khususnya dari segi pendidikan memang sangat memprihatinkan, sekolah – sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda tidak disiapkan untuk pribumi, hanya golongan tertentu yang bisa masuk disekolah tersebut.
Atas keprihatinan tersebut, para kyai mengadakan musyawarah bertempat di Kampung Kananga dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Sholeh serta ulama-ulama di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil keputusan untyuk memanggil pulang seorang pemuda bernama KH. Mas Abdurahman yang sedang belajar di Mekkah Al Mukaromah. Ia Tengah menimba ilmu Islam kepada seorang guru besar yang berasal dari Banten yakbi Syech Mohammad Nawawi Al-Bantani yang telah diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai seorang faqih dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam.
Dengan adanya keputusan tersebut, KH. Entol Mohammad Yasin segera mengirim surat beserta ongkos pulang untuk KH.Mas Abdurahman yang dititipkan melalui seseorang yang akan menunaikan ibadah haji. Sebelumnya ia menolak permintaan pulang tersebut dan berat hati meninggalkan tanah suci. Dengan menumpang kapal semprong milik Kongsi KPM beliau akhirnya KH. MAs Abdurahman kembali ke tanah air yang sebelumnya beristirahat terlebih dahulu selama tiga hari di makan Nabi Ibrahim.
KH. Mas Abdurahman bin K. MAs Jamal Al-Djanakawi kembali dari tanah suci Mekkah sekitar Tahun 1910 M. Dengan kehadiran kyai muda yang penuh semangat untuk berjuang mengadakan pembaharuan Islam bersama-sama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan untuk membawaumat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang.
Sekembalinya dari tanah suci, KH. Mas Abdurahman dinikahkan dengan putrid KH.Tb. Mohammad Sholeh yakni Nyi. Enong. Selang beberapa bulan, Nyi enong beserta ibundanya diberangkatkan untuk menunaikan ibdah haji. Namun nasib malang tak dapat dihindarkan, sesampainya di pelabuhan Tanjung Priok, Nyi Enong jatuh sakit dan maut merenggutnya untuk kembali ke Illahi Robbi. Urunglah niat ibundanyapun tak jadi berangkat. Tragedi ini adalah suatu ujian bagi KH. Mas Abdurahman untuk selalu tabah dan sabar dalam mendekatkan diri kepada sang penciptaNya.
Sepeninggal putranya, KH. Tb. Mohammad Sholeh kedatangan seorang saudagar Menes yang terkenal dimasanya bernama H. Alimemohon untuk menjodohkan putrinya bernama Aminah dengan KH. Mas Abudrahman. Kiranya jodoh berada ditangan Allah, pernikahanpun telah terlaksana atas IrodatNya
BERDIRINYA MATHLA’UL ANWAR
Langkah pertama yang dilakukan KH. Mas Abdurahman dismaping mengadakan pengajian dan tabliq ke berbagai tempat, juga menyelenggarakan pendidikan pondok pesantren. Dengan segala keterbatasannya, pendidikan pondok pesantren dirasakan kurang sistematis, baik dalam hal sarana, dana, manajemen maupun kader mubaliq kurang dapat dihasilan. Ditambah pula dengan kondisi yang kurang aman dari berbagai pengawasan oleh Pemerintah Belanda. Maka para kyai mengadakan musyawarah di antaranya KH. Entol Mohamad Yasin sebagai kyai yang tergolong intelektual, beliau cenderung membentuk pendidikan sistem madrasah dan hl ini sependapat dengan KH. Mas Abdurahman.
Beranjak dari sini, akhirnya pertemuan melahirkan kata sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan dan diasuh secara jema’ah dengan mengkoordinasikanberbagai disiplin ilmu terutama ilmu Islam yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak.
Lembaga pendidikan tersebut bukan lagi bersifat tradisional seperti pondok pesantren yang telah ada, namun harus ditingkatkan menjadi bentuk madrasah. Untuk mencapai tujuan luhur ini sudah tentu dibutuhkan tenaga ahli dalam bidangnya.
Dari sekian banyak nama madrasah yang diajukan, maka musyawarah memutuskan bahwa pemberian nama lembaga pendidikan diserahkan kepada KH. Mas Abdurahman untuk melakukan “istikhoroh”. Dari hasil istikhoroh tersebut maka lahirlah nama “ MATHLA’UL ANWAR” yang mempunyai makna “ TERBITNYA CAHAYA” pada tanggal 10 Ramadhan 1334 H bertepatan dengan Tanggal 10 Juli 1916 M yang ditetapkan sebagai tanggal lahirnya Organisasi Mathla’ul Anwar.
