Selasa, 23 September 2014

KERAJAAN GALUH


  1. Raden Tumenggung Aria Sastrawinata ( 1914-1935 )
  2. Rd. Tumenggung Aria Sunarya ( 1915-1942 )
  3. R. Mas Ardiwiangun ( 1944-1946 )
  4. Raden Vater Dendakusumah ( 1946-1948 )
  5. Tumenggung Gumelar Wiranagara ( 1948-1950 )
  6. Prawiranata ( 1950 )
  7. Redi Martadinata ( 1950-1952 )
  8. Abdul Rifa’i ( 1952 )
  9. Mas Rais Sastradipura ( 1952-1954 )
  10. Raden Yusuf Suriadipura ( 1954-1958 )
  11. Raden Gahara Wijayasurya ( 1958-1960 )
  12. Raden Udia Kartapruwita ( 1960-1966 )
  13. Kolonel Abubakar ( 1966-1973 )
  14. Kolonel Hudli Bambang Aruman ( 1973-1978 )
  15. Drs. H. Soeyoed ( 1978-1983 )
  16. H. Momon Gandasasmita ( 1983-1988 )
  17. Kolonel Inf.H.Taufik Hidayat ( 1988-1993 )
  18. Kol.Kav. H. Dedem Ruchlia ( 1993-1998 )
  19. Drs. Maman Suparman Rachman ( 1998-1999 )
  20. H. Oma Sasmita S.H ( 1999-2004 )
  21. Kolonel (Purn) H. Engkon Komara ( 2004-2009 )  &  ( 2009-2014 )


Silsilah dibawah ini antara lain disusun oleh Rd. Ade Tjangker Sudradjat dalam Buku Silsilah Prabu Haoer Koening 1997 diawali dari masa Ujang Ayem yang bergelar Prabu Haur Koneng (1535-1579) Galuh Pangauban sampai ke zaman kejayaan Uyut Prebu R.A.A. Kusumadiningrat (Regent/Bupati Galuh) dan yang kemudian dilanjutkan oleh putra beliau sebagai Bupati terahir dari keturunan Galuh, yakni R.A.A. Kusumasubrata.

  • PRABU HAUR KONENG/UJANG AYEM  (1535 - 1579)    Galuh Pangauban - Pangandaran. Makam di Darma Kuningan
  • MAHARAJA CIPTA PERMANA alias PRABU CIPTA SANGHYANG   (1579 - 1590)    Galuh Salawe - Cimaragas
  • PRABU RANGGA PERMANA   (1590 - 1595)    Galuh Kertabumi - Bojong
  • PRB. GALUH SANG HYANG CIPTA PERMANA   (1595 - 1608)    Galuh Kawasen - Banjarsari
  • PRB. GALUH CIPTA PERMANA II   (1608 – 1618)    Galuh Gara Tengah - Cibodas
  • SANG ADIPATI PANAEKAN   (1618 - 1625)    Galuh Gara Tengah - Cibodas
  • DALEM ADIPATI IMBANAGARA / OEDJANG POERBA   (1625 - 1636)    Galuh Gara Tengah - Cibodas
  • R.A.A.PANJI JAYANAGARA/Rd.YOGASWARA/MAS BONGSAR/GEDENG ADILARANG   (1636 - 1670)    Bupati Galuh - Imbanagara  12 Juni 1642, pusat pemerintahan pindah ke Imbanagara / Barunay. Pada masa jabatan beliau, daerah kekuasaan seperti Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu dihapuskan.
  • DALEM ARIA ANGGAPRAJA   (1670 - 1678)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.ADIPATI ANGGANAYA   (1678 - 1693)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.ADIPATI SUTADINATA   (1693 - 1707)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.ADIPATI KUSUMADINATA I   (1707 - 1727)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.ADIPATI KUSUMADINATA II   (1727 - 1732)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • DALEM JAGABAYA   (1732 - 1751)    Bupati Galuh - Imbanagara Patih Imbanagara sebagai wali Mas Garuda/Rd.Ad. KUSUMADINATA III
  • MAS GARUDA / Rd.Ad. KUSUMADINATA III   (1751 - 1801)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.Ad. NATADIKUSUMAH / DEMANG GURINDA   (1801 -1806)     Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.Ad. SURAPRAJA   (1806 - 1811)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.Tmg. JAYENGPATI KARTANEGARA   (1811 - 1815)    Bupati Galuh - Imbanagara
  • Rd.Tmg. WIRADIKUSUMAH   (1815 - 1819)    Bupati Galuh - Cibatu
  • Rd.Ad. ADIKUSUMAH   (1819 - 1839)    Bupati Galuh - Cibatu
  • Rd.Ad.Ar. KUSUMADININGRAT   (1839 - 1886)    Bupati Galuh - Cibatu
  • Rd.Ad.Ar. KUSUMASUBRATA   (1886 - 1914)    Bupati Galuh – Cibatu


CATATAN ;
Rd.Ad.Ar.Kusumasubrata adalah Bupati Galuh terahir yang berasal dari keturunan Raja/Bupati Galuh, sedangkan pengganti beliau adalah Bupati yang ditunjuk Belanda dan bukan berasal dari keturunan silsilah Raja/Bupati Galuh. Kemudian dalam upaya politik pecah belah Belanda, maka pada tahun 1915 semasa jabatan dipegang oleh Rd. Aria Sastrawinata (1914 – 1935) Galuh diganti namanya menjadi Ciamis yang namanya asing bagi masyarakat Galuh serta tidak mempunyai makna nilai historis.

Pemisahan Galuh terjadi sejak jaman Wretikandayun yang berkuasa pada 534 Saka (612 M) sampai dengan 702 M, pada saat itu di Tarumanagara sudah mendekati akhir hayatnya dan malih rupa menjadi kerajaan Sunda (pura) yang diperintah oleh Terusbawa.
Wretikandayun menggantikan posisi Sang Kandiawan, ayahnya. Kemudian Wretikandayun memindahkan pusat pemerintahannya kedaerah baru yang terletak di Karang Kamulyaan Ciamis. Lokasi tersebut berada ditengah-tengah dua sungai, yakni Citanduy dan Cilumur, yang ia beri nama Galuh (permata).
Sangat sulit dianalisa tentang alasan Galuh Kendan memisahkan diri, apakah karena Kendan sudah merasa besar dan memiliki kekuatan yang seimbang dengan Tarumanagara, atau karena menganggap tidak ada lagi ikatan emosional antara Tarumanagara yang berubah menjadi Sundapura dengan Galuh. Namun alasan yang terakhir banyak disebut-sebut sebagai trigger-nya, sedangkan alasan pertama hanya dijadikan premis pelengkap.
Kondisi Tarumanagara ketika itu memang sedang menurun dan sudah kurang berwibawa dimata raja-raja daerah, disinyalir terjadi pada masa Sudawarman, Pertama, pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh leluhurnya tidak dijaga hubungan baik. Mungkin juga karena ia tidak menguasai persoalan Tarumanagara, Karena sejak kecil tinggal dan dibesarkan di Kanci, kawasan Palawa.
Kalaupun mampu menyelesaikan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta. Pasukan ini sangat setiap terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir: bagaimana menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik.
Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang pamornya sedang menaik. Seperti Galuh, ditenggara Jawa Barat, merupakan daerah bawahan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa keemasannya. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan besar, yakni Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.
Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika para penggantinya dapat bertindak arif dan mampu menikan pamor kerajaan kembali. Hingga pada setelah wafatnya Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Kemudian digantikan menantunya, yakni Tarusbawa dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sunda sembawa.
Tarusbawa memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 – 723 M), sebelum menjadi penguasa Tarumanagara ia menjadi raja Sundapura, raja daerah dibawah Tarumanagara.
Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (Sundapura atau Sundasembawa).
Namun tentunya sangat berbeda dengan Purnawarman, selain ia menguasai strategi peperangan dan pemerintahan, ia pun dikenal sebagai raja Tarumanagara yang full Power.
Penggantian nama kerajaan yang ia lakukan tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura.
Mengenai penggantian nama Tarumanagara, dimungkinkan sebagai akibat pindahnya ibukota Tarumanagara ke Sundapura, sehingga iapun mengikuti nama Ibukotanya, bukan asal kerajaannya. Karena Purnawarman pun dahulu berkedudukan di Sundapura dengan nama kerajaannya Tarumanagara.
Jika diurut sejarah raja-raja Galuh maupun Sunda keduanya masih keturunan raja Tarumanagara. Dimungkinkan Tarusbawa masih keturunan Purnawarman, karena ia raja di Sundapura, pada masa Purnawarman menjadi ibukota Tarumanagara. Namun ada juga spekulasi yang berpendapat, Tarusbawa dan leluhurnya menjadi raja Sundapura karena adanya pemberian otonomi kepada raja-raja daerah yang ditaklukan Tarumanagara pasca Purnawarman. Sedangkan Wretikandayun, raja Galuh adalah cucu dari Tirtakancana, putri raja Tarumanagara.
Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara Cibungbulang dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, bahwa perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara. Bisa saja Sundapura diduga berada di wilayah Bogor, mengingat kerajaan Pajajaran, kerajaan yang terkait dduga keras terletak di Bogor, sedangkan Tarumanagara diduga keras terletak di Bekasi.
Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :
“Telas karuhun wis hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bratanagari”
[dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Nama ini berasal dari negeri Bharata].
Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh bukan seuatu yang muskil untuk dilaksanakan, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena memiliki hubungan sangat baik dengan Kalingga, dari cara menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.
Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan, namun apabila terjadi peperangan maka berdasarkan perhitungan Tarusbawa pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
Pada kisah berikutnya, Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Ia merelakan kerajaan terpecah menjadi dua. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negara.
Dalam tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sundapura, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh.
 Berikut adalah nama-nama raja sejak menjelang hingga berahirnya Tarumanagara :
  • SANG RESIGURU / MANIKMAYA                            (526 568)     Kerajaan Kendan Nagreg
Pendiri Kerajaan Kendan (Kerajaan Agama) Menantu Suryawarman (Raja Tarumanegara)
  • RAJAPUTRA / SURALIM                                        (568 597)     Kerajaan Kendan Nagreg
  • SANG KANDIAWAN / RAJARESI / RAHIYANGTA     (597 612)     Kerajaan Medangjati Kuningan,
Yang kemudian menjadi Pertapadi Layungwatang (daerah Kuningan) 
  • WRETIKANDAYUN                                                  (612 – 702)     Kerajaan Galuh.
Dikenal sebagai raja Galuh pertama bahkan dianggap pendiri Galuh pasca Kendan, wafat 702 M dalam usia 111 tahun.
Dalam tahun 670 M  Tarumanagara berahir sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah Barat Citarum menjadi kerajaan Sundapura, sedangkan disebelah Timur Citarum berdiri kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut dimasa berikutnya disebut juga Sunda Pajajaran dan Sunda Galuh.
  • AMARA bergelar  MANDIMINYAK                          (702 709)     Kerajaan Galuh
Wretikandayun mengangkat  Amara, putra bungsunya sebagai putra Mahkota, dengan gelar Mandiminyak
  • SENA / BRATASENAWA                                         (709 – 716)     Kerajaan Galuh
Sena (Sang Salah) adalah  putra Mandiminyak  dari hasil hubungannya dengan Nay Pwahaci Rababu.
  • PURBASORA                                                         (716 723)     Kerajaan Galuh
Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena 
  • SANJAYA                                                               (723 732)     Kerajaan Sunda - Galuh
Saat Tarusbawa meninggal tahun 723, kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya.
Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Sanjaya / Rakryan Jambri adalah putera Sena dari Sannaha puterinya Mandiminyak dengan demikian ia merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, yang kemudian dengan bantuan Tarusbawa menyerang Galuh. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora
  • SANJAYA                                                               (732 754)     Kerajaan Galuh Kalingga Bojong Karangkamulyan
Sanjaya memegang kekuasaan di Kalingga selama 22 tahun (732 – 754)
  • RARKYAN PANARABAN / TAMPERAN                     (732 739)     Kerajaan Sunda - Galuh
Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan  Panaraban (Tamperan)
Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (yang dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda
  • SANG MANARAH / CIUNG WANARA                       (739 –   ? )     Kerajaan Galuh
  • PRABHU GILINGWESI
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
  • SANG WELENGAN                                                  (806 813)     Kerajaan Galuh
  • SANG PRABHU LINGGABHUMI                               (813 842)     Kerajaan Galuh
Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa di Sunda  selama 24 tahun (795-819). Dan ketika kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.