Sebagi mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurahman dengan presiden bistirnya KH. Entol Mohammad Yasin dari Kampung Kaduhawuk (Menes) serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat sekitar Menes. Unutk sementara kegiatan belajar mengajar diselenggarakan di rumah KH. Mustaghfiri seorang dermawan Menes yang bersedia rumahnya digunakan untuk tempat belajar mengajar.
Selanjutnya dengan modal wakaf tanah dari Ki Demang Entol Djasudin yang terletak di pinggir jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong royong oleh seluruh masyarakat Menes pada tahun 1920. Bangunan pertama ini berukuran seluas 1000 m2 (20 m x 50 m) yang samapi saat ini masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan mulai dari TK sampai Madrasah Aliyah (sederajat SMA). Gedung ini tidak lain adalah pusat perguruan Mathla’ul Anwar yang terletak di Kota Menes Pandeglang.
Dari madrasah inilah mulai dihasilkan kader-kader mubaligh serta kyai dan ulama Mathla’ul Anwar ayng kemudian bergerak menyebar luaskan Mathla’ul Anwar keluar daerah pandeglang seperti ke Kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang sampai ke residenan Lampung. PAda Tahun 1936 jumlah madrasah MAthla’ul Anwar telah mencapai 40 madrasah yang tersebar di 7 daerah tersebut.
Perhatian masyarakat terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi terbatas dari kalangan pelajar, tetapi kaum intelektualpun mulai berpartisipasi aktif. Dengan proses perkembangannya sangat pesat, maka timbulah gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas perkembangan organisasinya baik bersifat teknis pedagogis maupun secara administratif organisasi dan keanggotaannya.
Maka pada Tahun 1936 diadakan kongres pertama Mathla’ul Anwar dengan menghasilkan keputusan-keptusan penting diantaranya :
1. Mengesahkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang meliputi : dikukuhkannya Nama, Waktu dan Tempat lahirnya Mathla’ul Anwar berdasarkan Islam sepanjang tuntunan Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang bersumberkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma dan Al-Qiyas
2. Menetapkan susunan Pengurus Besar (Hoofd Bestuur) antara lain :
a. KH. Entol Mohammad Yasin sebagai Ketua Umum (Presiden)
b. KH.. Abdulmukti sebagai Wakil Ketua (Vice Presiden)
c. E. Ismail sebagai Sekretaris
Untuk terlaksananya rencana pelajaran dengan baik dan sesuai dengan ketentuan, maka diangkatlah seorang Inspektur (pengawas) yang berkedudukan di Pusat. Jabatan ini diamanatkan kepada KH. Mas Abdurahman samapi beliau wafat pada Tahun 1943 M
Para Ulama dan Kyai yang termasuk pendiri Mathla’ul Anwar selain KH. Mas Abdurahman, KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb.Mohammad Sholeh juga diantaranya KH. Sulaeman, Kyai Daud, KH.Abdul Mukti, Kyai Syaifudin, Kyai Rusdi, E. Dawawi, E. Djasudin, turut pula golongan muda seperti E. Ismail dll. Perlu dicatat bahwa KH.Mas Abdurahman dan KH.Entol Mohammad Yasin merupakan “Dwi Tunggal”
Adapun ulama dan kyai semasa dan satu generasi dengan KH. MAs Abdurahman diantaranya : Kyai Asnawi (Caringin), Kyai Tegal, Kyai Sugiri (Mandalawangi), Kyai Ruyani (Kadupinang), Kyai Mansyur (Jakarta)
Generasi dan murid – murid pertama yang menjadi pejuang dan penerus Mathla’ul Anwar antara lain :
KH. Mohammad Ra’is
KH. Abdul Latif
KH. Syafei
KH. Uwes Abubakar
KH. Syidik
KH. M. Yunan
KH.Hudori
KH. Achad Suhaemi
KH. Suhaemi
K.Tb. Achmad
KH. Moch. Ichsan
Untuk memudahkan dalam mempelajari pengetahuan agama, KH. Mas Abdurahman banyak menyusun karya-karya tulis dan kitab-kitabnya yang disusun dalam bahasa sunda diantaranya :
Tajwid
Tauhid
Nahu Ajurumiyah jilid I, II, dan III
Syaraf Taqlif
Ilmu Balaghah/Bayan
Djawa’iz
Tauhfah
Munhajulqawin
Fatwa dan pandangan KH. Mas Abdurahman terhadap pemerintah colonial Belanda adalah kafir, menerima gaji dari dari pemerintah colonial Belanda adalah haram, sampai – sampai anaknyapuntidak bolehmasuk sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda. Satu lagi fatwanya, jika seseorang dinikahkan oleh Naib/onder maka dianggap tidak syah dan harus dinikahkan kembali oleh kyai yang bukan pegawai colonial Belanda
(disusun dari berbagai sumber sejarah KH. Mas Abdurahman sang pendiri lembaga pendidikan tertua di Banten disarikan dari referensi para sesepuh orangtua yg bergelar Permas/Nyimas dan Entol/Ayu juga Mandala*)