 Sungai Citarum Pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Sungai Citarum Pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Dari uraian terdahulu maka kita ketahui bahwa Kerajaan Galuh  adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya  terletak  antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cipamali di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno  Carita Parahiyangan, suatu naskah yang berbahasa Sunda, ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, ceritera mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Sebagaimana yang telah di ceriterakan di awal, selanjutnya kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666  meninggal dunia di tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Tarusbawa dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sundasembawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum  sebagai batasnya.

KERAJAAN KEMBAR
Wretikandayun punya tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.
Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora. Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lantas menikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).
Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709), kemudian diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun 716). Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan menikah dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi Padmahariwangsa, raja Indraprahasta.
Dengan demikian diketahui bahwa nama Galuh sudah dikenal sebagai nama kerajaan sejak awal abad ke-8, yang diabadikan dalam Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi menyebut nama Sanjaya sebagai Raja yang berkuasa di Galuh, yang wilayah kekuasaannya berpusat di Priangan Timur sekarang. Selanjutnya, pusat kerajaan berpindah-pindah ke Kawali, kemudian ke Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang) dengan nama Kerajaan Sunda , dan berjaya sepanjang delapan abad hingga berakhir tahun 1579.
Kerajaan Galuh inilah kerajaan yang berjaya paling lama di seluruh Nusantara. Ketika pusat kerajaan berpindah – pindah, di Galuh sendiri tetap ada raja yang memerintah dan 1535 – 1579 Prabu Haur Kuning saat itu yang sedang berkuasa di Galuh dan ketika Kerajaan Sunda runtuh tahun 1579, di Galuh masih memerintah Maharaja Cipta Permana alias Prabu Cipta Sanghiang di Galuh, putra Prabu Haur Kuning. Ketika Prabu Cipta wafat, putranya yaitu Prabu Galuh Cipta Permana menggantikan kedudukannya di Gara Tengah.
Akhirnya pada tahun 1642, Galuh menjadi sebuah Kabupaten di bawah Raden Panji Aria Jayanagara dan R.A.A. Koesoemadiningratberkedudukan di Barunay.   R.A.A. Kusumadiningrat yang terkenal sebagai Kangjeng Prebu adalah bupati paling terkemuka pada jamannya . Ketika wafat tahun 1886, ia digantikan oleh putranya yaitu R.A.A. Kusumasubrata. Pada tahun 1915 nama Kabupaten Galuh diganti menjadi Kabupaten Ciamis,  ketika R.A.A. Kusumasubrata digantikan oleh Bupati Tmg. Sastrawinata, yang bukan berasal dari keturunan Galuh.

KEJAYAAN ZAMAN KANJENG PREBU RADEN ADIPATI ARYA KOESOEMADININGRAT
REGENT (BUPATI) GALUH Galuh (1839 - 1886)
Kangjeng Prebu sebagai bupati Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di wilayah itu yang bisa membaca huruf latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat. Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin Galuh Ciamis (1839-1886).
Pemerintah kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam Paksa. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah dilaksanakan juga apa yang disebut Preangerstelsel atau sistim Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan", gambaran seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja dalam tanam paksa. Dari Preangerstelsel, di tempat lain dimekarkan menjadi Culturstelsel. Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa harus ditanam olah rakyat, tapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan insiden Van Pabst yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.

Mulai Berkebun Kelapa
Tentu saja Kangjeng Prebu bersedih hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan nila, sementara hasilnya diambil oleh Belanda. Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja, meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran tembang sedih Dengkleung Dengdek. Tertulis dalam majalah Mangle, almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek oleh administratur itu.
Kangjeng Prebu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap waktu, dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air dan bendungan, yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh. Sampai kini masih ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun 1839, Cikatomas tahun 1842, Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru (berarti Naga biru) dibangun tahun 1843, dan saluran air Wangunreja tahun 1862.
Selanjutnya bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat seserahan diwajibkan untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
Dari zaman Kangjeng Prebu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan produksinya yang menumpuk (ngahunyud) di setiap pelosok kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa paling makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor adalah Gwan Hien, yang oleh lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit dan minyak goreng jenis lainnya.