Tokoh Muslim Afrika Selatan Telusuri Jejak "Sultan Banten"


SERANG - Sejumlah tokoh muslim dari Afrika Selatan melakukan kunjungan ke Provinsi Banten, dalam rangka menelusuri jejak perjalanan sejarah Syekh Yusuf atau Sultan Maulana Yusuf di wilayah ini.
Kunjungan delegasi dari muslim Afrika Selatan yang dipimpin Sheikh Iqhsaan Taliep Rektor International Peace College of Sout Africa tersebut, diterima Gubernur Banten Rano Karno dan sejumlah tokoh masyarakat setempat Pendopo Gubernur di Serang, Senin.
Hadir juga dalam pertemuan tersebut mendampingi Gubernur Banten Rano Karno, yaitu Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Prof Soleh Hidayat, Rektor IAIN Maulana Hasanudin Banten Prof Fauzul Iman, Perwakilan MUI Banten KH Zaenal Abidin Suja, tokoh masyarakat Banten H Embay Mulya Syarif dan Kepala Disbudpar Banten Alli Fadillah.
Sedangkan dari romongan perwakilam muslim Afrika juga dihadiri Sheikh Abduraghman Khan Muslim Judicial Council Dept Fatwa, Sheikh Omar Ghabier Dewan Penglihat Bulan Crescent observer council, Mr. Fatieg Behardien Ketua Rombongan Afsel, Mahmood Sanglay Journalist Koran Muslim "Muslim Views", Abduracman Dudung Konsul Jenderal RI di Cape Town di Afrika Selatan dan Riyadi Asirdin Konsul Ekonomi KJRI Cape Town.
Gubernur Banten Rano Karno menyambut baik kunjungan dari perwakilan keturunan Syeikh Yusuf di Afrika Selatan tersebut. Rano berharap kunjungan tersebut bisa berlanjut dalam upaya membangun hubungan silaturahim antara keturunan Syeikh Yusuf di Afrika Selatan dengan keturunan yang ada di Banten.
"Mereka melakukan kunjungan ini dalam rangka silaturahim dan mencari jejak Syeikh Yusuf di Banten. Mereka menyebutnya napak tilas perjuangan Syeikh Yusuf," kata Rano usai menerima kunjungan tersebut.
Menurutnya, Sheikh Yusuf atau Maulana Yusuf dikenal sebagai wali, ulama sufi yang berhasil menyebarkan agama Islam hingga daratan Afrika. Kunjungan tamu negara tersebut salah satunya juga bertujuan mencari situs-situs tentang Sheikh Yusuf di Banten.
"Mudah-mudahan kunjungan ini tidak hanya sekali saja. Kita berharap ada keberlanjutannya. Mereka juga rencananya akan berkunjung ke Makassar, karena sejarah mengenai Syeik Yusuf di Makassar juga hampir sama dengan di Banten," kata Rano.
Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten M Ali Fadillah mengatakan, selain melakukan kunjungan ke Pendopo Gubernur Banten untuk bertemu dengan gubernur, perwakilan dari keturunan Syeikh Yusuf di Afrika Selatan juga melakukan kunjungan atau ziarah ke Banten Lama yakni ke kompleks pemakaman keluarga Kesultanan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf di Banten.
"Kedatangan tokoh muslim masyarakat Afrika Selatan ini juga sebagai peluang kerja sama sektor pariwisata, khususnya wisata religi, sejarah, dan budaya. Kita bisa mengembangkan kawasan wisata Banten Lama dengan lebih baik, wisatwan dari Afrika Selatan bisa dipastikan banyak yang datang ke Banten," kata Ali Fadillah. (ant)
(amr)

ABUYA - ABUYA AGUNG BANTEN *


Abuya ilyas - murid dari sech nawawi yg ke 6. Kragilan serang *
Abuya Abdul Halim - Kd.Peusing
Pandeglang * Abuya Muhamad Dimyati bin KH.Muhamad Amin - Cidahu Cadasari * Abuya Ahmad Bustomi bin Abuya Jasuta - Cisantri Cipeucang * Abuya Muhamad Sidik - Cangkudu Baros *
abuya syadeli bin abuya saman pakancilan
Abuya Dawud Bin Abuya ilyas - kragilan serang * Abuya Abdul Majid - Cadasari Pasir * Abuya Suraya - Munjul * Abuya Sakman - Ujung Kulon * Abuya Muqri - Karabohong Labuan * Abuya Tajur - Nembol Mandalawangi * Abuya Sanusi - Ciliang Kd.Merak * Abuya Damanhuri - Cihideng - Jabal Gubes,Arab Saudi * Abuya Abdul Manan - Muncung * Abuya Abdul Malik - Rocek Barat * Abuya Abdul Karim - Bengkung * Abuya Armin - Cibuntu Cimanuk * Abuya Palawira - Sekong Cimanuk * Abuya Surya - Cigeulis Cibaliung * Abuya Otong Nawawi - Ciandur Saketi * Abuya Sobari - Kd.Cekek Cipeucang * Abuya Kholil - Cipaniis Jiput * Abuya Angkawijaya - Mandalawangi * Abuya Abdul Hamid - Cigayang Cadasari * Abuya Nackhrowi - Gereuh Careuh * Abuya Busro - Kd.Merenah Cikole * Abuya Aliudin - Cikaduen Cipeucang * Abah mudjibi. cucu dari Abuya ilyas - kragilan serang *
Mama Sanja - Kd.Kaweng Kd.Hejo * Mama Ramin - Kemalangan * Mama Halimi - Ciherang Pandeglang * Mama Adung - Cengkel Pasir Angin * Mama Suhaemi - Padarincang Serang * Tb.Mama Sempur (Tb.KH.Ahmad Bakrie) Ciekek Karaton - Purwakarta * Tb.Mama Bakom (KH.Ujang) Pandeglang - Bakom Bogor * Tb.Mama Falaq - Wates Pandeglang - Pagentongan Bogor * Tb.Mama Jueni - Kasepuhan Bogor Barat bin Tb.Nur Saad bin Tb.Abdul Wafa bin Tb.Taran bin Tb.Muhamad Soleh bin Tb.Abdul Manaf bin Tb.Mada bin Kh.Tb.Buang (Cadasari) * Abuya Haji Deeng - Bojong Menteng Cibadak * Abuya Nawawi Rudaya - Pasir Bedil Lebak * Abuya Abdul Lathief - Cibeber Cilegon * KH.Wasyid - Pahlawan Geger Cilegon 1888 bersama Syeikh Muhamad Ali - Tanara - ( kemudian menyebarkan islam ke Timur Kupang ), Syeikh Asnawi - Caringin, Syeikh Ahmad Husaeni - Carita dan pahlawan lainnya. Bertepatan dengan Pristiwa Meledaknya Gunung Krakatau. * Abuya Usuf - Caringin Cisoka ( Ahli Fathul Muin - Gurunya KH.Uci Turtusi bin Abuya Dimyati - Pasar Kemis - Tanggerang * Abuya Muhidin - Kosambi Tangerang ( Muridnya Abuya Palawira Sekong ) * Abuya Mansyurudin - Cigayenggeng Rangkas * Abuya Marwan - Leuwi Damar - Ciboleger * Abuya Dimyati - Pasar Kemis - Cilongok Tangerang ( Beliau Adalah Salah Satu Murid Abuya Palawira - Sekong * Abuya Abdul Goni - Ranca Garut Cimarga * Abuya Sukra (Oteng) - Oteng Pesantren - Lebak * Mama Hilmi - Baros * Mama Kadzim Asnawi - Menes * Mama Wirga - Warung Gunung * Abuya Damanhuri - Paleneng Cimarga * Abuya Romli - Kebon Nyungcung - Lebak * Abuya Farhani - Pasir Degung * Abuya Abdul Bari - Pasir Tanjung - Sabagi >>> "dan abuya - abuya yang lainnya yang masih banyak bertebaran di muka bumi banten"<<< namun,,sekarang hanya tinggal kenangan dan kesedihan yang mendalam karena mereka semua beserta ilmunya yang tinggi telah tiada. Dulu dunia santri salafi sangat berjaya,,kiyainya waro,zuhud santrinya beribu-ribu disetiap segala penjuru tanah banten dan nusantara.

Biografi KH Kholil Bangkalan Madura (Syaikhona Mbah Kholil)


KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-MaduriBiografi KH Kholil Bangkalan Madura © Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).

Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

Biografi KH Muhammad Dimyati (Mbah Dim) Pandeglang Banten

KH Muhammad Dimyati (Mbah Dim) Pandeglang Banten3Biografi KH Muhammad Dimyati © KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya.

Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara. Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna disamping sebagai pakunya negara Indonesia. Setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’iannya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali!
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyathi menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Alam Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin menggebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.”
Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,”Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk sholat istikharah. Setelah melaksanakan sholat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.

Abuya Dimyati Dipenjara
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hizib Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah.

Abuya Dimyati Dan Mbah Latifah El Dalhar
Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau apa jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar.
Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.”
Kemudian Kiai Dalhar pun berkata, ”Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?”
Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.