Sekolah Sunda
Dari tahun 1853 Kangjeng Prebu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati yang kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektar, dengan kolam ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain dari keraton, ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek keraton juga ada mesjid. Tahun 1872 di komplek keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga Bupati. Di sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan. Dulu tidak ada yang berani melanggarnya, orang Galuh percaya air situ itu mengandung khasiat seperti yang dituliskan oleh Kangjeng Prebu dalam guguritan yang dibuatnya, "Jamban tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning." Artinya kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh penyakit, amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning."
Menurut para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng Prebu, zaman dulu guguritan yang disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah rakyat. Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng Prebu juga membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana lainnya. Antara tahun 1859 sampai 1877 pembangunan berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap utara. Lantas gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung negara atau gedung kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah markas militer, rumah pemasyarakatan, mesjid agung, gedung kantor telepon.
Tampaknya Kangjeng Prebu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat. Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa Perancis ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati, sengaja dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa Belanda. Tahun 1862, Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar Sunda.
Dalam upaya menyebarkan agama Islam, Kangjeng Prebu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng Prebu sengaja suka mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta masyarakat.
Dalam kumpulan seperti itulah ia mengajak rakyatnya supaya mereka setiap akan pergi ke pengajian dan perkumpulan, membawa arca yang ada di rumahnya masing-masing. "Kita satukan dengan arca kepunyaan saya," katanya. Rakyat setuju saja diminta membawa arca seperti itu dan dengan jujur mengakui bahwa di rumahnya memiliki arca. Dengan demikian, tanpa memakan waktu yang lama, sudah tidak ada lagi arca yang disimpan di rumah-rumah rakyat. Masyarakat beribadah dengan sungguh-sungguh memuji keagungan Alloh. Islam mekar memancar seputaran Galuh. Sementara arca-arca yang dikumpulkan rakyat, ditumpuk begitu saja di Jambansari. Sekelilingnya ditanami pepohonan yang rimbun. Itu sebabnya sampai sekarang banyak arca di pemakaman Kangjeng Prebu di Selagangga.
Kangjeng Prebu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin, juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng Prebu juga menguasai makhluk gaib yang di Ciamis terkenal disebut onom. Tahun 1861, jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta. Kangjeng Prebu segera mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu. Walaupun stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tapi Ciamis sampai kini dilewati jalan kereta api, diantaranya kereta api Galuh.
Tahun 1886 Kangjeng Prebu lengser kaprabon, jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng Prebu tidak hanya mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah dan membangun Galuh Ciamis. Masih di zamannya berkuasa, Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya tahun 1870. Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta, diantaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang, dan Sindangrasa.
Tahun 1915 Kabupaten Galuh secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan, dan sebutannya menjadi Kabupaten Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima karesidenan, 18 Kabupaten dan enam kotapraja. Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
Di lokasi keraton Selagangga, Kangjeng Prebu juga membuat mesjid megah. Orang yang dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim. Untuk pemekaran agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di tiap desanya didirikan mesjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para remaja.