Karomah Abuya Dimyati
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena tak banyak kyai di Indonesia yang mengunjungi Irak, paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga makam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
Si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
Maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyati Wafat
Abuya Dimyati meninggalkan kita semua pada Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…. Semoga blog kumpulan biografi ulama ini bisa bermanfaat umumnya untuk Anda dan khususnya untuk saya pribadi.

KH Muhammad Dimyati (Mbah Dim) Pandeglang Banten4KH Muhammad Dimyati (Mbah Dim) Pandeglang Banten5KH Muhammad Dimyati (Mbah Dim) Pandeglang BantenKH Muhammad Dimyati (Mbah Dim) Pandeglang Banten2

Minggu, 01 Mei 2016

Perjalanan Maulana Hasanuddin Menuju Banten

Pada Suatu hari Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati berucap kepada putranya “Hai Anakku Hasanuddin, sekarang pergilah engkau dari Cirebon dan carilah negeri yang penduduknya belum memeluk Islam”. Lalu setelah mendengar titah orang tua beliau, maka berangkatlah beliau seorang diri ke arah barat.
Setelah setengah perjalanan, beliau mendaki gunung Munara Rumpin yang terletak diantara Bogor dan Jasinga. Dan beliau bermunajat selama 14 hari meminta kepada Allah SWT supaya mendapat petunjuk. Dalam munajatnya datanglah sang ayah Sunan Gunung Jati lalu berucap “Hai anakku Hasanuddin, turunlah engkau dari Gunung Munara dan berjalanlah engkau ke arah barat ke Gunung Pulosari, yaitu negeri Azar”. Negeri Azar adalah negerinya Pucuk Umun yang dinamai Ratu Azar Domas. Lalu pergilah ke Gunung Karang yaitu negerinya Azar. Setelah berbicara ayahanda beliau kembali ke Cirebon.
Setelah mendapat petunjuk, akhirnya beliau-pun turun gunung dan akhirnya berhenti di negeri Banten Girang yakni di sungai Dalung. Disana adalah tempat bersemedinya Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju, beliau berdua adalah saudara Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran. Ratu Pakuan dinamai Dewa Ratu dan Ratu Pajajaran dinamai Prabu Siliwangi. Sebelumnya Ki Ajar Ju dan Ki Ajar Jong telah diberi mimpi bertemu dengan Maulana Hasanuddin dan kemudian memeluk Islam dalam mimpi mereka berdua. Maka, sesampainya Maulana Hasanuddin di Banten Girang dan duduk disisi sungai Dalung, keluarlah Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju dari dalam Gua tempat pertapaan beliau berdua, lalu bersalaman dan mencium tangan Maulana Hasanuddin setelah bercerita akhirnya beliau berdua diajari membaca syahadat oleh Maulana Hasanuddin dan keduanya bertekad bulat memeluk Islam.
Akhirnya oleh Maulana Hasanuddin kedua santrinya ini diganti namanya dari Ajar Jong menjadi Mas Jong dan Ajar Ju diganti menjadi Agus Ju dan Maulana Hasanuddin-pun memberikan arahan kapada keduanya apabila memiliki keturunan maka diharapkan keduanya memberikan ciri dalam nama keturunan keduanya. Kepada Mas Jong, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila suatu saat kamu mempunyai anak, maka berilah nama anak laki-lakimu yang tertua dengan tambahan Mas dan yang termuda Entul dan apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Mas”. Dan kepada Agus Ju, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila kelak satu saat kamu mempunyai anak, maka berilah tambahan pada nama anak laki-lakimu yang tertua Ki Agus dan yang termuda Ki Entul dan apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Ayu”. Demikianlah sejarah keturunan nyi mas, nyi ayu, entul, ki agus dan mas yang berasal dari keturunan santri Maulana Hasanuddin ini.
Selanjutnya Mas Jong dan Agus Ju diperintah oleh Maulana Hasanuddin untuk menaklukkan Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran, maka berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju sesuai titah Maulana Hasanuddin.
Penaklukan Pucuk Umun
Ditempat berbeda Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran telah mengetahui akan kedatangan saudara-saudara mereka yang akan menaklukkan mereka, maka sebelum Mas Jong dan Agus Ju datang, Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran kabur dari tempat semedi dan berkumpul ke Gunung Pulosari tempat Pucuk Umun berada. Setibanya ditempat semedinya Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran, Mas Jong dan Agus Ju-pun tidak mendapati Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran berada di tempat semedi keduanya, maka Mas Jong dan Agus Ju-pun kembali ke Banten Girang untuk menemui Maulana Hasanuddin dan melaporkan bahwa Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran tidak ada dan telah menghilang dari tempat semedi keduanya. Mendengar laporan dari keduanya tentang keberadaan Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran yang tidak di ketahui. Maulana Hasanuddin pun berkata kepada santri beliau ini “Mari kita datangi saja ke Gunung Pulosari, kalian ikuti langkahku”. Maka keduanya-pun mengikuti seperti apa yang disarankan Maulana Hasanuddin kepada mereka bedua.
Maka berangkatlah mereka bertiga menuju Gunung Pulosari, Di Gunung Pulosari ditempat Pucuk Umun berada,  Pucuk Umun telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin dan santrinya berencana mengislamkan Pucuk Umun dan teman-teman. Maka bermusyawarahlah Pucuk Umun bersama rekan-rekannya, setelah bermusyawarah Pucuk Umun pun duduk di atas batu putih tempat bersemedinya di Kandang Kurung yang ditemani oleh Ajar Domas Kurung Dua. Maka tibalah Maulana Hasanuddin ke Kandang Kurung dan menemui Pucuk Umun yang sedang duduk, berkatalah Maulana Hasanuddin “Hai Pucuk Umun, Saya datang kemari mau menaklukkan kamu, sekarang kamu semua Islam-lah, masuklah kamu ke agama  Nabi (Muhammad SAW), berucaplah kalian semua Dua Kalimat (Syahadat)”. Lalu berkata-lah Pucuk Umun “Tuan, Saya belum tunduk ke agama Nabi (Muhammad SAW) dan saya belum takluk kepada tuan apabila belum kalah dalam tarung kesaktian, sehingga apabila saya kalah kesaktian maka saya baru takluk kepada tuan”. Mendengar  tantangan Pucuk Umun tersebut, Mualana Hasanuddin-pun berkata “Silahkan engkau pilih tarung kesaktian apa yang engkau inginkan?”. “baiklah, saya ingin tarung kesaktian dengan tarung ayam” ujar Pucuk Umun. Akhirnya disetujuilah permintaan Pucuk Umun tersebut oleh Maulana Hasanuddin, akhirnya mereka-pun mencari arena yang luas untuk tarung kesaktian, dan didapatilah suatu lahan yang berada di wilayah Waringinkurung yaitu disuatu kebon yang rata yang disebut Tegal Papak.
Selanjutnya Pucuk Umun dan para Ajar istidroj dan membuat ayam jago yang terbuat dari besi, baja, dan pamor yang terbuat dari sari baja dan rosa. Akhirnya jadilah barang-barang tersebut seekor ayam jago yang memiliki raut mirip jalak rawa. Dilain tempat Maulana Hasanuddin bermunajat kepada Allah SWT. Memohon pertolongan untuk mengalahkan dan menaklukkan Pucuk Umun, agar Pucuk Umun dan para Ajarnya memeluk agama Nabi Muhammad SAW. Dengan kekuasaan Allah SWT. Maka datanglah jin dan atas keinginan Maulana Hasanuddin berubahlah jin tersebut menjadi seekor ayam jago dan memiliki raut mirip jalak putih.
Setelah siap maka Maulana Hasanuddin yang diikuti kedua muridnya Mas Jong dan Agus Ju serta para jin yang membawa palu yang terbuat dari besi magnet berangkat menuju tempat pertandingan. akhirnya rombongan Maulana Hasanuddin-pun sampai di Tegal Papak pada hari Selasa, disana rombongan dan pengikut Pucuk Umun telah berada ditempat menunggu kedatangan Maulana Hasanuddin. Setelah berjumpa keduanya, maka Pucuk Umun berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, inilah ayam jago saya, apabila kalah kami sanggup takluk kepada tuan”. “Saya pun demikian, apabila kalah dengan ayam jago mu, saya akan menghamba kepadamu” balas Maulana Hasanuddin.