Peninggalan Kangjeng Prebu
Namun kini yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil. Situ yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun. Padahal dulu ada dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah menjadi perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
Sementara waktu ke belakang, sempat terlantar kurang terurus karena tiadanya biaya, Jambansari hampir hilang terkubur ilalang, namun setelah diupayakan oleh keluarga besar rundayan Uyut Prebu sekarang pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan itu, nampak sudah lebih baik.
Ada yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan mengikuti nama pimpinan Nahdlatul Ulama. Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada peninggalan Kangjeng Prebu yang dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk mengenang Kanjeng Prebu yang memiliki keraton di tempat itu, memimpin Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa (Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.
Selain Situs Jambansari, Uyut Prebu ada juga meninggalkan beberapa benda yang kemudian dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya berupa arca, keris, tumbak, pedang, ikat pinggang emas dan lain-lain yang saat ini disamping banyak yang raib yang adapun kurang pemeliharaan.
Benda Cagar Budaya yang masih ada saat ini disimpan di Museum Galuh Pakuan (sementara) yang terletak di Gedong Kadatuan Selagangga, dimana telah dilakukan Soft Openningoleh Bapak Wakil Gubernur Jawa Barat pada 18 Juli 2010.
Dalam paradigma sejarawan lokal nama Kendan tidak dapat dipisahkan dari Galuh, namun untuk membedakan rincian kesejarahannya digunakan kata Galuh Kendan disamping Galuh Kawali, untuk menyebut Galuh sejak Wretikandayun memisah kan diri dari Sundapura.
Kisah Kendan lebih banyak diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan dapat secara runtut menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal, Carita Parahyangan justru dapat menjelaskan muasalnya.
Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta. Konon kabar, kedua naskah ini hampir mirip dengan naskah Pararatwan Parahyangan yang saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Sejarah Sunda lebih hidup dari cerita yang disampaikan secara lisan, banyak sejarah yang dianggap tabu untuk diceritakan dengan alasan pamali, teu wasa atau tabu. Mungkin alasan para karuhun bermasud agar tidak menyinggung perasaan orang lain yang kebetulan terceritakan. Tetapi hukum dan realitas pemenuhan data kesejarahan resmi seolah-olah menganggap tidak mau tahu dengan urusan ini, sehingga sering menyatakan Urang Sunda kurang bersejarah.
Di dalam cerita Parahyangan menguraikan pula kisah Kendan serta hubungannya dengan Galuh. Carita Parahyangan menjelaskan Sang Resiguru beranak Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Itulah kisah para pendahulu Galuh.

Kerajaan Galuh

 adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Ci Serayu juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, ceritera mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Tarusbawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarubawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh, dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Kerajaan kembar

Wretikandayun mempunyai tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru.
Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora. Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha, Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena lantas menikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut Sanjaya).
Kakuasaan Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709), kemudian diteruskan oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Demunawan dan Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun 716). Akibat terusir, Sena dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan menikah dengan Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi Padmahariwangsa, raja Indraprahasta.

Raja-raja Galuh

Raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh:
  1. Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
  2. Mandiminyak (702-709)
  3. Séna/Sannaha (709-716)
  4. Purbasora (716-723)
  5. Rakeyan Jambri/Sanjaya/Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda
  6. Tamperan Barmawijaya (732-739)
  7. Rahiyang Banga (739-746)
  8. Rakeyan ri Medang (746-753)
  9. Rakeyan Diwus (753-777)
  10. Rakeyan Wuwus (777-849)
  11. Sang Hujung Carian (849-852)
  12. Rakeyan Gendang (852-875)
  13. Dewa Sanghiyang (875-882)
  14. Prabu Sanghiyang (882-893)
  15. Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
  16. Sang Lumahing Winduraja (900-923)
  17. Sang Lumahing Kreta (923-1015)
  18. Sang Lumahing Winduruja (1015-1033)
  19. Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
  20. Sang Lumahing Taman (1183-1189)
  21. Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
  22. Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
  23. Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
  24. Aki Kolot (1229-1239)
  25. Prabu Maharaja (1239-1246)

Wilayah Galuh di Masa Hindia-Belanda

Kabupaten Galuh Ciamis, kejayaan zaman Kangjeng Prabu

Kangjeng Prabu sebagai bupati Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di wilayah itu yang bisa membaca huruf latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat. Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin Galuh Ciamis (1839-1886).
Pemerintah kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam Paksa. Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah dilaksanakan juga apa yang disebut Preangerstelsel atau sistem Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan", gambaran seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja dalam tanam paksa. Dari Preangerstelsel, di tempat lain dimekarkan menjadi Culturstelsel. Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa harus ditanam olah rakyat, tapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan insiden Van Pabst yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.

Mulai Berkebun Kelapa

Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Tentu saja Kangjeng Prabu bersedih hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan nila, sementara hasilnya diambil oleh Belanda. Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja, meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran tembang sedih Dengkleung Dengdek. Tertulis dalam majalah Mangle, almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek oleh administratur itu.
Kangjeng prabu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap waktu, dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air dan bendungan, yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh. Sampai kini masih ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun 1839, Cikatomas tahun 1842, Tanjungmanggu yang lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru (berarti Naga biru) dibangun tahun 1843, dan saluran air Wangunreja tahun 1862.
Selanjutnya bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat seserahan diwajibkan untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
Dari zaman Kangjeng prabu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur, dengan produksinya yang menumpuk (ngahunyud) di setiap pelosok kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa paling makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor adalah Gwan Hien, yang oleh lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit dan minyak goreng jenis lainnya.

Sekolah Sunda

Raden Aria Koesoemadininggrat, regent (bupati) Galuh (1879)
Dari tahun 1853 Kangjeng prabu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati yang kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektare, dengan kolam ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain dari keraton, ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek keraton juga ada mesjid. Tahun 1872 di komplek keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga Bupati. Di sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan. Dulu tidak ada yang berani melanggarnya, orang Galuh percaya air situ itu mengandung khasiat seperti yang dituliskan oleh Kangjeng prabu dalam guguritan yang dibuatnya, "Jamban tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning." Artinya kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh penyakit, amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning."
Menurut para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng prabu, zaman dulu guguritan yang disusun dalam pupuh Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah rakyat. Selain bangunan untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng prabu juga membangun gedung-gedung pemerintahan dan sarana lainnya. Antara tahun 1859 sampai 1877 pembangunan berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap utara. Lantas gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung negara atau gedung kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah markas militer, rumah pemasyarakatan, mesjid agung, gedung kantor telepon.
Tampaknya Kangjeng prabu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat. Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa Perancis ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati, sengaja dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa Belanda. Tahun 1862, Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar Sunda.
Dalam upaya menyebarkan agama Islam, Kangjeng prabu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama dalam upaya menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng prabu sengaja suka mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta masyarakat.
Dalam kumpulan seperti itulah ia mengajak rakyatnya supaya mereka setiap akan pergi ke pengajian dan perkumpulan, membawa arca yang ada di rumahnya masing-masing. "Kita satukan dengan arca kepunyaan saya," katanya. Rakyat setuju saja diminta membawa arca seperti itu dan dengan jujur mengakui bahwa di rumahnya memiliki arca. Dengan demikian, tanpa memakan waktu yang lama, sudah tidak ada lagi arca yang disimpan di rumah-rumah rakyat. Masyarakat beribadah dengan sungguh-sungguh memuji keagungan Allah. Islam mekar memancar seputaran Galuh. Sementara arca-arca yang dikumpulkan rakyat, ditumpuk begitu saja di Jambansari. Sekelilingnya ditanami pepohonan yang rimbun. Itu sebabnya sampai sekarang banyak arca di pemakaman Kangjeng prabu di Selagangga.
Kangjeng prabu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin, juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng prabu juga menguasai makhluk gaib yang di Ciamis terkenal disebut onom. Tahun 1861, jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta. Kangjeng prabu segera mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya pembuatannya memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di Cirahong dan Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu. Walaupun stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tapi Ciamis sampai kini dilewati jalan kereta api, diantaranya kereta api Galuh.
Tahun 1886 Kangjeng prabu lengser kaprabon, jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng prabu tidak hanya mengaso sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah dan membangun Galuh Ciamis. Masih pada zamannya berkuasa, Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya tahun 1870. Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta, diantaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan, Damarcaang, dan Sindangrasa.
Tahun 1915 Kabupaten Galuh secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan, dan sebutannya menjadi Kabupaten Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat dibagi menjadi lima karesidenan, 18 Kabupaten dan enam kotapraja. Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
Di lokasi keraton Selagangga, Kangjeng prabu juga membuat mesjid megah. Orang yang dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim. Untuk pemekaran agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di tiap desanya didirikan mesjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para remaja.