Lalu bertarunglah ayam jago Pucuk Umun dan ayam jago Maulana Hasanuddin, gemuruh senangpun datang dari Pucuk Umun dan Ajarnya. Serangan ayam jago Pucuk Umun seperti suara guntur, tepuk tangan dan rasa riang menyelimuti rombongan Pucuk Umun yang meyakini bahwa ayam jago mereka bakal memenangkan pertarungan. namun meski serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh ayam jago Pucuk Umun kepada ayam jago Maulana Hasanuddin,  ayam jago Maulana Hasanuddin tidak surut dan terus berusaha mengalahkan ayam jago Pucuk Umun. Disatu waktu akhirnya ayam jago Maulana Hasanuddin mampu menghancurkan ayam jago Pucuk Umun menjadi debu. Melihat kekalahan ayam jago Pucuk Umun, gemuruh senang dan tepuk tanganpun berhenti menjadi sepi senyap. Selanjutnya kembali pulanglah Ajar dan juga ayam jago yang hancur tadi mewujud seperti asalnya menjadi besi pamor dan baja. Sementara para Ajar Domas masuk Islam dihadapan Maulana Hasanuddin dan membaca dua kalimat syahadat disaksikan Maulana Hasanuddin.
sementara itu, Pucuk Umun yang telah dikalahkan berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, saya belum takluk kepada tuan karena masih banyak kesaktian saya, apabila telah habis barulah saya takluk”. mendengar tantangan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddinpun membalas “keluarkan semua kesaktianmu saat ini, saya ingin tahu kemampuanmu”. akhirnya Pucuk Umun pun terbang dan hilang dari penglihatan Maulana Hasanuddin. selanjutnya dari balik mega Pucuk Umun memanggil nama Maulana Hasanuddin. mendengar panggilan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya “Hai Mas Jong dan Agus Ju, datangilah Pucuk Umun yang berada di balik mega dan pukullah sekalian” lalu berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju ke atas awan, saat akan dipukul oleh Mas Jong dan Agus Ju, Pucuk Umun pun menjerit dan menghilang lagi. Melihat hal demikian, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya  “Dengan ridho Allah SWT. Pucuk Umun jadilah kafir iblis laknaktullah, tidak ingin masuk Islam, kamu berdua pulanglah”. maka turunlah kedua santri tersebut dari langit, setelah berkumpul berangkatlah rombongan Maulana Hasanuddin, Mas Jong dan Agus Ju yang diikuti juga oleh para Ajar Domas dari Tegal Papak menuju Gunung Pulosari.
Penaklukan Ratu Darah Putih
Sesampainya rombongan Maulana Hasanuddin di Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati datang menghampiri Maulana Hasanuddin dan berucap “Hai anakku Hasanuddin, mari kita pergi haji ke Makkah, karena sekarang adalah hari haji”. Selanjutnya Maulana Hasanuddin dibungkus selendang Sunan Gunung Jati. berangkatlah Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanuddin menuju Makkah Al-Mukarromah meninggalkan Mas Jong dan Agus Ju beserta para Ajar Domas di Gunung Pulosari.
Di Makkah Maulana Hasanuddin melaksanakan towaf dan diajarkan thoriqat Syathariyah, lalu berangkat ke Madinah. setelah selesai melaksanakan haji, Maulana Hasanuddin kembali ke Gunung Pulosari beserta ayahanda beliau.
Setelah Maulana Hasanuddin menjalankan ibadah haji, terdengar kabar kematian beberapa penjaga Banten yaitu Pucuk Umun di Jung Kulon, Dewa Ratu di Panahitan, Prabu Langkarang di Tanjung Tua, Prabu Langka Wastu di Gunung Raja Basa, Prabu Langgawana di Gunung Lor, Prabu Mundaeng Kalangon di Puncak Gunung Karang, Brama Kendala di Gunung Pulosari, Sida Sakti di Gunung Tanjung Pujut, Prabu Mundaiti di Gunung Kendeng, Prabu Lengkang Klincang Kangkaring di Gunung Karawang. dari sekian Ajar yang meninggal yang masuk Islam dan kekal dalam Islamnya yaitu berjumlah 486 orang Ajar.
Setelah pulang dari Makkah bersama ayahanda Sunan Gunung Jati, Sunan Gunung Jati memberikan titah kepada Maulana Hasanuddin “Hai anakku, carilah negara setengahnya adalah lautan”. Maka, Maulana Hasanuddin pun mengikuti titah ayah beliau, Maulana Hasanuddin kembali ke Banten Girang diikuti oleh Mas Jong dan Agus Ju beserta para Ajar. Sesampainya di Banten Girang Maulana Hasanuddin mengumpulkan seluruh pengikutnya, lalu Maulana Hasanuddin berkata “Sekarang tunggulah kalian semua disini (Banten Girang), karena saya hendak berkeliling bersama santri dua ini yaitu Mas Jong dan Agus Ju” setelah berkata demikian, Maulana Hasanuddin beserta Mas Jong dan Agus Ju meninggalkan para Ajar di Banten Girang.