Peninggalan Kangjeng prabu

Namun kini yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil. Situ yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun. Padahal dulu ada dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah menjadi perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah timur tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
Pemakaman Kangjeng prabu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara oleh Yayasan yang dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke belakang, sempat terlantar kurang terurus karena tiadanya biaya. Jambansari hampir hilang terkubur ilalang. Maka didatangilah rumah keluarga Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia di Jakarta yang saat itu dijabat Ir. Radinal Muchtar. Oleh keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta diangkat lagi martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak Galuh Ciamis, keturunan Kangjeng prabu. Jadi masih merasa perlu bertanggungjawab untuk memelihara pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan.
Ada yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan mengikuti nama pimpinan Muhammadiyah. Oleh sebab itu orang Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada peninggalan Kangjeng prabu yang dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk mengenang Kanjeng prabu yang memiliki keraton di tempat itu, memimpin Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa (Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang bisa diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.

Peninggalah Kerajaan Galuh

Keberadaan Kerajaan Galuh diketahui melalui sumber-sumber sejarah baik yang berupa prasasti, candi maupun artefak lainnya.

Candi Cangkuang, salah satu warisan dari Kerajaan Galuh

Prasasti dari masa Kerajaan Galuh

Kepurbakalaan peninggalan Kerajaan Galuh

No. Kawasan Situs Artefak Koordinat
1. Sumedang Gunung Tampomas (Cimalaka) Teras berundak 108°05’BT, 06°47’LS, ±1020m dpl



Batu Kukus



Pabeasan


Astanagede (Darmaraja) Teras Berundak 108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl



Embah Jalul



Lembu Agung



Dalem Demang


Astana Cipeueut (Darmaraja) Teras berundak 108°05’BT, 06°53’LS, ±230m dpl
2. Garut Cangkuan (Pulo-Leles) Struktur bangunan 107°55’BT, 07°06’LS, ±704m dpl



arca Nandi, Siwa,



Siwaguru



Neolitik



Megalitik


Ranca Gabus (Cibeureum) Teras Berundak (di 8 bukit) 107°57’BT, 07°07’LS, ±702m dpl



Pasir Lulumpang (13 teras)



Pasir Kiarapayung (10 teras)



Pasir Tengah (15 teras)



Pasir Kolecer (13 teras)



Pasir Astaria (19 teras)



Pasir Luhur (15 teras)



Pasir Gintung (12 teras)



Pasir Tunjung (19 teras)
3. Tasik Malaya Indihiyang struktur bangunan 108°12’BT, 07°11’LS, ±420m dpl



Sisa fondasi



Lingga-yoni



Lumpang, umpak



Batu
4. Ciamis Batu Kalde (Pangandaran) struktur bangunan 108°39’BT, 07°34’LS, ±03m dpl


Kanduruan (Batulawang-Banjar) serakan batu 108°32’ BT, 07°24’LS, ±43m dpl



Menhir



Stone-Cist


Kalipucang struktur batu 108°45’BT, 07°39’LS, ±50m dpl



Arca yoni, Nandi



Lingga


Ronggeng struktur bangunan 108°29’BT, 07°24’LS, ±98m dpl



Lingga, Yoni, Nandi


Karang Kamulyan (Cisaga) Batu Pangcalikan 108°29’BT, 07°21’LS, ±40m dpl



Sanghiyang Bedil



Panyambungan Hayam



Lamban Peribadatan



Cikahuripan



Panyandaan



Sri Bagawat Pohaci



Pamangkonan



Makam Adipati Panaekan


Gunung Padang (Cikoneng) Teras berundak (5 teras) 108°16’BT, 07°17’LS, ±430m dpl



Mata air


Kawali (Kawali) Teras berundak (5 teras) 108°23’BT, 07°11’LS, ±415m dpl



Prasasti batu (6 prasasti)



Batu Tapak



Batu Pangeunteungan



Batu Panyandaan



Batu Panyandungan



Sejumlah besar menhir



Kerakal andesit
5. Kuningan (Ciniru) Sukasari Lapik persegi 108°30' BT, 07° 03' LS, ± 310 m dpl



Yoni, Lumpang


Susukan (Ciawigebang) Lapik persegi 108°34'BT, 06° 57' LS, ± 303 m dpl



Yoni, meja batu (?)


Ciarca (Darma) serakan batu 108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl



Lapik, Yoni



menhir


HululinggaTeras berundak108° 25' BT, 06° 58' LS, ± 945 m dpl

Rujukan

  • Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
  • Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
  • Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
  1. Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
  • Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

Pranala luar