Selanjutnya Maulana Hasanuddin berjalan dari Banten Girang ke arah Selatan, lalu mengikuti pesisir selatan ke arah UJung Kulon, lalu ke Penahitan tanpa menggunakan perahu lagi. sesampainya ditengah-tengah dari Jung Kulon, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya “Menyelamlah kamu ke dalam lautan, ambilah Gong Kaleng” maka menyelamlah kedua dan berhasil mendapatkan Gong Kaleng. setelah mengangkat Gong Kaleng, Maulana Hasanuddin turun dari Panahitan dan melanjutkan ke Pulau Semangka terus ke Sidebu dan melanjutkan ke Bangka Hulu (Bengkulu) dan dilanjutkan ke Pulau Sulaibar lalu ke Malangkabu. di Malangkabu Maulana Hasanuddin berjumpa dengan Raja Malangkabu, dari sana beliau melanjutkan perjalanan ke arah Utara mengikuti pesisir hingga sampailah di Sirem negerinya Ratu Darah Putih Tanah Liat. disana Ratu Darah Putih sudah mendapat isyarat dari Allah SWT. agar masuk Islam dan akan datang kepadanya Seorang Waliyullah. Ratu Darah Putih akhirnya dapat bertemu dengan Maulana Hasanuddin di tengah laut, Ratu Darah Putih-pun Masuk Islam dan diajarkan dua kalimat syahadat oleh Maulana Hasanuddin. setelahnya masuk Islam Ratu Darah Putih diserahi oleh Maulana Hasanuddin untuk mengislamkan seluruh penduduk Lampung dan kepadanya diperintah menanam Merica di tanah Lampung. akhirnya keduanyapun berpisah Ratu Darah Putih pulang dan mengislamkan penduduk Lampung, sementara Maulana Hasanuddin kembali ke Timur menuju Karawang, dari Karawang Maulana Hasanuddin melanjutkan perjalanannya ke arah Selatan melewati hutan hingga sampai  di Bogor Utara, lalu kembali kearah Barat melewati hutan dan sampai di Ujung Kulon dari Ujung Kulon kembali pulang ke Banten Girang hingga menetaplah Maulana Hasanuddin di Banten Girang.
Pengangkatan Maulana Hasanuddin menjadi Sultan Banten Pertama
Setelah menetap di Banten Girang, Maulana Hasanuddin berucap kepada Mas Jong dan Agus Ju agar menempatkan masyarakatnya dan mendirikan perkampungan Banten. Maka keduanya pun segera melaksanakan titah Maulana Hasanuddin membuka dan membersihkan hutan dan pegunungan untuk didirikan perkampungan-perkampungan dan keduanya mengajak masyarakat untuk menempati hutan dan pegunungan yang sudah dibersihkan tersebut. Setelah selesai dengan tugasnya Mas Jong dan Agus Ju pun akhirnya kembali ke Banten Girang melaporkan tugas yang telah dilaksanakannya kepada Maulana Hasanuddin.
Suatu hari Maulana Hasanuddin berangkat dari Banten Girang menuju ke arah Utara mengikuti jalan pesisir Banten Serang, dan terus berjalan di atas laut diiringi oleh kedua santrinya Mas Jong dan Agus Ju. Ketika sampai di tengah lautan mereka sholat dua rakaat, setelah selesai dari sholatnya maka lautpun kering dan menjadi daratan, maka duduklah Maulana Hasanuddin di atas batu gilang (batu yang berwarna hitam pekat) yang ada di pancaniti (aula), yaitu disifati negri di jajaloka (Jayaloka) negri Surosoan. Disitulah Maulana Hasanuddin mendirikan keraton yang dinamai Kipanggang rupanya seperti tempat panggangan ikan pari.
Setelah keraton selesai didirikan. Maka sang ayah Syarif Hidayatullah datang dan memberikan kabar kepada Maulana Hasanuddin bahwa Pangeran Ratu (Ratu Ayu Kirana) ibunda dari Ratu Pembayun, Pangeran Yusuf, Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu Agung atau Ratu Kumadaragi, Pangeran Maulana Magrib dan Ratu Ayu Arsanengah ini telah ditetapkan sebagai Sultan di Demak oleh Maulana Syarif Hidayatullah. Maka menjadi ketetapan Maulana Syarif Hidayatullah juga kalau Maulana Hasanuddin menjadi Sultan di Banten. Setelah Maulana Syarif Hidayatullah selesai mengutarakan tujuannya tanpa menunggu lama Maulana Syarif Hidayatullah berangkat kembali menuju Cirebon.
Maka jadilah Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama, dan tugas pertama yang dilaksanakan oleh Maulana Hasanuddin adalah mendirikan Masjid Agung Banten, dan dalam titahnya sebagai Sultan Maulana Hasanuddin menugaskan Indra Kumala penjaga Gunung Karang yang bertempat tugas di Sumur Tujuh, Manik Kumala ditugaskan menjaga pemandian sungai Banten, Mas Jong ditugaskan menjaga Pintu Merah (Lawang Abang) di dalam istana sebelah kanan, dan Agus Ju ditugaskan menjaga pintu Utara. 
Demikian kisah perjalanan Maulana Hasanuddin di negeri Banten semoga bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya oleh kita. Amin